Entah
dari mana firasat itu datang. Ketika selesai mengambil toga yang akan saya
gunakan saat wisuda, saya memakai topi hitam itu dihadapan ibu saya yang sedang
terbaring lemah di rumah sakit.
“Apik
to mak,” (Bagus kan bu) kata saya.
Namun
saya tak menatap matanya ketika menyampaikan itu. Saya hanya menunduk sehingga
tak tahu bagaimana reaksinya. Saya tak sanggup melihat keadaan ibu saya yang
sedang berjuang dengan penyakitnya. Dan benar, air mata saya menetes waktu itu.
Saya memalingkan muka dengan cepat, tak ingin menangis dihadapannya.
Saya
katakan dalam hati, sebentar lagi saya akan lulus. Setelah ini saya akan
membuat ibu saya bahagia dan menghabiskan waktu bersamanya. Sebentar lagi saya
lulus, saya bisa memberikan apa yang ingin saya beri padanya. Saya akan
mendapatkan gelar, waktu empat tahun yang ditunggu ibu untuk melihat saya
berdiri dengan bangga. Sebentar lagi saya akan melihat senyum lebarnya.
Namun
satu-satunya impian saya untuk berfoto memakai toga dengan bapak-ibu di samping
saya tak pernah tercapai. Tak ada satupun foto ibu di samping saya. Saya tahu
ibu selalu berpaling ketika dibidik kamera. Karena itulah, saya ingin mereka
berdua ada dalam memori wisuda saya.
Apa
yang harus saya perbuat jika Allah telah berkehendak lain. Allah memanggil ibu
tepat 10 hari sebelum hari wisuda sarjana saya. Sekarang, tidak ada yang lebih
saya inginkan kecuali kebahagiaannya di surga. Kebahagiaan yang belum bisa saya
berikan padanya di dunia. Semoga Allah mengampuni dosa-dosanya, menerima amal
ibadah dan melipat gandakan pahalanya. Semoga ibu berjumpa dengan Allah dan
Nabi Muhammad SAW di surga.
Tulungagung, 22
Desember 2015
Aamiin Yaa Rabbal 'alamiin..😊
ReplyDeleteAmin, terimakasih mbk Eka.
DeleteThis comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete