Salah satu gunung di Bromo |
Liburan waktu itu, dari Tulungagung, saya
berkumpul di salah satu rumah kawan sebagai titik keberangkatan pada pukul
21.00 WIB. Kemudian kami berangkat satu jam kemudian. Sengaja kami berangkat
malam hari dengan tujuan utama menikmati sunrise di puncak Bromo.
Sialnya, kendaraan yang saya tumpangi
mengalami masalah ketika kami hampir saja sampai. Hanya butuh memutar roda
sekitar 3 km lagi padahal. Baiklah, lima menit, sepuluh menit, setengah jam,
ternyata lebih lama dari dugaan. Namun waktu tak akan pernah berhenti berputar.
Oke, ini bukan sial tetapi salah satu cara Allah menorehkan kenangan pada benak
saya.
Mentari pun mulai menampakkan diri.
Lambat laun semakin tinggi. Tujuan utama untuk mengagumi ciptaan Allah dari
puncak Bromo pun musnah. Namun keindahan sunrise dari salah satu belokan
jalan ini tak boleh dihina pesonanya.
Saya berpikiran untuk melihat mentari setiap hari setelah itu. Matahari membuat saya menyadari kebesaran Allah.
Sunrise dari salah satu tikungan jalan |
Sampailah saya di lautan pasir dengan
tubuh yang menggigil. Ya, saya belum sempat browsing tentang lokasi ini
sebelum berangkat. Teman-teman juga tak ada yang memberitahu bahwa Bromo akan
sedingin ini. Tubuh terasa beku dan semakin menjalar ke semua bagian. Jaket
tebal yang melapisi baju saya masih tak mampu jadi perisai. Saya juga sudah
memakai kaos kaki dan kerudung. Namun hawa dingin tetap pandai mencari celah
untuk menciumi kulit.
Akhirnya saya membeli sepasang sarung
tangan dari salah satu penjual yang menjajakan dagangannya. Kebetulan, saya
juga membawa satu buah kerudung paris yang kemudian saya alih fungsikan sebagai
masker. Pijakan hanya bertumpu pada pasir dan debu yang kering. Ketika mendaki
ke puncak, debu berterbangan oleh jejak kaki pengunjung lain. So, untuk
sementara kalau ingin berkunjung ke tempat ini bawalah masker, sarung tangan,
jaket tebal, syal, penutup kepala, pokoknya yang bisa membuatmu hangat.
Berdebu dan dingin |
Seperti di Mesir saja ya, sayang itu bukan UNTA |
Menuju puncak salah satu kawah |
Pemandangan dari atas |
Salah satu gunung berpasir |
Lautan pasir tampak dari atas |
Tangga menuju salah satu kawah |
Ini ceritanya mahasiswa bahasa Inggris yang nimbrung dadakan dengan turis. Melatih sebanyak apa pembendaharaan kata kita. hehe |
Gunung Bromo termasuk dalam kawasan Taman Nasional Bromo tengger Semeru.
Yang saya dapati waktu itu, matahari sudah tinggi. Cukup terang untuk membakar
padang pasir. Namun apa, yang saya rasakan tetap dingin yang semakin kuat. Hingga
siang hari pun tempat ini masih dingin. Mentari yang memanggang bumi seolah
ikut menggigil.
Kawah |
Keindahan sunrise yang tak dapat
saya saksikan dari area penanjakan atau puncak gunung ternyata digantikan oleh
pemandangan yang tak sengaja saya potret ketika beristirahat dekat sebuah pura.
Awalnya saya kira hanya awan biasa yang tertiup angin semakin tinggi. Tapi
tidak, awan itu malah menggelombang muncul dari balik gunung lalu meluncur
kebawah seperti air terjun. Sungguh menakjubkan.
Awan yang muncul dari balik gunung bak air terjun |
Saya mengunjungi tempat wisata ini pada
bulan Oktober 2012 silam. Sudah cukup lama hingga cerita ini terposting di sini.
Waktu itu gunung ini juga belum lama bergemuruh, jadi bekas galian jalur lava erupsi
gunung yang terjadi satu setengah tahun lalu masih kokoh membelah pasir.
Semeru sebagai latar novel best seller
Donny Dhirgantoro juga belum booming dengan filmnya ketika itu. Kalau saja saya tahu keindahan
Semeru keseluruhan, mungkin saya akan mampir sekalian kesana. Namun, ya, saya
menerima ketidaktahuan saya waktu itu.
Sekarang saya hanya ingin memasukkan Ranu
Kumbala dan semua tetangganya itu ke dalam traveling list saya. Semoga
entah kapan saya bisa menyisihkan waktu yang semakin memadat ini lalu bisa
pergi ke sana. Kalau ada yang mau ngajak ke sana, wah… ayokkk.
Pura di tengah lautan pasir |
Salah satu bangunan pura |
Sedikit cerita ketika saya melihat pura
yang ada di padang pasir sekitar Bromo. Masyarakat sekitar ternyata hamper seluruhnya
beragama Hindu. Bangunan-bangunan yang saya kira musholla ternyata adalah pura,
tempat beribadah umat Hindu. Maka dari itu saya kesulitan mencari mushola untuk
menunaikan shalat. Namun toleransi beragama di daerah ini sangat kuat. Sebagai
minoritas, saya tidak merasakan perbedaan yang begitu berarti.
Pada akhirnya saya dan teman-teman
memutuskan untuk mencari mushola dalam perjalanan pulang. Ya, shalat adalah
agenda utama ketika berlibur. Meski lelah usai berkeliling, sulit mencari
tempat ibadah seperti di lokasi wisata ini, dan seindah apapun tempat yang
dikunjungi, tidak akan pernah merasakan kenikmatan sejati sebelum melaksanakan
kewajiban ini pada waktunya.
Tapi saya dengar dari seorang kawan yang
berkunjung ke sana beberapa waktu lalu, sudah ada tempat ibadah yang bisa
digunakan kawan muslim ketika berwisata kesana.
Oke, jangan
lupa bangun pagi dan menengadahkan wajah ke arah timur pagi ini ya. Dimanapun
kamu berada, mentari yang kau pandang adalah sama dengan yang muncul di pantai
Denpasar, puncak Bogor, atau dari gunung Bromo ini. Satu ciptaan Allah yang
mengagumkan.
Tulungagung, 6 Desember 2015
05.58 WIB di bawah sinaran mentari.
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete