Tembang itulah yang selalu bapak nyanyikan untukku usai mendongeng.
Persis yang ia lakukan bersama kakak dulu. Menginjak remaja, aku masih sering
mendegar bapak menyanyikannya. Sambil telentang merebahkan tubuh di amben depan rumah, ia nembang dengan suara seraknya yang khas.
Bung bung Adi, kowe arep nendi?
Aku arep dolan, dolan neng prapatan.
Ndeleng keramaian hari kemerdekaan.
Kae Bapak guru, rawuh ngasto buku.
Sajak Mesem ngguyu pancen tresno karo
aku.
Pak guru pancen gagah mimpin
bocah-bocah.
Sing sregep sekolah tahun ngarep biso
munggah
“Pak, sebenarnya itu lagu siapa to? Lagu daerah, lagu
nasional atau apa?” tanyaku ketika masih kecil. Bapak tersenyum sebentar tiap
kali menanggapi pertanyaaku.
Bapak memang tak seberuntung ke-empat saudara kandungnya
yang masih bisa menyelesaikan pendidikan meski hanya sampai lulus SD. Ia lebih
memilih berhenti di kelas dua agar dapat bekerja, untuk mendapatkan makan.
Bapak sering cerita tentang masa kecilnya. Ia sudah
mencari rumput diusia yang belum genap sepuluh. Bapak juga pernah berjalan sekian kilometer
dengan kaki telanjang, mendaki hutan dengan ranting dan duri yang berceceran, setiap hari, untuk
menuju ke ladang kacang atau jagung.
Ia juga sering makan sebungkus bertiga, bersama dua adiknya.
Nasi jagung. Itupun sudah sangat nikmat daripada tiwul.
Bapak remaja pun pernah menjadi pemulung, mengorek tiap
lubang tanah yang bertumpuk plastik. Melihat botol minuman sebagai rupiah. Bagi bapak, besi adalah emas, harganya
lebih mahal bila dijual. Dari sanalah ia mampu menyambung hidup.
Tak pernah sanggup kutahan air mata saat ia berkisah
dengan bangganya, tentang anak-anaknya. Bapak yang tak pernah kenal baca tulis
kecuali lima huruf namanya. Penuh raut bahagia melihat anak-anaknya berpendidikan. Begitulah ia bercerita pada orang-orang.
Aku baru tau ketika dewasa, bahwa lagu itu adalah lagu milik
bapak seorang. Tak ada orang lain yang tau atau mengenalnya. Dongengnya tentang
seorang guru, sosok yang digugu lan ditiru,
cerita bersambung yang terlahir dari lagu itupun adalah hasil imajinasinya. Ia
merangkainya sendiri agar dapat dikisahkan pada anak-anaknya setiap malam
menjelang tidur.
Ya, melalui lagu dan dongeng itulah bapak menyimpan harapan
besar padaku, harapan yang tak bisa diwujudkan oleh kakak karena dia memilih
jalan lain dalam hidupnya.
Aku merasakannya sebagai beban. Seperti mendapatkan sebuah
tangung jawab besar untuk membuat bapak bahagia. Ia sangat
berharap hidupku kelak akan sukses sebagai seorang guru.
Aku juga sering marah pada diriku sendiri. Kenapa bukan
kakak yang mewujudkan impian bapak. Harusnya dialah yang harusnya menanggung beban ini sebagai anak tertua. Kenapa harus aku yang rela mengalah?
Aku tak suka hidup terkekang, aku ingin bebas, aku inginkan pekerjaan yang membuatku senang. Tidak harus bangun pagi, pulang siang harinya lalu mengulangi rutinitas itu di hari selanjutnya. Ah, betapa membosankan.
Aku tak suka hidup terkekang, aku ingin bebas, aku inginkan pekerjaan yang membuatku senang. Tidak harus bangun pagi, pulang siang harinya lalu mengulangi rutinitas itu di hari selanjutnya. Ah, betapa membosankan.
Namun aku tak pernah mampu menolak pinta bapak. Aku masih
percaya karma, yang jika tak kuturuti titahnya akan ada hal buruk yang menimpa.
Hidup pun kujalani dengan hampa setelahnya. Melanjutkan kuliah di perguruan tinggi keguruan
yang sama sekali buka pilihanku. Hanya untuk melihat bapak tersenyum.
***
“Ibu, aku berangkat.”
Kulirik motor merah butut di sebelah motorku telah tiada.
Bapak sudah berangkat ke sawah sejak dini hari sebelum aku bangun.
“Ini bekal makan siangnya, nduk.”
“Terimakasih, aku berangkat dulu,” ucapku sekali lagi.
Seolah takdir itu telah digariskan. Belum sampai lulus
kuliah aku sudah bekerja di sebuah sekolah. Bergelut dengan siswa, guru, dan
buku-buku. Namun bukan pekerjaan sebagai guru yang kujalani.
Dan semenjak aku bekerja di sini, diantara tumpukkan dan
jejeran buku, ada passion yang menarikku. Setiap kali aku melihat mereka,
buku-buku itu, kurasakan seperti anak didikku sendiri. Kusayang mereka
seperti seorang guru pada muridnya. Disisi lain, buku-buku itulah yang menjadi
guru untukku, yang mengajariku banyak hal.
Perpustakaan bagiku adalah surga. Kadang peluhku menetes haru
saat siswa-siswi memenuhi tempat ini. Betapa indahnya para remaja itu membuka
tiap halaman yang selama ini aku rawat dengan kasih sayang. Bahagia sekali
melihat mereka antusias untuk belajar, membaca, mencerna setiap kalimat yang
tergores di dalamnya.
Seringkali rak bertulis ‘Kesusastraan’ itu dikerumuni para siswa. Daftar pinjamanpun lebih banyak diisi oleh buku cerita dan novel. Hanya beberapa saja buku pelajaran yang keluar dari almarinya.
Seringkali rak bertulis ‘Kesusastraan’ itu dikerumuni para siswa. Daftar pinjamanpun lebih banyak diisi oleh buku cerita dan novel. Hanya beberapa saja buku pelajaran yang keluar dari almarinya.
“Mbak, buku fiksi ada?”
“Fiksi yang bagaimana? Novel, cerpen, dongeng atau apa?”
“Terserah deh mbak, yang penting fiksi.”
Aku bangkit dan berjalan menuju almari buku di pojok
ruangan. “Yang ini islami, yang ini romance. Bagaimana kalau yang ini,”
kusodorkan sebuah novel inspiratif bercover cokelat kekuningan.
“Ah, itu terlalu tebal mbak, yang tipis aja. Soalnya disuruh
meresensi dan waktunya nggak akan cukup kalau harus membaca semua.”
Aku menggeleng dengan sedikit senyum. Tanganku mulai menunjuk
tiap buku yang berdiri tegak rapi, lalu berhenti pada buku tipis yang masih
bagus tersampul plastik. “Kalau yang ini bagaimana? Isinya bagus, juga tidak
terlalu tebal. Kamu pasti akan suka ceritanya.”
Siswi cantik berambut panjang itu membuka bukunya, melihat
daftar isi dan membaca sekilas blurp bdi elakangnya.
“Ya, yang ini saja mbak.”
“Bawa kartunya?” tanyaku.
Kadang mereka memang membuatku tertawa. Masih banyak dari para
siswa yang hanya menganggap buku itu untuk dibaca saja. Itu memang tak salah.
Buku memang telah dikodratkan untuk dibaca. Namun bagiku, buku itu
lebih dari benda mati. Buku bisa mempengaruhi hidup dan memberikan perubahan
didalamnya.
***
“Nduk, sini Nduk,” panggil bapak.
Aku menghampirinya yang sedang menyandarkan punggung di
kursi ruang tamu. Kutinggalkan garapanku di komputer.
“Begini Nduk, Kamu tau anak Pak Karlan kan? si Ika…”
“Rika pak,” sela-ku.
“Iya, Rika itu. Dia sekarang sudah
kelas tiga SMA, sebentar lagi ujian. Tadi Pak Karlan minta supaya Kamu mau mengajarinya
bahasa Inggris untuk persiapan ujian.”
“Maksud Bapak, memberi les?”
“Iya Nduk, bagaimana?”
Aku berpikir cukup lama. Sebenarnya ini bukan tawaran yang
pertama. Dulu juga pernah ada tetangga yang memintaku mengajari anaknya yang
kelas 2 SD. Bahkan Fitri, siswi SMP yang masih sepupuku meminta untuk diajari. Aku
tak berniat menolak, aku juga tak ingin ilmu yang kumiliki sia-sia. Tapi aku
tak bisa menerima tawaran mereka.
“Bagaimana Nduk, Kamu mau?”
“Ria bingung, Pak.”
“Apa to yang membuatmu bingung, Nduk? Kamu itu
hanya salah satu dari sedikit orang di desa ini yang bisa kuliah. Mereka
meminta karena mereka percaya padamu. Apa Kamu akan terus mengecewakan kepercayaan
mereka?”
“Bukan begitu Pak, Ria ingin, sungguh Ria ingin membantu.
Tapi…Ria kan bekerja tiap pagi, Senin sampai jumat Ria juga masih harus kuliah
sampai malam," dalihku.
“Kan bisa hari sabtu, dan minggu Kamu juga libur. Daripada
terus menerus di kamarmu itu, lebih baik kalau ilmu itu dibagikan. Sekaligus Kamu
bisa belajar dari sekarang bila suatu hari nanti jadi guru.”
Hatiku tersentak, ia mengungkitnya lagi, tentang aku dan
guru. Andaikan bapak tau apa yang aku kerjakan di kamar bukanlah hal yang
sia-sia. Aku masih terus belajar untuk menulis sebuah buku fiksi. Kegiatan yang
bembuatku lebih merasakan kenikmatan hidup disela-sela rutinitas yang
membosankan. Menulis memberikan kesejukan tersendiri untukku.
“Bagaimana Nduk?” bapak meleburkan lamunanku.
“Hm…Ria akan pikirkan dulu ya Pak.”
Bapak diam. Nampaknya dia sudah tau pasti jawabanku.
***
Hari ini memang berbeda, ada yang mengusik pikiranku sejak malam
kemarin. Aku lihat bapak sudah berangkat ke sawah seperti biasanya. Motornya
sudah tak ada.
“Nduk ini bekalmu, dan yang ini sarapan Bapakmu.
Tolong mampir ke sawah untuk mengantarnya ya? Tadi Bapakmu berangkat sangat
pagi dan nasinya belum matang.”
“Baik, Bu. Aku berangkat dulu ya,” pamitku.
Jarak sawah dari rumah tak begitu jauh, baru sepuluh menit
aku sudah sampai. Kulihat bapak tengah mencangkul di dekat kalenan,
tanah milik pak lurah. Sawah yang di garapnya memang bukan milik pribadi, ia
hanya diberi tanggung jawab untuk menggarapnya selama beberapa tahun saja
dengan sistem bagi hasil.
Kulihat ia begitu bertenaga di usia senjanya. Seketika
itupun aku lemas kehilangan seluruh kekuatan. Angan-anganku tiba-tiba luruh.
Tubuh bapak semakin menghitam akibat sengatan matahari. Tangan itu, tangan yang kering itulah yang mencarikan nafkah untukku, yang sudah membiayai hidupku. Tulangnya yang keras berbalut kulit dekil, tulang yang bekerja untuk keluarga. Ah, bapak kembali membuat egoku lebur.
Tubuh bapak semakin menghitam akibat sengatan matahari. Tangan itu, tangan yang kering itulah yang mencarikan nafkah untukku, yang sudah membiayai hidupku. Tulangnya yang keras berbalut kulit dekil, tulang yang bekerja untuk keluarga. Ah, bapak kembali membuat egoku lebur.
“Mau berangkat nduk?”
“Iya, Pak.”
“Ya, sudah. Hati-hati.”
Kutelan ludah ketika tangannya yang kotor oleh lumpur
menerima sekantong kresek bekal dariku. Ada rasa sakit yang mengalir lewat
kerongkongan. Tak seperti biasanya, bapak tak banyak bicara. Biasanya ia masih memberikan
wejangan-wejangan atau candaan. Namun
kali ini ia hanya diam, meski masih mengalirkan doanya untukku. Otak dan hatiku
saling beradu selama perjalanan. Aku jadi ingat legenda itu, cerita tentang
seorang bapak guru yang dinamainya Bung Adi.
Bung Adi hanyalah seorang anak tukang pipil jagung
yang miskin, ayahnya meninggal sejak kecil. Mereka tinggal di desa yang jauh
dari keramaian. Rumahnya dengan tetangga bahkan dibatasi sekian bidang
sawah atau kebun, dan hutan di sisi kanan. Namun dengan semangat yang keras, Bung Adi bisa
sekolah meski jauh dari rumah.
Bung Adi kembali ke desa tempat kelahirannya dengan niat
mengabdikan diri, untuk memperbaiki kehidupan kampung asalnya. Namun yang didapatnya
adalah penolakan keras. Masyarakat masih berpikir bahwa sekolah adalah kegiatan
yang sia-sia. Lebih baik waktu yang berharga digunakan untuk berkebun,
menghasilkan makanan untuk memenuhi kebutuhan. Tak mudah mengubah pola pikir
masyarakat yang sudah tertanam sekian lama.
Suatu waktu Bung Adi berhasil mengumpulkan 7 anak. Ia
membagikan papan kayu tipis pada anak didiknya. Kayu berukuran 30x20 cm itulah
buku mereka. Media yang mereka gunakan menulis dengan kapur, dimana tiap kali
tulisan penuh, mereka harus segera merekam isinya pada otak.
Entah kenapa baru sekarang peluhku menetes. Kenapa
tidak pada saat bapak menceritakannya dulu. Ah, dulu aku hanyalah bocah kecil
yang belum mengerti kehidupan, tak mengerti kerja keras, dan tak paham
perjuangan. Dulu aku hanyalah gadis kecil yang merasa damai mendengarkan suara
bapak menjelang tidur.
Peluhku semakin deras menetes terterpa angin. Kaca helm
hitam ini tak mampu melindungi wajahku dari angin pagi yang terus saja menyerang
tiap kali aku mempercepat laju sepeda motorku. Tak terasa aku sudah sampai di
sekolah.
Pagi ini masih sepi, hanya pespa pak Wakasek dan dua motor lain milik guru-guru yang selalu datang lebih pagi dari yang lain. Para petugas kebersihan masih sibuk menyapu, mengelap kaca dan memotong rumput. Sebagai salah satu sekolah adiwiyata, tempat ini memang harus tetap hijau dan bersih. Mereka bekerja sangat keras sejak pagi sebelum yang lainnya datang.
Pagi ini masih sepi, hanya pespa pak Wakasek dan dua motor lain milik guru-guru yang selalu datang lebih pagi dari yang lain. Para petugas kebersihan masih sibuk menyapu, mengelap kaca dan memotong rumput. Sebagai salah satu sekolah adiwiyata, tempat ini memang harus tetap hijau dan bersih. Mereka bekerja sangat keras sejak pagi sebelum yang lainnya datang.
“Selamat pagi, Bu.”
Beberapa siswa memang memanggilku ibu, meski lebih sering dengan
sebutan mbak karena usiaku yang masih muda.
“Pagi, Bu Ria,” ucap Tika.
Dua orang siswi menyapa dan menghampiriku, lalu mereka
mencium tanganku. Sungguh, peristiwa ini kembali membuat luluh hatiku. Senyum mereka, lembut
tangan mereka, dan rasa hormat mereka. Para
remaja inilah yang nantinya dapat merubah kehidupan pelik negara ini. Mereka
yang bisa mengobati sakit-sakit penduduk, merekalah yang nantinya bisa
mengatasi problematika kota yang semakin rumit. Mereka adalah calon pemimpin yang
diharapkan oleh rakyatnya, bila dari sekarang dibimbing dan diluruskan ke jalur
yang tepat.
Rasa itu membuncah. Hatiku bak ditohok benda tumpul dengan
keras yang justru membuatku merasakan sakit yang lebih. Ah, Bapak… Maafkan
aku. Keinginan itu muncul tiba-tiba secepat hembusan udara. Aku
merasakan getaran yang hebat.
Tika dan temannya hanya sebagian kecil dari siswa yang masih
mengenal tata karma, unggah-ungguh Jawa. Saat ini lebih banyak yang nyelonong
atau lewat begitu saja, pura-pura tak tau saat berpapasan dengan gurunya.
Tak seperti cerita bapak, ketika Bung Adi semakin tua, ia
telah berhasil mengubah perilaku masyarakat secara perlahan, mendirikan sebuah
gubuk sebagai tempat belajar. Ketika Bung Adi tiba, anak didiknya sudah datang
lebih dulu, berebut untuk membawakan tas, buku yang masih terbuat dari serat
kayu atau kayu panjang, juga membantu untuk
membawakan sepeda onthel jaman dulu yang saat ini lebih sering digunakan untuk
kegiatan Agustusan. Lalu mereka berebut meraih tangannya untuk ditempel
beberapa detik ke pipi mungil mereka.
***
Suara radio terdengar cukup keras.
Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin…
Bapak selalu manggut-manggut dan mengiyakan lirik lagu bang Rhoma itu. Selama ini ia selalu bersikap kritis meskipun tak mengenyam sekolah formal. Beliau cukup belajar banyak dari kehidupan.
“Pak.”
Ia menoleh setelah mengecilkan volume radionya. “Ada apa?”
“Maaf Pak, sepertinya Ria harus menolak tawarannya Pak
Karlan.”
Bapak mematung sejenak, tampaknya berfikir. Lalu ia memutar
kepalanya sembilan puluh derajat dan mengeraskan volume radio kembali.
“Pak,” kupanggil ia sekali lagi namun ia tak menoleh. Bapak pasti
kecewa dengan jawabanku. Kulanjutkan kalimatku meski tak mendapat respon
darinya. “Bapak, mulai minggu depan Ria menjadi guru les untuk siswa-siswi di
sekolah Ria. Salah seorang guru bahasa Inggris di sana minta tolong Ria untuk
mengajari bahasa Inggris.”
Kulihat bapak mematung sejenak ketika mendengar ucapanku.
Aku harap dia tersenyum.
Aku hanya perlu mengubah pola fikir. Untuk apa aku sekolah tinggi keguruan
bila tak bisa mengamalkannya dengan baik. Ilmu itu tak akan ada gunanya tanpa
diterapkan dalam kehidupan. Bung Adi tak pernah menyerah untuk mencapai
tujuannya. Bahkan dengan penuh kesabaran ia menghadapi setiap rintangan yang
menghalanginya. Dan ketika ia memanen yang ia tanam, usia tak mengijinkannya
memantau perkembangan anak didiknya. Kalau Bung Adi saja bisa, kenapa aku tak bisa
melawan egoku yang sama sekali tak beralasan.
Picture from: Dorama aisetsu Na Koto Wa Subete Kimi Ga
Oshiete Kureta
Akhirnya Ria bisa menerima harapan bapaknya. Ini kisah nyatakah?
ReplyDeleteTidak sepenuhnya nyata sih.. Lebih banyak fiksinya hehehee...
DeleteThis comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete