Mendung menjadi
pertanda mengerikan yang mengintaiku dari kematian. Gumpalan awan hitam terus
memaksaku menyerah dari pertahanan. Dan titik-titik air menghajarku dengan
keputusasaan. Itulah hujan. Hujan selalu mengingatkanku akan hari itu. Kenangan
atas hidupku, juga pada takdirmu.
Harusnya aku mati
saja bersamamu saat itu. Ah, tidak! Harusnya hanya aku yang mati. Biarlah aku
saja yang meninggalkan dunia ini. Namun kenapa kau harus datang ketika aku
sudah bulat memutuskan untuk mengakhiri hidup? Untuk apa kau ikut melompat bila
kau sendiri tahu bahwa berenang adalah kelemahanmu?
Aku mengenalmu. Hanya aku yang tahu siapa sesungguhnya dirimu. Meskipun keras menentang pintamu atau menangis di hadapanmu, kau juga tak akan pernah membiarkanku pergi bersama janin ini.
Tapi apa yang bisa
kulakukan selain mati? Mana sanggup kuhadapi hari-hari nanti? Terlalu muda
untukku memikul tanggungjawab sebesar ini. Aku belum siap. Kurasa, aku tak akan
pernah bisa. Aku hanya ingin pergi selamanya membawa luka ini. Aku ingin mati.
***
Tetes-tetes air mencium
helai rambutku lalu menghantarkan dingin yang kuat, lebih dari yang biasa kurasakan.
Basahnya membekap tubuhku lalu menjadikannya rapuh. Kecipak hujan yang menghantam bersahutan dengan
deburan ombak yang mengikis karang. Untuk kedua kalinya aku berdiri di ujung
tebing karang ini. Aku menantang takdir untuk menjemput nyawaku lagi.
“Aku akan datang kepadamu,”
kataku pada diri sendiri, pada laut di depanku, dan padamu yang kini entah
berada di alam mana.
Tiba-tiba kakiku
lemas. Inilah yang akan terjadi bila hujan datang mengguyurku. Hujan membawa
memoriku kepada wajah pucatmu, gelagap mulutmu yang menelan air garam. Aku tak
sanggup melihatmu tenggelam waktu itu.
Aku seperti tercekik
sendiri. Lututku lunglai tertopang bebatuan yang tak mampu kurasakan lagi
tumpulnya. Lalu kau datang dan memelukku dari belakang. Pelukan hangat, yang
dulu sering kau suguhkan. Kau tersenyum, namun garis di bibirmu itu sulit kuartikan.
Dan sedetik kemudian hujan di sekitarku menyingkir. Aku heran, apakah
kehadiranmu yang mengusir hujan itu pergi? Mungkin benar, kau begitu benci
hujan dan aku juga takut hujan. Tapi hujan kali ini lebih tahu diri untuk
membiarkan kita teduh dalam sunyi.
Tangan kananmu
menyentuh pipiku. Telapak tangan itu masih sama lembutnya seperti dulu. Lalu
jemarimu yang lain meraba perutku. Ya, kau juga menciuminya. Siapa yang
sebenarnya kau rindu? Aku ataukah bakal anakmu?
“Aku mencintaimu, lebih
daripada dirinya.’’ Yang kau maksud adalah anakmu yang berdiam di perutku. “Tapi
kau harus mencintainya, lebih dariku atau dirimu sendiri.”
Aku tak mengerti
ucapanmu. Kukira kau akan bilang kalau kau mencintaiku, merindukanku, atau kau
telah menungguku. Namun apa ini? Kau menyuruhku melahirkan anak ini? Anak yang
telah menghancurkan hidupku dan merenggut takdirmu.
Perlahan kubuka kelopak
mataku. Aku tidak ingat bahwa aku sedang terpejam tadi. Pandanganku menyapu samudra
luas dengan deru gelombang yang semakin garang. Angin laut menghempaskan tubuh
kecilku, seolah menentang niatku kali ini. Hujan semakin deras memancing kilat
yang menggelayut di langit gelap. Hujan.
Tunggu… Ada sesuatu
yang tidak benar. Bukankah hujan ini telah pergi? Dimana kamu? Kemana pelukan
hangat yang tadi kurasakan? Apa aku hanya berhalusinasi, ataukah kau
benar-benar datang untuk mencegahku mati?
Kuraba perutku yang
telah buncit. Kutarik napas panjang melalui hidung yang hanya tersisa sedikit
celah. Beberapa mililiter air ikut masuk kedalamnya. Lalu aku lepaskan semuanya
dengan teriakkan panjang. “Aaa……” Aku lampiaskan kegagalanku untuk mati pada
lautan, juga pada hujan. “Aaaaa……”
S SS
Tulungagung, 21 Oktober 2015
Diikutsertakan dalam tantangan #NulisBarengAlumni #KampusFiksi #KF4 dengan tema #Hujan
~Reezumi~
~Reezumi~
Wew... hampir sama ending cerita hujan kita, mbak. Tos!
ReplyDeleteOh ya? mana-mana? biar q baca ;-)
Deletetos!!!
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete