picture: mariannedanetrinidad.com |
Mataku dengan jeli
mengamati sekitar. Dulunya hanya ada pagar, namun kini juga ada pohon besi
bertumpuk gembok warna-warni. Aku menyelisik satu persatu di mana dulu kami
mengaitkannya. Aku yakin di sekitar sini, tak jauh dari sisi di mana aku bisa
memandang panorama Seoul yang di belah sungai Hangang.
Tanganku meraba-raba,
menyingkirkan besi-besi yang berjejal. Ah, benar. Aku menemukannya. Gembok biru
bertuliskan namaku, terkunci menjadi satu dengan gembok biru senada dengan nama
Satria.
Gembok itu juga mengikat kartu
kecil berbentuk hati. Satria menuliskan beberapa pepatah cinta di sana.
Sementara aku memilih untuk menuliskan mimpi-mimpiku tentang Satria. Harapanku
untuk bisa terus bersamanya.
Satria. Lagi-lagi
aku memanggil namanya, dalam benakku.
Memoriku mengulas masa
lalu. Aku dan Satria datang ke Korea Selatan untuk bekerja waktu itu. Tentu
saja kami juga tak mau menyia-nyiakan pemandangan indah kota romantis ini. Malam
usai berbisnis, Satria mengajakku ke sini. Telah ia siapkan gembok yang menjadi
legenda cinta kami.
Kau masih ingat, Satria, kita berjanji untuk
saling mencintai sampai mati. Cintaku untukmu dan cintamu untukku terkunci di
sini. Bersama perasaan kita, kau lempar kunci milikmu sangat jauh. Memang
kunciku tak terlempar sejauh milikmu, namun kau tahu cintaku tak kurang
untukmu. Hatiku terus mengadu, seolah Satria sedang
mendengarkanku.
Perlahan kepingan kenangan itu
semakin cepat bergulir. Tentang janji itu, pelukan hangatnya, dan bulan sabit
yang kami saksikan bersama. Romansa cinta Namsan Tower dan bulan yang menarik
garis senyum di langit bertabur bintang mengukir cerita kita.
Tanpa terasa, air mataku
telah bermuara. Bulir-bulir itu mengalir begitu saja tanpa kupinta.
“Satria,” desisku lirih,
nyaris tidak terdengar. Aku mencintaimu. Akan selalu mencintaimu sampai maut
juga menjemputku, kulanjutkan dalam hati.
***
“Aku berdiri di depanmu,
tepat di depanmu,” ucapku berulang kali. Namun tak sekalipun Armiya menoleh
padaku. “Lihatlah! Aku di sini! Aku,
Satria kekasihmu. Aku di sini,” sambil menunjuk-nunjuk diriku sendiri.
Aku ingin mengusap air mata
di pipinya. Namun aku tak punya daya untuk menggapai Armiya, kekasihku. Kita
memang tak lagi sama. Meski aku masih bisa melihat pedih di matanya, namun
tanganku tak bisa menghapus laranya. Dan aku di sini, masih di sini, untuk
memenuhi janjiku pada Armiya.
“Armiya, maaf kau selalu menagis karenaku,” kataku
lagi, namun gadisku itu masih tak menggubris.
Air mata Armiya semakin luruh.
“Armiya, aku mencintaimu.”
Lalu seseorang berpakaian
rapi datang menghampirinya. Lelaki itu dengan mudahnya mengusap pipi lembut
Armiya, gadisku. Aku menggertak marah, namun kerasnya suaraku tak sampai ke
telinganya. Lelaki itu, tunggu, bukankah
dia kawan lamaku?
***
Kubiarkan semilir angin
bergelayut manja padaku hingga menyajikan kenangan-kenangan itu semakin
menguras emosiku. Aku terisak pelan. Hidungku memerah.
“Sayang, kamu kenapa?”
Suamiku, yang tadi pamit
untuk mencari sesuatu kini sudah kembali. Kupikir ia akan pergi lebih lama,
jadi aku punya waktu untuk mengenang kisahku.
Tiba-tiba ia menjajari
tubuhku dan memandang lekat ke wajahku. Matanya menerawang, menatap cemas.
“Dek Miya menangis?”
Buru-buru kuusap air
mataku, namun ia lebih dulu menyapukan jemarinya ke pipiku.
“Kenapa? Dek Miya mau
bercerita?
Ya, itulah suamiku. Ia tak
pernah memaksa meski aku selalu mengacuhkannya. Ia bahkan selalu meminta ijin bilamana
aku enggan bercerita. Namun ia juga tak pernah marah bila aku memilih untuk membisu.
“Baiklah, Dek Miya bisa
cerita lain kali saja.” Ia masih menyeka air mataku yang hampir hilang tak
tersisa. “Oh,ya. Aku membeli ini di toko dekat halte bus tadi.”
Suamiku mengeluarkan
sepasang gembok dari saku jas-nya. Dua gembok berbentuk hati. Satu berwarna
merah dan satunya biru, warna kesukaanku.
“Mereka bilang kalau kita
mengunci gembok kita di sini lalu membuang kuncinya ke bawah Gunung Namsan,
cinta kita akan abadi selamanya.”
Oh, tidak! Bagaimana bisa
aku melakukannya sementara gembok cintaku telah terkunci lebih dulu pada Satria.
Perasaanku telah abadi bersamanya. Dan hingga mati nanti, aku akan tetap
mencintainya seperti Satria yang membawa cintanya padaku sampai ia mati.
“Kamu percaya dengan semua
itu?” dalihku segera.
“Ya, mungkin saja itu
benar. Bukankah hati kita seperti gembok yang dikunci. Pasti akan ada satu
kunci yang sesuai dengan gemboknya. Meski ada ribuan kunci, namun hanya akan ada
satu yang serasi. Bila kita menyatukan hati itu…”
Sebelum suamiku lebih jauh menguraikannya, aku
cepat-cepat menyela. “Itu hanya mitos.” Aku terkekeh kaku untuk menyembunyikan
perasaan. “Bagiku, itu hanya trik pemerintah untuk meningkatkan jumlah
pengunjung Namsan Park ini.”
Sungguh aku telah berdusta.
Bagaimana tidak? Semua yang dikatakan suamiku benar, dan mitos itupun
kupercaya. Hatiku yang terkait pada hati Satria abadi karena gembok yang
terkunci.
“Ya, sepertinya itu juga
benar. Kota ini pasti menciptakan mitos itu untuk membawa orang-orang seperti
kita ke sini.” Suamiku membenarkanku dengan logikanya. “Ah, anggap saja kita hanya
bersenang-senang dengan cerita itu. Hanya, seperti bermain lalu pergi.
Bagaimana?”
Tidak mungkin, aku tidak
bisa bermain-main dengan hati. Dan nyatanya hatiku telah terkunci. Tiba-tiba tanganku terasa hangat seolah ada yang menggenggam erat.
Cerita ini diikutkan dalam
tantangan #NulisBarengAlumni @KampusFiksi #KF4 dalam tema #Kunci. Gomawo…
NB: Terimakasih buat Sinta di Korea yang mau berbagi ceritanya
tentang Namsan Tower. Tadinya mau pakai pict kamu, tapi ternyata nggak sesuai
dengan alurnya.
Tulunggaung, 26 Oktober 2015
~Reezumi~
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete