(sumber: Internet) |
Dek Miya masih menatap layar
laptopnya.
Sejak tadi pagi usai menyiapkan
sarapan lalu mengantarku ke luar untuk berangkat kerja, aku tahu kalau dia akan
langsung kembali ke kamar dan menyalakan monitornya. Hingga aku pulang, dek
Miya masih sedia menyambutku. Ia melepaskan jaket berlogo perusahaanku seperti
biasa, kemudian mangkat ke dapur untuk menghangatkan sayur dan lauk pauknya.
Tak perlu kutebak, usai membereskan meja makan ia pasti akan kembali ke
persembunyiannya. Ah, inilah hidupku, dan rumah tangga yang sudah setahun
kurakit dengannya.
Dek Miya, aku memanggilnya begitu
agar aku bisa mendengarnya membisikkan Mas Rio ditelingaku. Alih-alih mendesis
halus untuk memanggilku mas, sepatah kata sayang saja belum pernah terucap
darinya. Berkali-kali rayuan mesra kulontarkan namun hanya respon yang sama
berbalik kepadaku. Dek Miya akan tersenyum tipis-sangat tipis selama satu
detik- hingga yang kurasa bukanlah senyuman, tapi cibiran.
Aku tak pernah memaksanya. Toh ia
juga tak pernah menolak saat aku mencumbunya. Tapi pernikahan yang besok masuk
ke 366 hari itu di bangun dengan batas dinding tinggi. Sebuah dinding
yang menghalangi hatiku dan hatinya. Kami seolah tak hidup bersama. Entah siapa
yang membangun dinding itu. Dek Miya yang ingin membentengi dirinya, ataukah
sikapku yang menjadikan ragu dihatinya.
Terakhir yang kuingat, sebaris senyum
pernah mampir dibibirnya yang merah merekah pada resepsi pernikahan. Ia
tersenyum ramah kepada setiap kerabat yang datang memberikan doa dan ucapan
selamat. Akupun tak tau, senyum yang dipaksakan atau memang senyum kebahagiaan
yang ia suguhkan. Yang kupahami saat itu, aku telah terbius oleh pesonanya,
gadisku yang akhirnya menjadi istriku.
Namun doa-doa yang mengucur ketika
itu, kini ku tahu tak manjur untuk memayungi rumah tangga kami. Senyum itu tak
lagi ada, ramah itu tak pernah benar-benar menyapa. Hanya aku dan dek Miya yang
hidup berbatas dinding semu.
Apa yang salah denganku?
Berkali-kali aku introspeksi diri.
Ketika ia tak mau kuajak bulan madu ke Bali dan lebih memilih dirumah saja. Aku
berlapang hati menuruti pintanya. Meski begitu, ia juga tak pernah menentang
inginku yang pernah mengajaknya pulang ke Malang untuk sekedar bernostalgia
dengan masa kecil. Dek Miya, sungguh ia tak pernah sekalipun membuatku marah.
Aku sudah terlalu larut mencintainya.
Tapi dinding itu. Lagi-lagi dinding
itu. Dinding yang kini semakin kokoh menghalangi niat suciku ketika
meminangnya setahun lalu. Dinding macam apa itu, yang memisahkan perasaanku
terhadap istriku? Dinding yang menghalangi senyumnya, dan juga dinding yang
terus mengurung hidupnya.
Malam ini tepat ketiga jarum jam
melewati angka dua belas, aku mengendap-endap dalam temaram sorot rembulan yang
menembus jendela kaca. Kulirik dek Miya yang masih terbaring manis di balik
selimut. Beberapa kali dia memutar tubuhnya kesamping atau menyibak rambut
panjangnya yang menutupi hidung. Lalu ia kembali pulas.
Telah kusiapkan kue kukus berbentuk
hati di atas meja. Kusematkan pula ucapan Happy 1st Anniversary.
Lalu, mataku mengarah pada laptop yang lampunya nyala padam dalam aliran baterai.
Tanpa dipinta, tanganku langsung meraihnya. Aku pernah sekali melihat dek Miya
membuka internet. Jemariku kemudian menelisuri riwayat google yang
pernah dibukanya.
Aku menemukan sebuah blog
bertuliskan Armiya-nama kecil istriku. Betapa
terguncang batinku ketika membaca baris demi baris tulisan yang diketiknya
setiap hari. Curahan hatinya yang selama ini hanya tertumpah dalam dunia maya.
Aku merasa tak berguna.
Dek Miya mengulang-ulang kata maaf. Maaf
belum bisa mencintaimu, mas. Dalam tulisan yang betanggal hari ini, ia
menulis betapa sesungguhnya ia ingin menghancurkan dinding itu. Dinding yang ia
sebut penghalang bahtera kami. Namun hatinya telah bertaut dengan janji.
Mataku menjelajah, lalu kutemukan
pula kisahnya dimasa lalu. Sebuah janji yang ia junjung tinggi pada seorang
kekasih, Janjinya untuk tetap mencintai sampai mati. Ada nama Satria disana.
Apakah yang dia maksud Satria teman SMA kami? Satria yang telah berpulang
karena sakit kankernya? Aku tahu mereka cukup dekat dulu. Aku bertanya-tanya…
Jadi, inikah dinding besar itu?
Sebuah janji yang terus ia tepati untuk mencintai Satria. Dan juga sebuah janji
untuk tetap berbakti kepadaku-suaminya. Sebesar itukah ia berusaha menjaga
janji-janjinya?
Aku berjanji, akan kuhancurkan dinding
ini!!!
Pertama kali. semoga nggak banyak typo.
Tantangan #NulisBarengAlumni #KampusFiksi bertema Dinding
~Reezumi~
Menarik... tapi preposisi dan pengunaan pun masih salah. hehe.
ReplyDeleteSetuju sama Deasy.. Menarik, Mbak, ceritanya. Dinding yang semacam itu bahaya banget ya sebenarnya dalam pernikahan. Duh.
ReplyDeleteMasih ada beberapa preposisi yang memang belum tepat peletakannya. Juga penggunaan 'pun' seperti yang Deasy bilang di atas. Semoga ke depan lebih baik. Hehe :D
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteWah terimakasih buat kalian berdua...
ReplyDeleteThis comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete