“Pastikan
kau memakai ini besok.” Tanpa memberi kesempatan untukku menolak, Deven pergi
begitu saja meninggalkanku dengan sekotak besar pakaian kuno.
http://g01.a.alicdn.com/kf/HTB1c7_6IVXXXXbrXpXXq6xXFXXXJ/2014-popular-White-Royal-Crown-Venetian-Masquerade-Metal-Filigree-font-b-Mask-b-font-with-Rhinestones.jpg
|
Aku
tak tahu kenapa bisa mengikuti ide gila Deven untuk ikut karnaval lagi. Padahal
sudah kuputuskan untuk tidak datang ke pesta topeng tahunan sejak kejadian
tahun lalu di acara yang sama ini. Aku hanya ingin menghabiskan liburan di
dalam kamar sambil memandangi toples kaca kosong hingga tangisku luruh.
Deven
tahu betul kalau karnaval tahun lalu menyisakan perih yang sangat dalam
untukku. Waktu dimana aku dicampakkan oleh laki-laki yang memacariku selama
empat bulan. Aku memergokinya yang sedang berdansa dengan seorang gadis
bertopeng baútta.
Tentu
saja aku tak tahu siapa di balik topeng klasik putih yang menutupi seluruh
wajahnya itu. Tapi aku tahu jelas sosok di balik kostum Ussaro dengan jaket
coklat bludru dan celana panjang raja berkepang hitam motif bunga emas itu.
Topi sutera senada dengan topeng columbinanya tak mampu mengecohku. Aku
mengenalnya bahkan ketika ia berdiri membelakangiku.
Meski
aku baru berpacaran empat bulan, aku sudah menyukai Avenall jauh sebelum dia
menyatakan ketertarikannya padaku. Aku seperti ikan remora yang selalu mengekor
dibelakangnya. Sejak pertama melihat Avenall di tahun pertama sekolah, lelaki
itu telah merebut perhatianku. Dia lelaki sempurna yang bukan hanya bagiku,
tapi juga menjadi incaran gadis-gadis lain di sekolah.
Makanya,
ketika Avenall tiba-tiba bilang suka padaku, tanpa ragu aku langsung mengangguk
dan menerima permintaan kencannya. Hubungan kami berjalan dengan baik meskipun
banyak rumor yang beredar bahwa Avenall hanya mempermainkanku. Ia hanya sedang
mencari suasana baru sejak putus dari pacar sebelumnya yang juga kukenal karena
kami berada dalam satu kelas.
Aku
menampik semua isu yang beredar dan berusaha percaya pada kekasihku. Aku juga
tak mendapati hal yang janggal untuk mencurigainya. Aku pun hanya menganggap
semua peringatan kawan-kawanku sebagai omong kosong bentuk kecemburuan mereka karena
akulah yang dipilih Avenall sebagai pacaranya.
Hingga
pada akhirnya aku melihatnya berdansa dengan gadis itu di Vennice Festival.
Semua kepercayaanku padanya hilang seketika ketika Avenall mendekatkan bibirnya
ke telinga wanita itu dan membisikkan sesuatu dengan mesra. Apalagi tangannya
melingkar di pinggang gadis itu dan mereka mengalun seirama dengan lagu dansa.
Benar-benar memuakkan.
Sejak
itulah, aku benci karnaval ini. Topeng dibalik wajah penuh riasan itu seperti
muka dua yang melindungi dirinya dari kebohongan yang disengaja. Avenall pun
tak meminta maaf atau alih-alih menjelaskan situasi yang kulihat. Ia justru
berbalik dan menuju pada gadis itu dan meninggalkanku dalam kehancuran.
Tapi sekarang apa yang kulakukan? Aku malah
memakai gaun fuchsia sutra beludru berwarna merah nyala pemberian Deven
kemarin. Kutatap bayanganku di cermin. Perpaduan renda, cockades, dan bulu putih di ujung lengan membuatku seperti putri
kerajaan dalam balutan sarung tangan gading.
Aku
masih ragu apakah aku harus mengikuti perintah sepihak Deven ini. Lelaki itu
benar-benar menyebalkan bahkan sejak ia kecil. Meskipun begitu, hanya Deven
satu-satunya orang yang masih tetap bersamaku ketika semua teman-teman
menjauhiku usai putus dari Avenall. Aku juga tak mengerti kenapa orang-orang menjauhiku
dan menyalahkanku atas berakhirnya hubungan itu. Dan, disisikulah Deven berada,
satu-satunya orang yang menemaniku.
“Baiklah,
seperti katanya, aku hanya akan bersenang-senang,” ucapku pada diri sendiri di
depan cermin. Kuhembuskan napas kesal sekaligus kutarik udara dalam-dalam untuk
menguatkan keputusanku ini.
Kupakai
red
woollen dengan kain jaring merah sewarna menjulur di rambut bagian belakangku.
Ada aksesori mawar merah nyala di bagian samping depan yang membuatku lebih
anggun. Oke, aku terlihat sempurna. Sekarang tinggal topeng bola rhinestones mengilap dengan potongan
logam yang dibuat halus dengan motif yang indah.
Aku
memoles bibirku lagi agar terlihat lebih merah.
Lalu
kudengar suara dari depan rumah memanggil-manggil. Aku tahu pasti siapa itu.
Deven begitu tak sabaran. Ia sudah menungguku sejak beberapa menit yang lalu.
“Hallo, madam!” Deven menyambutku di depan pintu. Ia membungkuk sambil
memegang topi fedora merah tingginya di depan dada.
Aku
mematung beberapa detik. Kostum valmont mantel merah sutra, rompi bermotif
floral dengan renda hitam dan mutiara hitam daun applique itu membuatnya persis
bangsawan Eropa. Terlihat beda dengan kemeja sutra hitam dengan hantaman manset dan jabot renda berwarna gading yang menjuntai di depan kerah depannya.
Kudapati
ia juga mematung sepertiku. Ah,
harusnya ia tak perlu berlebihan. Bukankah kostum merah ini darinya. Dan kenapa
ia juga harus memakai kostum dengan warna yang sama, kekanak-kanakan.
“Kita
kemana?” tanyaku.
Deven
langsung saja menarik tanganku menyeberangi jembatan. Kami berlari kecil
melewati kanal-kanal dengan riak air yang terhempas di dinding bangunan. Aku
menarik sedikit gaunku ke atas agar tidak menghalangi langkahku.
Deven
membawaku melintasi St. Mark's Square dan sekarang kami tiba di Basilica di San
Marco. Jemarinya masih terselip dijari-jariku dan kami berlari kecil dalam
keramaian festival. Banyak penduduk, beberapa orang yang kukenal, sedang
menikmati pesta. Begitu pula para wisatawan asing yang asik menari dengan
manusia-manusia yang semuanya berkostum abad ke-18 seperti kami.
Façade
begitu megah dan burung merpati berterbangan menghindari langkah kaki. Deven membawaku
keluar dari halaman lapang itu melewati jembatan kecil dan berhenti di ujung
bangunan.
Aku
terengah-engah sambil menarik bajuku, sementara tangan lainnya masih dalam
genggaman Deven. Kami beradu pandang lalu terbahak bersama menyadari betapa
letihnya berlarian seperti orang gila di tengah keramaian tadi.
“Bagaimana?
Apakah kamu sudah cukup lelah untuk melupakan lelaki brengsek itu?” ucap Deven mengejutkanku.
Aku
terpaku hingga tawaku terhenti mendadak. Dunia sekelilingku seperti berubah
warna. Aku tak pernah mengira kalau beberapa menit lalu aku bisa melupakan
semua kenangan menyakitkan tentang Avenall. Aku seperti orang asing yang sedang
berwisata ke tempat asing pula. Tak ada yang kukenal, tak ada kenangan menusuk
jiwa.
Lalu
aku tersenyum tipis pada Deven, pertanda terimakasih karena telah membuatku
lupa akan kejadian itu meski cuma sebentar.
“Ayo!”
“Kemana?”
tanyaku penasaran.
“Naik
saja,” perintahnya. Lagi-lagi memaksaku melakukan kata-katanya.
“Gondola
ini?” Aku mengerutkan dahi. Mungkin tidak terlihat karena tertutup topeng
setengah wajah colombina ini. “Siapa yang membawanya?”
“Tentu
saja aku,” jawabnya penuh percaya diri.
Aku
tak yakin dia bisa mengayuh mundur perahu kecil ini. Gondola itu bergoyang
sebentar hingga akhirnya Deven berhasil mengemudikannya dengan baik. Dia terus
melajukan gondola menjauh dari bangunan dan keramaian. Kami melewati Bridge of
Sighs, sebuah jembatan berusia 400 tahun yang menghubungkan penjara baru ke
ruang interogasi di Istana Doge.
Ada
satu yang membuatku penasaran dari tadi. Kenapa Deven menggunakan topeng medico della peste yang memiliki paruh
sangat panjang menyerupai burung itu. Sangat tidak cocok dengan kostumnya hari
ini.
“Kenapa
kau pakai topeng itu terus, lepaskanlah. Terlihat aneh di wajahmu,” kataku
sambil melepas topeng yang kupakai berharap ia juga melakukan hal yang sama.
Aku
benci topeng. Setidaknya topeng yang dipakai mantan kekasihku untuk menipuku. Karena
lelaki itu, aku membenci topeng bahkan festival budaya nenek moyangku ini. Tapi
Deven memberikan kenangan berbeda hari ini. Aku bisa tertawa bahkan dibalik
topeng yang kubenci.
Kusadari
satu hal bahwa topeng yang kulepas ini bukanlah topeng yang sebenarnya. Yang menjadi
topeng adalah wajah asliku yang sayu meratapi masa lalu. Padahal dibalik topeng
itu aku bisa tertawa, menari, bergembira seperti diriku sebenarnya.
Deven
menghentikan gondola di tengah-tenagh air yang tenang. Ia lalu melepaskan
topeng dengan tangan kirinya.
“Di
depanmu, aku tak ingin menyembunyikan apapun. Aku ingin kau melihatku seperti
ini dan juga mengenaliku ketika tersembunyi dibalik topeng. Karena bagaimanapun
rupaku, perasaanku tetap sama. Aku menyukaimu, Alessia.”
Deven
menatapku tajam yang duduk di perahu. Hatiku berdesir, jantungku tiba-tiba
berdegup kencang. Perasaan ini, sudah lama aku membenci perasaan ini. Tetapi sekarang
malah membuatku penasaran. Penasaran untuk merasakan lagi cinta dari seseorang
yang aku cintai, Deven.
Cerita ini diikutkan dalam tantangan #NulisBarengAlumni @KampusFiksi #KF4 dalam tema #Topeng
Karena terburu-buru waktu dan tak sempat self editing, ternyata banyak typo. Ini beberapa hihi:
ReplyDeleteCoklat = cokelat
Pacaranya = pacarnya
Terlihat beda dengan kemeja sutra hitam dan hantaman manset serta jabot renda berwarna gading yang menjuntai di depan kerahnya.
Aku terengah-engah sambil menarik gaunku.
Keren ah..... serasa kayak di Eropa beneran.... :D
ReplyDeleteAyuk bun, ajakin aku ke Eropah yaakk.. :-)
DeleteWih, keren kaka (y) makasih ya, aku dapet pembelajaran lagi ^^
ReplyDeleteMakasih, sama-sama :-)
DeleteThis comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete