Ini dokumentasi mas Masjudi Mantap yang saya ambil dari FB. Ijin mas ya... :-) |
Hutan
mangrove atau hutan bakau biasanya tumbuh
subur di dekat laut karena sangat dipenggaruhi pasang surut air. Sudah lama saya mendapatkan rujukan tempat wisata ini dari seorang teman yang katanya ‘seger banget’. Yup, akhirnya saya mendapat
kesempatan merasakan kesegaran hutan mangrove di desa
Karanggandu, Kecamatan Watulimo, Trenggalek, Jawa Timur.
Sekitar
dua jam perjalanan dari Tulungagung, saya dan teman-teman dari Relawan FBM 2015
sempat berhenti sejenak untuk menghirup udara segar di jalur selatan. Kami juga
bisa melihat pantai prigi dari sana. Selang beberapa menit, kami kembali
melanjutkan perjalanan.
Pantai di depan jalan masuk ekowisata Mangrove |
Pintu
masuk, eh nggak ada pintunya sih. Jalan masuk (aja) Hutan Mangrove Pancer Cengkrong berhadapan
langsung dengan bentangan pantai Prigi
dan pantai Damas. Angin berhembus
kencang dan ombak juga cukup besar sehingga tak ada satu orang pun yang
mendekati pantai. Kemudian, di area parkir ekowisata mangrove saya menemukan beberapa hewan yang di rawat oleh warga sekitar seperti
landak, kelinci, burung dan lainnya.
Ketika baru sampai, air belum terlalu tinggi. Saya masih bisa melihat kepiting bakau yang merangkak di lumpur. Namun beberapa jam kemudian air mulai meninggi dan merendam beberapa bagian akar pohon.
Jembatan untuk menyeberangi sungai |
My legs :-) |
Sungai, Mangrove dan Pegunungan |
Mangrove: Ini akar apa cabang pohon ya??? |
Namun
pohon mangrove di kawasan ini masih pendek-pendek sehingga tidak mampu menaungi
tubuh dari sengatan matahari. Maklum saja, saya
sampai di lokasi ketika matahari sedang terik. Namun di beberapa tempat yang teduh, saya
bisa merasakan kesejukan oksigen yang berlimpah.
Sebagai saran agar benar-benar bisa merasakan kesejukan mangrove di area ini,
datanglah pagi-pagi sekali ketika matahari masih hangat.
Untuk
mengelilingi hutan mangrove Cengkrong - begitu
orang-orang mengenalnya, saya
melewati jembatan kayu yang menopang kokoh pada lumpur dibawahnya.
Jembatan-jembatan ini juga memiliki beberapa cabang yang mengarahkannya pada
sebuah joglo atau gazebo sederhana dari kayu yang biasanya digunakan pengunjung
untuk beristirahat.
Ini joglo apa gazebo ya nyebutnya? Pokoknya tempat ini teduh banget. |
Jembatan untuk menyeberangi sungai |
Tetap eksis :-) Kekekekekekeee |
Hutan
mangrove ini penting sekali dilestarikan dan dijaga keberadaannya. Selain
sebagai wisata alam, juga bisa
menjadi wisata edukasi bagi pengunjung.
Dari sini pula saya baru mengetahui kalau mangrove itu masih terbagi lagi ke
dalam beberapa jenis. Pohon berakar menjulang
tinggi dan bercabang-cabang ini juga sangat bermanfaat bagi
kawasan di sekitarnya. Salah satunya sebagai perisai alam untuk menghalangi air
laut yang merembes ke tanah daratan sehingga air tanah masih dapat di konsumsi
oleh warga sekitar.
Salah
satu sikap yang bisa saya lakukan sebagai pengunjung dan tamu alam ialah menjaga keaslian
dan kebersihan tempat yang saya kunjungi. Merawat keasliannya dengan tidak
mencorat-coret atau merusak. Sementara kebersihan dijaga dengan menyimpan
sampah yang saya bawa lalu membuangnya ketika menemukan tempat sampah di luar
area wisata.
Beruntungnya, di kawasan hutan mangrove Cengkrong, Trenggalek
ini telah banyak disediakan tempat sampah. Kalaupun di tempat wisata lain tidak
ada, bukan berarti sampah bisa dibuang dimana saja ya. Lagi pula saya atau kita sendiri
yang bawa makanan, minuman, bekas tisue, lalu kita sendiri yang menikmatinya, masak
orang lain yang membersihkan. Malu kan...
Touch the mangrove |
Oh
iya, saya juga sempat naik perahu untuk berkeliling. Banyak pemandangan yang
berbeda yang mungkin tidak dapat saya nikmati bila hanya berjalan di
jembatan-jembatan mangrove saja.
Pohon kelapa: saat menyusuri hutan dengan perahu |
Sekitar 30 menit perjalanan dengan perahu. Nggak bakal rugi deh kalau nyoba. |
Sekedar info saja untuk kalian yang berencana pergi ke Hutan Mangrove Pancer Cengkrong, Trenggalek ini tak perlu biaya banyak. Selain transportasi, untuk masuk ke wisata mangrove ini juga tak memerlukan tiket masuk sebenarnya. Cukup dengan membayar biaya parkir sekitar 20.000 kalau mobil besar (yang buat rombongan itu) atau 5000 untuk motor. Nah, kalau parkir di area luar seperti saya yang bandel ini, baru dikenakan biaya 2000 per orang (anak-anak gratis) untuk masuk ke hutan mangrove.
Sementara untuk biaya naik perahu adalah 10.000 per
orang. Saya sudah diajak keliling ke sepanjang sungai hingga ke bibir pantai
kurang lebih selama 30 menit. Sang nahkoda (hehe) juga mengajak saya melewati
jembatan besar sebagai jalan raya yang entah apa namanya.
Kalau beruntung kalian bisa berjumpa dengan bangau
yang terbang rendah di sekitar sungai. So, silahkan datang sendiri dan nikmati
liburanmu.
Tak perlu jauh-jauh untuk berlibur, hanya pergilah
bersama orang-orang yang penting dalam hidupmu. That means happiness.
Notes:
Perjalanan 15 November 2015 lalu #Latepost J
Baca kelanjutannya di WISATA LITERASI FBM Chapter 2 : Pantai Pasir Putih, Trenggalek
Perjalanan 15 November 2015 lalu #Latepost J
Baca kelanjutannya di WISATA LITERASI FBM Chapter 2 : Pantai Pasir Putih, Trenggalek
Tulungagung, 3 Desember 2015
~Reezumi~
itu jembatan jalur lintas selatan mbk anis, tembus pacitan
ReplyDeleteOh iya mbak Ika. Itu maksudnya hehe
DeleteTulisan memoar yang keren Anis. Yups, begitulah semestinya. Kayaknya kemana pun engkau menapakkan kaki, pasti akan ada kenangan yang terlahir dari situ.
ReplyDeleteSukses selalu..... :)
Terimakasih bunda... :-*
DeleteSilahkan fotonya diambil ..
ReplyDeleteOke mas. Thanks.. Mantabbb!!! hihi
DeleteThis comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete