Ini dia cerpen yang kujanjikan buat Evii. Sebenarnya
ini adalah cerpen yang aku buat di bulan Juni lalu, namun kurombak ulang
semalam. Dan jujur, aku bimbang memilih judul, jadinya agak maksa.
Enjoy reading ~~~
BROKEN HOME?
“Kita cerai!!!” Alis mata bagian dalamnya tertarik ke
bawah bersamaan. Dengan mudahnya kata
itu meluncur ringan tanpa sangsi sedikitpun. Tampaknya wanita sosialita itu
sudah muak.
“Baik!” Suaminya bangkit kemudian melontarkan kata
yang sama kerasnya. “Akan segera kukirimkan surat cerai ke rumah ini.”
Tentu saja, karena sudah satu bulan mereka tak tinggal
bersama. Dan seperti biasanya pula, pertengkaran malam ini di akhiri dengan
beling yang di banting atau foto keluarga
yang bersimpuh di lantai dengan kaca yang berhamburan.
Dari kamar dengan pintu yang terbuka, seorang pemuda mengepalkan
tangannya kuat-kuat. Ia mendengar jelas apa yang sedang terjadi di ruang
tengah. Iris matanya membesar. Kemudian pandangan acaknya menangkap sosok gadis
kecil yang memeluk erat sebuah boneka panda. Bocah itu menunduk takut mendengar
suara-suara yang semakin ganas merusak telinga.
***
Pagi ini pengap di dalam sebuah ruangan remang.
Sebenarnya belum benar-benar pagi karena jarum pendek belum lama melewati angka
dua. Beberapa orang sudah pergi. Namun musik techno yang di remix apik oleh dj
seksi itu masih menggoda beberapa orang untuk bergoyang.
Pemuda berumur belasan itu tak sepantasnya berada di
sini. Baru saja ia masuk semester pertama. Harusnya ia sudah pulas di kamar
agar tak terlambat kuliah nanti. Namun Riko masih bertahan untuk tak memejamkan
matanya. Aroma menyengat juga tercium pekat dari mulutnya.
“Riko?!” teriak seorang gadis seumurannya. Ia
memicingkan hidung, tak tahan mencium bau itu.
“Hallo…sayang, kamu sudah datang.” Bicaranya
ngelantur. Riko berusaha meraih tangan pacarnya, namun berkali-kali gagal.
“Ayo aku antar pulang,” Silvi, gadis belia itu meraih
tangan Riko.
“Nggak!!! Aku nggak mau pulang.” Pandangannya berlipat
ganda. Beberapa detik kemudian Riko sepenuhnya kehilangan kesadaran.
***
“Orangtuamu bertengkar lagi?” Farid, sahabatnya yang
datang bersama silvi semalam sudah hafal dengan masalah karibnya ini. “Kamu
nggak mau pulang? Bagaimana dengan adikmu? Apa kamu nggak kasihan sama dia? Dia
butuh kamu,” tambahnya.
“Bocah itu bukan adikku!” tegas Riko. Wajahnya masih
pucat, pandangannya kosong, dan aroma alkohol belum sepenuhnya hilang.
“Tetap saja kamu kakaknya meski kalian punya papa
berbeda. Kamu tega membiarkannya sendirian dengan kondisi sekarang ini?”
“Aku nggak peduli. Bukan hanya dia yang butuh
dikasihani.” Riko membuang napas, acuh. “Aku lebih terluka!” Tiba-tiba ia
membentak.
Hari ke tiga Riko masih belum mau masuk kuliah atau
pulang ke rumah. Ia hanya berdiam di dalam kamar kos Farid yang hanya sepetak.
“Rik, kamu tidak mau pulang,” kata Farid pelan.
“Kenapa? Kamu nggak suka aku di sini? Kamu
mengusirku?” Sahut Riko dengan nada kasar.
“Nggak, bukannya begitu.”
“Rik, kamu tau kan kalau aku dan Farid peduli sama
kamu. Kita cuma nggak mau kamu terus-terusan lari dari masalah ini.” Silvi menyela.
Riko bangkit dari lantai dan memakai jaket kulit hitamnya
yang tergantung di balik pintu. Wajahnya datar tanpa satu katapun terucap dari
mulutnya lagi.
“Kamu mau kemana?” Silvi ikut berdiri.
“Kamu bilang aku harus menyelesaikan masalah ini, kan?”
ucap Riko setengah membentak.
“Iya tapi mau kemana?”
Riko kembali membisu lalu memakai sneakers berbahan
jeansnya dan pergi begitu saja.
***
Riko turun dari taksi di sebuah tempat yang sepi. Tak
begitu jauh dari kota, hanya masuk di sebuah perkampungan sederhana. Dinding-dinding
penuh grafiti mengelilinginya. Hanya ada tanah berlumpur dan beberapa ilalang
hingga langkahnya berhenti di sebuah halaman lapang.
Farid dan Silvi yang diam-diam mengikuti dan tiba satu
menit setelahnya. Mereka khawatir Riko akan bertindak bodoh lagi.
“Riko!!!” teriak Silvi lalu menghampiri pacarnya.
Seorang lelaki yang tadinya berbincang dengan Riko
langsung terbirit-birit mendengar suara itu. Ia berlari meninggalkan Riko yang
mematung mendapati Silvi dan Farid di hadapannya.
Silvi menarik tangan Riko hingga sesuatu yang di
genggamnya terjatuh ke tanah. Mata mereka bertiga tertuju ke satu arah dan sama-sama
terkejut melihat beberapa butir obat tercecer di bawah. Riko segera membuang
tangan Silvi untuk memungutinya.
“Riko!!!” teriak Silvi lagi lalu mendaratkan sebuah
tamparan di pipinya. “Jangan bilang itu…”
“Ya, itu narkoba. Memangnya kenapa?” jawab Riko.
“Memang apa yang harus aku lakukan. Kalian bisa apa, hah? Kalian bisa membuat
papa mamaku tidak bercerai atau membuang bocah sialan itu ke laut? Kalian bisa
lakukan itu?”
“Bukan seperti
ini!” tegas Silvi dengan suara bergetar. “Bukan seperti ini caranya, Rik.”
Silvi membuang napas kesal.
“Lalu bagaimana? Tobat? minta tolong pada Tuhan
seperti yang kamu katakan? Hah, omong kosong! Buktinya mama bercerai tiga kali
dan mungkin ia akan segera menikah lagi.”
Plak!!!
Silvi menampar Riko lagi. “Oke. Aku akan berhenti di
sini. Aku sudah lelah. Aku tidak mau ikut dalam tingkah bodohmu ini. Terserah
kamu mau berbuat apa, aku nggak peduli lagi.”
“Tunggu,” Riko menahan tangan gadisnya. Ia menatap
lekat kedua mata berkaca itu. Silvi, seseorang yang selalu setia disampingnya
meski takdir berkali-kali menggulingkannya. Dalam bola mata cokelat itu ia
menemukan kesejukkan, kedamaian.
***
Riko mengendap-endap. Kakinya sedikit menjinjing
supaya tidak menimbulkan suara. Ia hanya tak mau ribut dengan mamanya. Dimasukkannya
beberapa helai pakaian dan juga buku-buku pelajaran.
Tanpa sengaja sebuah buku bersampul merah terang
terjatuh. Beberapa lembar foto tercecer ke lantai. Riko memungutinya satu
persatu lalu terdiam beberapa detik. Foto masa kecilnya, ada foto mama dan papa
kandungnya juga di sana. Lalu ia melempar semuanya. Foto itu melayang sejenak
oleh angin yang masuk dari celah jendela, kemudian meliuk-liuk dan kembali
jatuh di hadapannya.
“Riko! Kamu sudah pulang, sayang,” ucap mamanya
khawatir. Namun Riko bersikap dingin dan melangkah keluar bersama tasnya yang
sudah penuh. “Kamu mau kemana lagi?” tambah mama.
“Udah deh, nggak usah sok peduli! Urus saja hidup mama
sendiri sebelum mencampuri hidupku!”
“Riko,” rintih mamanya.
“Mama nggak capek apa buat masalah terus? Kenapa mama
nggak bisa belajar dari pengalaman mama yang lalu. Mama sudah buat papa
ninggalin Riko, dan sekarang mama juga buat bocah itu kehilangan papanya,”
sambil menunjuk gadis kecil yang menyembunyikan sebagian tubuhnya di balik
pintu.
“Kamu belum mengerti sayang. Mama tidak pernah berniat
menjauhkan kalian dari papa kalian, tapi mama…”
“Ah sudahlah! Kenyataannya memang begitu. Mama nggak
perlu membela diri. Riko sudah besar dan Riko akan pergi dari sini.”
Air mata yang tertahan di kelopak mata akhirnya lumer,
mengalir bersama lara yang menjalar ke seluruh tubuh sang mama. Sementara itu
Riko melangkah pergi tanpa menoleh sedikitpun.
***
Satu minggu kemudian Riko masih terus menggelandang
tanpa tujuan, ia hanya berhenti ketika menemukan café atau bar. Entah bagaimana
caranya ia bisa masuk ke sana. Menenggak beberapa botol minuman dan membayarnya
dengan salah satu kartu ATM yang masih bisa digunakan untuk beberapa bulan
lagi. Riko semakin kacau.
Telepon genggam di atas mejanya terus berdering.
Sekarang sudah panggilan ke 14 dalam sehari ini. Tapi gadis di seberang telepon
masih belum menyerah. Silvi menghubunginya lagi. Dengan setengah kesadaran Riko
mengangkat teleponnya kali ini.
“Halo, Riko…Rik…kamu dimana?” tanya Silvi cemas namun
ia tak mendapat sahutan. “Riko, jawab Rik, sekarang kamu dimana biar aku jemput
kamu ya?”
***
Silvi tiba, ia tak menemukan hal yang salah pada Riko.
Lelaki itu baik-baik saja dan tampak sehat, jauh berbeda dengan suaranya di
saluran telepon tadi. Ia mendekatinya lalu duduk di bangku besi tepat di
sebelahnya.
“Untuk apa Tuhan menciptakan hidup yang tak adil ini?”
Silvi meraih tangan Riko yang dingin lalu menggenggamnya.
“Itu bukan karena Tuhan tak adil, tapi karena Dia mencintaimu, Tuhan ingin
dekat denganmu melalui cobaan ini. Rik, jangan menjauh sementara Tuhan ingin
dekat denganmu. Dia memilihmu, maka datanglah padaNya.”
“Entah apakah aku masih percaya pada Tuhan. Dia
membiarkanku sendiri. Aku sudah tak punya siapa-siapa. Bahkan kamu juga tak
sanggup lagi bertahan di sisiku.”
Silvi mengenggam tangannya semakin erat. “Tidak, aku
tidak akan pernah pergi. Aku selalu ada bersamamu, begitu pula mama dan
adikmu.”
Riko segera membuang genggaman itu ketika mendengar
mamanya disebut.
“Mama kamu, dia sakit setelah kamu pergi malam itu.”
Silvi bergeser sedikit agar lebih dekat. Ia meraih wajah Riko dengan kedua
tangan lembutnya. “Aku tahu kamu tidak benar-benar ingin pergi. Kamu bawa
buku-buku kuliahmu, kan? Aku yakin kamu masih menyayagi hidupmu. Setidaknya kamu
harus hidup lebih baik. Jadi pulanglah denganku.”
***
Riko melihat dari kaca transparan di ruang ICU Tampak
mamanya yang sedang terbaring tak sadarkan diri. Beberapa selang terhubung ke
mulut dan hidung mamanya. Matanya terpejam. Keberaniannya hanya sampai di
ambang pintu lalu Riko berbalik.
Tiba-tiba gadis kecil dengan boneka panda di tangannya
itu telah berdiri di depan Riko. Bocah itu menarik-narik ujung jaket kulit Riko
yang terlipat tak rapi.
“Kakak,” panggilnya sambil menarik kain itu lebih kuat.
“Kakak mau pergi?” tanyanya polos.
Riko hendak mengabaikannya, namun suara lirih dari
belakang itu menahan kakinya untuk meniti langkah.
“Apa kakak juga akan pergi seperti Papa?”
Mata bundarnya membelalak. Riko berbalik lagi dan
memandangi gadis kecil yang memainkan boneka pandanya, lalu melemparkan
pandangan ke arah lain.
“Papa bilang akan pergi jauh dan Putri tidak akan
bertemu papa lagi.” Bocah itu masih memainkan bonekannya sambil menundukkan
kepala.
Riko merasakan ada segumpal daging yang menyumbat
aliran darahnya. Bukankah dulu ia juga seperti itu. Mungkin sekitar sepuluh
tahun yang lalu ketika ia baru masuk sekolah dasar. Ia bertanya pada mama,
apakah papa akan pergi. Tapi mama hanya menarik tangannya. Mama memaksa ia
untuk melepaskan genggaman papanya. Papapun tidak berbalik, papa hanya pergi menampakkan
punggung bidangnya. Mama, meski dengan kasar ia memghapus air matanya. Mama
memeluk Riko erat. Tapi sekarang mama hanya terbaring lemah di atas ranjang. Mama,
bangunlah.
|||
Tulungagung, 25
Oktober 2015
~~~Reezumi~~~
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete