Aku
iri, sungguh aku iri. Kalian beruntung memiliki pena untuk menulis sendiri alur
cerita hidup kalian. Cerita yang bisa dengan bebas kalian karang sesuai dengan mimpi
dan harapan kalian, meskipun terkadang harus melewati garis tepi yang
membuatnya keluar jalur.
Tapi
itu tak pernah berlaku untukku. Aku tak pernah punya penaku sendiri. Ada orang
lain yang mengatur alur cerita hidupku, orang lain yang dengan mudahnya
meliukkan pena pada lembaran kosong hidupku. Bila ada kalimat “Terkurung dalam
sangkar emas” mungkin itulah gambaran jelas diriku. Tapi aku hanyalah gadis
biasa. Aku bebas, tapi tidak lepas.
Ayah
dan ibu telah menggariskan outline-outline yang harus aku lalui agar aku tetap
pada jalurku. Sekolah di sekolah formal sesuai keinginan mereka, kursus ini
itu, tak boleh kuliah ini itu dan semua yang mereka katakan seolah tak ada kata
tidak dalam kamusku. Aku tak pernah bisa melawan, juga tak sanggup
melawan. Hanya mengikuti goresan-goresan itu hingga menemukan halaman akhirnya.
Aku
marah ketika mereka memaksaku kuliah keguruan yang sangat berbeda jauh dengan
mimpiku. Aku ingin menjadi seniman, aku suka seni. Dengan melukis, aku merasa
hidup, seolah dunia bisa dengan mudah kurengkuh. Dan aku sedih mereka tak
mengerti mauku, kenapa mereka tak bisa mendengar kata hatiku? Aku sepi,
sendiri, dengan mimpiku yang terkubur dalam hati.
Ingin
rasanya lari sejauh mungkin dan mencari kebebasan, namun aku tak pernah
sanggup. Aku terlalu sayang pada mereka yang sejak kecil selalu membuatku
tertawa, orang tua yang sangat mencintaiku hingga yang kurasakan cinta mereka
terlewat batas.
Kini
aku sadar bahwa cinta mereka padaku beralasan. Aku mengerti bagaimana mereka
menangis di balik tawanya yang selalu muncul di depanku. Terimakasih ayah,
ibu…bila bukan karena kalian yang telah merencanakan dengan matang masa depanku
mungkin aku tak akan menemukan keindahan hidup.
Meski
awalnya sangat sulit dan butuh waktu lama untuk menerima keadaan, sekarang aku telah
menemukan keserasian di dalamnya. Selama ini aku hanya menutup mata dan melihat
satu titik, padahal ada banyak titik lain di sekitarnya. Ada hal lain yang
lebih indah, menulis. Bila bukan karena paksaanmu dulu mungkin aku tak akan
menemukan jati diriku ini. Aku senang, aku bahagia bersama kalian dalam garis
yang sudah kalian rancangkan. Terimakasih…
Tulungagung, 10 September 2013
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete