“Arrrkkk…” Amami tersungkur,
kepalanya terbentur porselin putih di kamarnya. “Aow…” rintihnya lagi.
Spontan ia langsung bangun dan
mengelus bagian kanan kepala yang dirasanya sakit dan sedikit pusing. Jadi
semua itu hanya mimpi.
Sorot mentari pagi menembus jendela
kaca apartemen di pusat kota Jakarta itu. Amami merasakan aroma pagi yang
berbeda. Matanya langsung tertuju pada beker bulat yang masih ditempatnya.
08.55.
“What???”
Amami panik dan berpikir keras
bagaimana ia bisa tertidur begitu lama. Marah. Kesal. Wajahnya tampak kecewa
dan menyesal. Padahal tiap pukul 05. 45 tepat ia sudah menyeruput kopi panas di
meja kerja sambil menatap layar laptopnya.
“Amira…!!!” Sadar dari amnesia
kambuhannya, Amami langsung memanggil-manggil saudaranya.
Ia segera menuju arah suara air kran
yang mengucur deras di kamar mandi. Menggema pula lagu Westlife yang
dinyanyikan dengan nada tak jelas, fals dan lebih mirip klakson truk gandeng
yang memekakan telinga.. “Amira… Amira… Buka pintunya!!! Kenapa kamu matikan
alarm kakak?! Hey!!! Cepat keluar! Kakak sudah terlambat,” teriak Amami lagi.
Amami tak mau berdebat saat ini.
Sekarang bukanlah saatnya memberi pelajaran Amira yang malah asyik mandi. Gadis
itu segera pergi setelah memasukkan notebook dan alat tulisnya ke dalam tas.
Setidaknya pagi ini ia tak mengumpat pada sopir taksi karena macet.
***
Dengan segelas plastik kopi panas
yang baru buatnya, Amami berlari mengejar lift yang hampir tertutup pintunya.
“Tunggu!”
Ya, sebagian besar orang akan
mengatakan hidup yang membosankan, rutinitas yang membosankan, waktu yang
membosankan dan segala macam bentuk kebosanan yang lain. Tapi bagi Amami, apa
yang dia lalukan adalah hal menyenangkan. Sesuatu yang membanggakan dalam hidup
dengan tak membuang percuma sedetikpun waktu yang diberikan Tuhan padanya.
“Hey, kemana saja kau ini? Hasan
mencarimu dari tadi?” sapa Rina yang
sudah ada di dalam lift lebih dulu.
“Ceritanya terlalu panjang,” jawab
Amami. Kedua tangannya sibuk membawa jurnal, tumpukan dokumen lainnya dan
segelas kopi, jadi ia memberi isyarat pada Rina untuk menekan tombol lift.
“Hm….” desis Rina, layoter majalah
fashion di kantornya. “Baiklah kalau begitu ceritakan kapan-kapan saja. Oh iya,
kamu masih ingat Friko kan?”
Amami menaikkan alis tanda tak
mengerti, ia benar-benar tak ingat nama yang di sebutkan rekannya tersebut.
“Itu lho, sepupuku yang aku kenalkan
padamu seminggu yang lalu. Dia ingin mengajakmu makan siang hari ini. Kenapa
kamu nggak mengangkat teleponnya, sih?”
Amami membetulkan letak dokumennya
yang hampir jatuh. “Rin, dengar ya,” sambil keluar dari lift. “Aku sudah
kehilangan hampir 4 jam waktuku tadi
pagi. Banyak yang harus aku kerjakan dan, maaf, aku tidak bisa pergi dengan
sepupumu itu. Katakan padanya, Friko, aku sangat menyesal.”
“Tapi aku sudah bilang padanya…”
Rina paham betul sifat Amami yang dikenalnya ketika masuk di kantor penerbitan
majalah fashion ini. Dan sekarang bukan saatnya mengganggu dia dengan urusan
kencan. rina pun kembali ke mejanya tanpa mengejar Amami yang sudah lebih dulu
duduk di kursinya.
***
Harusnya Amami sudah duduk di kursi
paling sudut itu tepat jam 07.00, atau setidaknya bisa menyelesaikan dua buah
artikel dan satu tulisan eksklusif hasil wawancaranya dengan seorang perancang
busana terkenal kemarin. Tapi jadwalnya hari ini berantakan.
“Ami!” panggil Hasan yang sudah
mencari-carinya sejak pagi.
“Hay, Hasan. Untung saja kamu di
sini. Aku baru saja akan ke ruanganmu. Mana foto-foto di acara peragaan busana
kemarin? Aku akan menulis untuk edisi selanjutnya,” pintanya sambil mengetik di
komputenya. Sesekali ia melirik Hasan ketika berbicara.
“Deadline-nya masih lima hari lagi, Amami.
Jangan mulai lagi deh. Aku mencarimu bukan untuk itu, tapi…”
“Stop!” potongnya. “Kamu yang
jangan mulai lagi. You know me so well, right?! Kalau bisa diselesaikan
sekarang kenapa harus menunda. Setiap menit, bahkan setiap detik itu sangat
berharga.”
“…dan sangat merugi kalau kita
menyia-yiakannya,” ucap mereka bersamaan.
Hasan sudah tau betul prinsip hidup
teman kecilnya itu. Sejak SD bertetangga dekat hingga SMP, lalu mereka dipertemukan
kembali dalam pekerjaan yang sama di Jakarta. Keduanya saling mengerti satu
sama lain. Dan kalimat itulah yang selalu Amami ucapkan ketika mereka selalu
bertengkar tengtang waktu seperti sekarang.
“So, mana fotonya?” Amami
menengadahkan tangan meminta file foto liputannya kemarin.
“Ok miss on time. Aku nggak
peduli apa katamu, aku akan memberikan file itu nanti siang. Kita lunch
diluar hari ini.” Hasan memaksa dengan nada serius nan santai.
Amami Azalean atau yang lebih
dikenal dengan nama pena Aza, semakin meradang. satu-satunya orang yang bisa
mengalahkan prinsipnya ya cuma si fotografer sok cool dan pemaksa bernama
Hasan. Meskipun Amami juga mengakui kehebatan Hasan dalam urusan fotografi,
namun ia membenci sahabatnya itu ketika mengganggu dan membuang percuma
waktunya.
***
Mereka tiba di sebuah restoran cepat
saji. Letaknya tak jauh dari gedung-gedung perkantoran sehingga membuat tempat
ini ramai apalagi pada saat istirahan makan siang. Amami segera mengeluarkan
notebook ketika telah mendapatkan tempat di sudut ruangan, dekat dengan kaca.
“Kenapa kita tidak ke café biasanya?
Disana lebih tenang dan nyaman. Aku tidak akan bisa konsentrasi di sini,” ujar
Amami, sambil menggerak-gerakkan pointer dilayarnya. “Orang-orang itu seperti
politikus aja, bicara keras tanpa titik koma, dan apa yang mereka bicarakan
sama sekali nggak ada gunanya,” tambah gadis itu yang mulai menggerutu tak
jelas.
“Bukankan kamu juga melakukan hal
yang sama barusan?!” sindir Hasan.
“Apa maksudmu?” Amami yang tak
pernah mau kalah segera mencari pembelaan. “Setidaknya omonganku itu berarti, bukan
omong kosong para caleg dengan janji-janji uapnya,” sambil menekan enter
pada notebooknya. “Oh iya, mana fotonya?”
Hasan mengacuhkan permintaan Amami,
ia malah mengangkat tangannya hingga seorang pelayan datang menghampiri. Dengan
nada rendah dan ramah pelayan itu menawarkan menu makanan dan siap mencatat
pesanan.
“Dua porsi nasi ayam bakar, yang
satu pakai sambal agak banyak,” pesan Hasan yang sekaligus memesankan menu
favorit Amami yang tak pernah berubah dari waktu ke waktu.
“Baguslah. Itu mempersingkat 0,99
detik waktuku.”
Hasan menutup notebook Amami dengan
paksa, lalu meletakkan di kursi kosong sebelahnya. “Sekarang waktunya makan
siang, bukan bekerja. No laptop! No photo! No writing! Ok?!!”
“San, aku nggak butuh leluconmu saat
ini. Aku harus dan sedang ingin menyelesaikannya. Kamu tau kan kalau makan itu adalah
sebuah pekerjaan di Cina. Orang Cina bisa menyelesaikan apapun saat makan siang.Dan
aku juga sudah memasukkan prinsip itu dalam kamusku. Aku bisa menghemat
seperempat jam waktu saat makan siang untuk dua halaman berita.”
“Yups, aku tau betul kamu akan
seperti ini. Tapi kamu juga harus menghemat lima belas menitmu itu untuk
mendinginkan otak. Kamu pikir otakmu itu mesin yang nggak punya rasa lelah?!
Otak perlu istirahat supaya dapat ide yang lebih fresh.” hasan menatap
serius. “Tidak boleh ada bantahan lagi. Now, it’s time to lunch. Ok?!”
Amami mengangguk ragu, sedikit
jengkel, dan kesal. Hanya pada Hasan ia bisa mengalahkan egonya. Tak pernah ia
mau berhenti melakulan sesuatu selain pada Hasan. Itu karena ia sangat
menghargai laki-laki itu sebagai sahabat yang sangat berjasa untuknya.
Pesanan telah terhidang di meja.
Amami tak segera menyantapnya namun ia mengamati satu-persatu tiap sajian di
depannya seperti seorang detektif yang menyelidiki sebuah kasus. “Kenapa sambal
itu ada di depanmu? Bukannya itu untukku?” tanyanya.
“Kata siapa ini milikmu. Makanan
untukmu adalah itu ya yang ada di depanmu itu,” jawab Hasan puas telah
mengerjai gadis itu.
“Tapi aku tidak bisa makan tanpa
sambal yang pedas.”
“Itu karena kamu tak pernah
mencobanya. Sudah sekarang kamu makan saja. Bukannya akhir-akhir ini perutmu
sering sakit setelah makan pedas.”
Amami bergumam jengkel sambil
menusukkan garpu dengan terpaksa lalu memasukkannya ke mulut dengan sangat
pelan pula.
“Oh iya, apa acaramu nanti malam?”
tanya Hasan.
“Entahlah. Mungkin di rumah, adikku
datang dan menginap dari kemarin. Gara-gara dia juga aku jadi terlambat hari
ini.” Sesendok ayam bakar masuk kemulutnya, ia kunyah pelan lalu menelannya.
“Waw… This is delicious. Bagaimana bisa rasanya seenak ini.”
“Sudah aku bilang kamu harus
mencobanya. Ayam bakar di sini berbeda karena dibumbui dan dibakar dengan cara
tradisional. Kalau kamu makan dengan sambal, nggak akan merasakan kelezatan
dagingnya yangseperti itu.”
“Oke, aku akui kali ini kata-katamu
benar. Hanya tentang makanan ini. Bukan masalah prinsip waktuku ya?! Aku
berikan pengecualian untuk makan siang kali ini.”
“Hm… Berari kamu tidak ada acara
nanti malam? Kalau begitu kita makan di luar, ya?! kamu bisa mengajak adikmu
kalau mau.”
“Kamu ini kenapa sih, hari ini
begitu banyak mengaturku, memaksa begini, begitu. Hey, aku tau aku ini
sahabatmu satu-satunya dan hanya aku yang mau pergi ke luar denganmu. Bukan
bermaksud menyinggung tapi kenyataannya aku tak pernah melihatmu pergi dengan wanita
lain kecuali aku, itu faktanya kan?! Tapi itu bukan berarti aku tak punya
acara. Banyak yang harus aku selesaikan hari ini.” Amami istirahat sejenak
dengan memalingkan pandangan keluar kaca restoran.
***
“Iya bu, Nanti Amira sampaikan.” Amira
menutup telepon ketika Amami masuk ke rumah.
“Telepon dari siapa dek?” Sekesal
apapun, Amami tak bisa marah pada adiknya lebih dari sehari. Terlahir di weton
yang sama membuat mereka sama-sama mewarisi watak keras kepala, gigih, namun
juga perasa yang memiliki kelembutan hati.
“Dari ibu.” Amira mendekati kakaknya
yang sedang melucuti aksesoris ditubuhnya. “Kak,” panggilnya ragu.
“Hm…?” jawab Amami sambil menatap
cermin, menghapus make up yang seharian menempel di wajahnya.
“Ibu tanya, kapan kakak pulang…”
Amira berhenti sejenak mengambil napas. “Dan mengenalkan kekasih kakak pada
Ibu,” lanjutnya.
Amami mematung seketika. Tubuhnya
seolah diestrum listrik bertegangan tinggi dan ia tak mampu bergerak
sedikitpun. Pertanyaan itu meluncur lagi dari ibunya, meskipun hanya lewat
perantara adiknya.
“Iya,” jawab Amami asal. Sampai saat
ini ia memang belum memiliki jawaban yang pasti.
“Iya, kapan kak?” Amira menuntut
penjelasan.
“Iya. Nanti.” Amami mulai kesal.
“Kak, kakak ingat nggak ini hari
apa? Ini hari ulang tahun kakak, yang ke 30 kak. Sampai kapan kakak akan sok
mandiri, sok kuat, sok tegar tanpa seorang lelaki di samping kakak?!”
Setruman itu kembali mengalir, namun
kali ini menembus sampai ke tulang dan membuatnya retak. Pernyataan sejenis ini
selalu dikatakan teman-temannya, saudara-saudaranya, ibunya, dan kini Amira
yang sedari dulu tidak pernah menyinggungnya.
Amami tak habis pikir kenapa semua
orang begitu sibuk mengurus hidupnya, mencarikan jodoh untuknya, mengkhawatirkan
status jomblonya. Gadis itu merasa nyaman dengan apa yang dia lakukan sekarang.
“Kakak sudah pernah bilang kan kalau
kakak nggak apa-apa. Kamu sendiri lihat kan?! Tanpa siapapun kakak bisa sukses?
Kakak bisa membeli rumah di Malang, membiayai kuliahmu, kakak bisa melalukannya
sendiri,” jawab Amami yang mulai meninggikan suaranya.
Dua saudara itu mulai merasakan
kecanggungan dalam hening. Mereka diam beberapa lama, hingga akhirnya Amira
bangkit dari duduknya lalu memakai jaket dan bersiap keluar. Sedangkan Amami
tidak bergeming.
Sebelum membuka pintu, Amira
berhenti sejenak. Matanya berembun, berusa menahan air mata yang memaksa
keluar. Ia ragu untuk berucap. “Ibnu melamarku sebulan yang lalu. Dan dia masih
menunggu. Hanya kakak yang bisa memberi jawaban.” Sambil mengusap air mata yang
akhirnya jatuh ke pipi, Amira mengambil napas panjang. “Hanya kakak yang bisa
memutuskan, karena Amira menyayangi kakak.”
***
LIHAT PART 2 Di SINI
LIHAT PART 2 Di SINI
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete