Yang benar saja! Matahari belum menampakkan sorotnya dan
ikan-ikan belum terbangun dari tidur. Bahkan, jangkar juga belum dilemparkan sejak
hengkang dari dermaga.
“Police! police!” Teriakan kacau dari seluruh awak kapal
yang lebih banyak berkulit cokelat namun berbincang dengan bahasa asal mereka.
Hanya aku dan tiga orang lain yang berwajah lokal.
Sama terkejutnya denganku, mereka berhamburan tanpa diperintah,
mengemasi barang-barang dan memasukkan bahan peledak ke dalam kotak kayu. Orang
paruh baya itu menyeret kotak-kotak dengan otot kekarnya ke geladak bawah. Ada
sebuah celah kecil disana, tempat tersembunyi yang paling aman.
“Ah sial!!! Sepertinya aku akan mencium aroma pengap lagi,”
umpatku sendiri pada angin laut yang semakin dingin menusuk tulang.
Cepat atau lambat polisi laut pasti akan segera
mengobrak-abrik kapal asing ini. Bukan hanya tidak dilengkapi surat-surat, tapi
peristiwa ini akan menjadi headline
berita dengan ditemukannya bom-bom pembunuh ikan itu. Meski berdaya ledak
kecil, tetap saja itu bom. Dan aku…akan kembali terkurung di balik jeruji besi.
Tiba-tiba, seseorang menarik lenganku. Dia Petrus, lelaki
yang berbincang denganku kemarin sore di dermaga. Ia pendatang sama sepertiku,
namun ia telah lama tinggal di Kaledupa. Sedangkan ini adalah kali pertama aku
mengarungi perairan Wakatobi. Itupun atas saran kawan satu sel-ku dulu untuk
bergabung dengan kapal Morio, penyelundup ikan illegal yang tersoror di
kalangan pemasok ikan-ikan curian.
“Pakai ini dan bersembunyilah di dalam air,” ucapnya
berbisik sambil dengan paksa memakaikan tabung oksigen ke punggungku. “Besok, akan
ada perahu yang melintas. Katakan padanya bahwa kau temanku.”
“Apa? Bagaimana denganmu?” tanyaku berbisik.
“Aku akan tetap di sini,” jawab petrus.
Aku terkejut sekaligus khawatir. “Tidak! Lebih baik kamu
yang pergi. Aku sudah terbiasa di penjara. jadi bukan masalah kalau harus ke
sana lagi.”
“Tidak ada waktu lagi. cepat pergi!” pintanya.
“Tapi…”
Petrus memotong kalimatku. “Inilah saatnya aku berhenti
melawan kehendak laut.”
Petrus menautkan jari-jarinya padaku kemudian mengepalkan
telapak itu dan memberikan pukulan ringan di dada, sebuah salam persahabatan yang
kemarin ia ajarkan. Lalu dengan cepat ia mendorongku keluar dari kapal. Lagi-lagi
sial. Memang tidak akan kembali ke penjara, tapi aku bisa mati membeku dalam
air. Sementara itu, Petrus tampak pasrah menatapku.
***
Remis-remis kecil merangkak menjauhi pantai sementara ombak terus
menerjang dan mengikis tepian karang. Gemuruhnya tak kalah keras dengan tawa
bocah-bocah pesisir bertelanjang kaki yang asik bermain air. Beberapa dari
mereka menggoda anak penyu lalu berbicara dalam bahasa imaji mereka.
Entah bagaimana laut membawaku ke sini dan berakhir menjadi seorang
buruh angkut ikan. Setidaknya laut masih berbelas kasih dan tak membiarkanku
mati ditelannya saat itu. Kusebut itu sebagai kehendak lautan, yang tak
mengenal mana yang salah dan mana yang benar.
“Hei anak muda!” lelaki tua itu memanggilku. Bagaimana dia
masih menyebutku anak muda dengan kumis tebal dan tubuh tinggiku ini. Padahal
harusnya aku sudah 31 tahun, atau mungkin lebih. Aku tak ingat berapa lama
waktuku terbuang di penjara. “Cepat kau ikat kapal ini dan bawa ikan-ikan ke
pasar,” perintahnya lalu melenggang pergi ke warung tak jauh dari pantai. Ia
pasti akan menghabiskan beberapa rupiah untuk makan nasi dan tongkol goreng
sambil terus mengepulkan asap rokok dari mulutnya.
Tak jauh dari tempatku berdiri, seorang gadis melompat ke atas
kanal-kanal yang berjajar. Gadis berkulit legam itu berhenti di kapal kecil
lalu mengayuhnya. Aku tak begitu yakin, namun tak bisa kubiarkan rasa penasaran
ini hanya semakin mengakar di dalam hati.
Aku sudah pernah merasakan omelan bahkan cacian laki-laki
tua itu ketika mencoba mengikuti gadis perahu itu pertama kali. Aku meninggalkan
ikan-ikan begitu saja hingga di curio rang dan malah mengitu seorang gadis
berkulit legam. Jadi bukan hal menakutkan lagi kalau harus mendengarkan makiannya
sekali lagi.
***
Aku tak tau kemana gadis itu akan menyeretku di atas ombang
ambing ombak ini. Semakin jauh saja dan tak ada tanda-tanda untuknya berhenti. Sesungguhnya
aku tak benar-benar bisa menaiki lepa-lepa[1].
Aku juga tak yakin apakah harus terus mengikutinya yang semakin menjauh dari
daratan.
Hei!!! teriakku
dalam hati. Apa
yang dia akan lakukan? “Hei... hei…
jangan!!!” Akhirnya kalimat itu meluncur spontan dari mulutku. Namun ia sudah
terlanjur menenggelamkan dirinya ke dalam air. Air laut siang ini memang hangat.
Mentari memanggang sempurna dan siapapun pasti tergoda untuk menyelaminya.
Dia melompat dari perahu. Ya, hanya dengan kain yang melekat
ditubuhnya. Bukan itu masalahnya, mungkin dia masih bisa berenang tanpa oksigen
atau dengan kaki telanjang. Tapi… tiga menit, empat menit, lima menit, tujuh
menit, sepuluh menit… sudah terlalu lama ia berada di dalam air.
“Apakah sesuatu terjadi?” gumamku khawatir.
Aku menarik napas panjang, mengambil beberapa udara melalui
mulut dan byur… Beberapa teguk air asin melanyahkan tenggorokkanku. Dingin.
Dan…dimana dia?
***
Bau anyir menyeruak melalui lubang hidung. Pandanganku mulai
nampak jelas, lalu hampir saja membuatku melompat kaget. Siapa mereka? Kenapa
mereka mengerubungiku seperti ini? Apa yang terjadi padaku? Ah, tidak. Yang benar-benar
ingin kutahu adalah…siapa mereka?
“Dia bangun. Dia bangun.”
“Siapa kalian?” Ya, aku ingin tau siapa orang-orang aneh
ini, yang memakai bedak tebal yang lebih mirip seperti masker wajah.[2]
Kemudian kerumunan itu pergi setelah merapalkan mantra yang
tak kumengerti artinya. Entah itu jawaban atas pertanyaanku tadi dalam bahasa
mereka atau bukan. Lalu, seseorang datang. Gadis dengan rambut sebahu itu kini tepat
di depanku. Setidaknya dia tidak memakai masker seperti orang-orang tadi. Ah,
aku ingat bahwa tadi aku sedang mengikuti gadis ini.
“Kamu baik-baik saja.” Kalimat datar yang ambigu antara
sebuah pertanyaan atau pemberitahuan.
Ia bangkit dan berjalan menuju pintu kayu. Aku menyelaraskan
langkah di belakangnya. Mentari di luar mulai turun dari tahtanya, namun itu
justru semakin menampakkan keindahan. Kecipak air laut yang menghempas
tiang-tiang pancang beradu dengan desis tiupan angin.
“Kamu tinggal di laut?” tanyaku.
Benar-benar di atas lautan dan jauh dari darat tempat
sewajarnya peradaban. Aku terperangah ketika menginjak papan kayu yang berjajar
ditopang tiang-tiang penyangga yang berdiri di atas air.
“Kami Gipsy laut, mungkin kamu lebih mengenal nama itu.
Panamamie ma
di lao,[3]”
jawabnya singkat diakhiri dengan senyum tipis. Hampir membuatku terkejut,
ternyata gadis kaku itu juga bisa tersenyum.
Ia terus melangkah pada jajaran papan kayu yang menjadi
jembatan penghubung dari rumah ke rumah. Beberapa bagiannya telah lapuk dan
berlumut. Aku berusaha mengatur langkah agar tidak terjerembab ke dalam lubang
yang menganga. Sementara itu, kaki kecil gadis perahu itu– begitu aku
menyebutnya- lincah melangkah tanpa takut terpeleset lalu jatuh ke air.
Kukira orang yang kukenal itu hanya mengarang cerita yang
entah dia ambil dari buku atau hasil imajinasinya sendiri. Tapi mereka
benar-benar ada - suku Bajo. Gipsy laut yang dulunya hidup berpindah-pindah
dari pantai ke pantai, dari pulau ke pulau, dan tinggal di atas bido[4]. Tapi,
sejak munculnya peraturan untuk tinggal menetap, masyarakat suku Bajo mulai
membangun pemukiman di atas bongkahan karang maupun air di kawasan pantai.
Beberapa juga sudah beralih tinggal di darat pada pesisir
pantai. Mereka itu yang menganut konsep ‘piddi tikkolo’na lamong ‘nggai
makale le goya’ berarti kehidupannya tidak dapat dipisahkan dengan gemuruh
ombak. Selama gemuruh ombak masih terdengar, disanalah mereka bisa tinggal,
meskipun sudah di darat.
Tetapi, gadis itu dan orang-orang di kampungnya masih
tertahan oleh jangkar kebudayaan. Perkampungan ini benar-benar di tengah laut
dengan gelombang yang tenang. Hanya dengan perahu satu-satunya cara menjangkau
darat. Itupun dua kilometer jauhnya dari daratan terdekat saat aku bertanya
pada gadis tersebut.
Ia mengajakku menaiki koli-koli[5]
menuju tengah laut tak jauh dari pemukiman tadi. Memang benar kalau aku
menjulukinya gadis perahu. Dengan lengan pendek dan tubuh kecil itu ia
punya otot-otot yang kuat. Gadis itu
juga menolak bantuanku. Aku hanya diam sepanjang perjalanan.
“Kita ke laut.
memberi sesaji pada Pamakitalo.” Sepertinya gadis itu tau bahwa aku
telah menunggu penjelasan ini sejak tadi. “Leluhur kami yang bermukim di laut,”
lanjutnya.
“Tapi kenapa hanya kita yang ada di sini? Maksudku, kenapa
hanya kamu yang memberi sesaji pada leluhurmu itu? Apa yang lain tidak
melakukannya?”
Gadis itu menutup mata, seperti tengah berdoa. Keheningan
cukup lama mencengkeram sukma dalam khusuk doa’nya. Lalu ia menghanyutkan
sesaji dan mengabaikan pertanyaanku. Benar-benar mirip dengan seseorang yang
kukenal.
Tiba-tiba, ia tersenyum menengadahkan wajah pada mentari
yang sudah bersembunyi namun masih menyisakan semburat di langit. Sinar
kemerahan itu menyoroti perkampungan suku Bajo, menampilkan siluet rumah-rumah
panggung yang hidup di atas lipatan laut Wakatobi. Eksotisme kehidupan yang
terapung, dan laut yang senantiasa mengasuhnya.
“Tu..tunggu!” teriakku cukup keras. Gadis berambut hitam
kemerahan itu menoleh heran. “Apa...apa kau akan masuk ke dalam air lagi?”
tanyaku gagap.
Dia tersenyum lagi. Entah apa maksud senyuman itu kali ini. Hanya
saja, seketika aku menjadi kaku. Ada getaran hebat yang kurasakan muncul dari dalam
tubuhku, tepat di dalam dada, pada detak kehidupanku. Ah, Tidak! Aku tak boleh
luluh dengan perasaan tak jelas ini. Bukan itu tujuanku mengikutinya. Aku hanya
ingin memastikan sesuatu, bukan untuk menemukan sesuatu yang telah lama hilang
dari hidupku.
“Jangan khawatir, aku tidak akan tenggelam. Aku bisa
bertahan di dalam air lebih dari yang kau kira. Kau yang harus berhati-hati. Jangan
sampai menelan banyak air lagi.”
Ya, aku memang hampir tenggelam karena mengikutinya. Cipratan
air itu kini menggodaku. Kulepas kaos putih oblong yang entah milik siapa dan
baru kusadari sejak tadi telah melekat ditubuhku. Sekali mengambil napas
panjang dan…byur. Kusibak titik-titik air di wajah dengan telapak
tangan. Tiga detik kemudian kuputuskan untuk ikut menyelam.
Sungguh, seperti yang ada pada banner-banner di pusat
kota Buton waktu aku tinggal di sana. Tempat ini memiliki ratusan spesies ikan
dan karang. Surga bawah laut yang sangat cantik. Sisik-sisik licin beberapa
kali menyentuh kulitku. Kini, aku yang berani menjulurkan telapak tangan dan
merasakan struktur flora laut yang meliuk-liuk mengikuti arah tekanan air.
Aku mulai sesak, kusembulkan kembali kepalaku ke permukaan
dan segera menyerap oksigen sebanyak yang aku butuhkan. Gadis itu muncul
beberapa detik setelahku. Kurentangkan kaki dan tangan, melemaskan seluruh otot
tubuh agar sempurna mengapung di atas air.
“Boleh aku bertanya?” kuberanikan diri memulai percakapan
kali ini. Gadis itu hanya diam. Kuartikan diamnya sebagai tanda setuju. “Tadi
aku lihat… apa yang terjadi pada karang-karang itu?” tanyaku ingin tau kenapa dasar
laut dan beberapa tumbuhan lain itu berantakan dan hancur.
Lamat-lamat aku bisa mendengar suara gadis yang juga
mengapung di sebelahku. “Setan, iblis, aku menyebutnya seperti itu, orang yang
tak pernah menghargai kehidupan yang diberikan oleh laut. Dia datang hanya
untuk merusak dan mengambil sebanyak-banyaknya,” jawabnya penuh kebencian.
Sungguh, itu membuat seluruh bulu kudukku merinding. Akukah
salah satu dari iblis atau setan itu?! Orang seperti diriku yang tak tau
terimakasih dan menghancurkan keindahan ini - tempat yang menjadi pondasi
kehidupan mereka. Aku tak kuasa untuk menatap gadis itu sekarang. Sungguh tak
punya malu jika aku masih melakukannya.
“Dia hanya singgah, menghadirkan tawa, memberikan cinta, tapi
dia juga pergi mengambil segala-galanya tanpa tersisa. Meninggalkan kekecewaan
dan rasa sakit.” Ia menatap langit sambil tetap menggerakkan kakinya agar
mengapung di permukaan. kulihat pula matanya yang lembab bercampur air. “Aku
membencinya. Aku benci terlalu mencintainya. Aku benci tak bisa membencinya.”
Dia siapa? Aku tak berani bertanya.
***
“Iya, aku mendengar sendiri dari seorang nelayan dari Buton.
Dia benar-benar di penjara sekarang. Suaminya itu memang setan. Bukan
hanya menghianati satu orang, dia telah melukai semua orang di desa ini.”
“Tapi kudengar di hanyut terkena badai,” sahut yang lainnya.
“Itulah akibatnya melanggar pamali[6].
Siapa yang suruh dia menikah dengan selain suku Bajo dan tetap menentang pamali
untuk tinggal di luar kampung. Sekarang, kena akibatnya. Orang itu pantas
dihukum.”
Beberapa orang yang sedang menyuluh[7] bercakap
pelan, namun masih terdengar olehku yang masih terjaga. Cahaya lenteranya
menembus dinding kayu. Memang tak ada aliran listrik di tempat ini. Hanya
beberapa nyala temaram lampu dari mesin genset yang memberi cukup penerangan.
“Merusak laut sama saja menantang semua orang-orang Bajo.”
Lirih namun aku bisa mendengar suara isak tangis dari ruang
sebelah. Gadis itu menangis, meringkuk dibalik selimutnya. Aku bisa mengerti
keadaan ini sekarang. Ya, aku kini paham apa yang terjadi padanya, juga
kesalahan yang telah kulakukan pada laut. Lelaki itu benar, Petrus benar, aku
akan paham ketika telah mengenal mereka. Gadis perahu itu telah memukul hatiku
dengan kuat, hingga tak sanggup mengangkat kepalaku lagi.
***
10 Hari yang lalu…
“Aku Petrus. Kau?”
“Tio. Antio,” jawabku sambil menyambut uluran tangannya.
“Antillo[8]?
Telur?”
“Bukan! Antio. Panggil saja Tio.”
“Kenapa kau kembali datang ke tempat seperti ini?”
“Entahlah! Kurasa aku tak punya tempat lain untuk pergi.”
“Sebaiknya kau tidak ikut berlayar nanti malam. Laut mulai
marah. Tidak sekang, memang tidak sekarang, tapi aku bisa merasakannya. Tak
seharusnya kita melawan lautan. Cepat atau lambat, laut yang akan mengamuk pada
kita. Dan seringkali ia tak mengenali mana yang salah atau mana yang benar.
Harus ada yang dikorbankan untuk melindungi mereka yang tidak bersalah.”
“Yang tidak bersalah?” tanyaku menyelidik.
“Ya, mereka yang menjaga laut, mereka yang hidup di laut dan
mereka yang bersandar pada laut.” Petrus memejamkan matanya sebentar, seperti
tengah berdoa dalam hatinya. “Kau akan mengerti ketika mengenal mereka, Gipsy
laut.”
Angin, laut, dan ombak terasa seperti ikut berbincang.
“Hei Antio, apa kau sadar kalau yang kita lakukan ini salah?”
“Ya, tentu ini salah,” jawabku mantap. “Tapi aku tak punya
pilihan. Aku juga tak takut kalau harus masuk penjara lagi. Toh, di penjara aku
tak perlu berpikir apa yang harus aku lakukan atau akan makan apa aku hari ini.
Semua sudah diatur dan aku hanya perlu bergerak.”
“Tidak, bukan salah dalam hukum atau aturan negara seperti
itu.”
Keningku berkerut. Benar-benar semakin tak paham dengan apa
yang dikatakan lelaki ini.
“Kesalahan yang kita lakukan pada laut – pada alam. Istriku
yang mengajarkan semuanya. Dia yang membuatku tak berani menatapnya lagi. Bersama
dengannya membuatku semakin merasa bersalah. Dan karena itu juga, aku akan
mengakhiri semuanya hari ini.”
***END***
[1] perahu bercadik yang digunakan untuk menangkap ikan dan alat
transportasi di Wakatobi
[2] Orang Bajo menggunakan sun block tradisional berupa bedak
beras yang ditumbuk dengan kunyit. Dioleskan pada wajah dan tangan untuk melindungi
kulit dari terik matahari.
[3] Laut adalah sumber kehidupan.
[4] Perahu yang dijadikan sebagai tempat tinggal oleh masyarakat Bajo
jaman dulu
[5] Perahu kecil/sampan
[6] larangan
[7] Teknik menangkap ikan dengan sapah, tombak khas masyarakat Bajo
[8] Bahasa Bajo yang berarti “telur”
Picture from: https://cdn.pixabay.com/photo/2017/07/30/16/33/girls-2554856_960_720.jpg
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete