Dongeng Bung Adi [CERPEN] - Reezumiku

Friday, February 2, 2018

Dongeng Bung Adi [CERPEN]



Tembang itulah yang selalu bapak nyanyikan untukku usai mendongeng. Persis yang ia lakukan bersama kakak dulu. Menginjak remaja, aku masih sering mendegar bapak menyanyikannya. Sambil telentang merebahkan tubuh di amben depan rumah, ia nembang dengan suara seraknya yang khas.

Bung bung Adi, kowe arep nendi?
Aku arep dolan, dolan neng prapatan.
Ndeleng keramaian hari kemerdekaan.
Kae Bapak guru, rawuh ngasto buku.
Sajak Mesem ngguyu pancen tresno karo aku.
Pak guru pancen gagah mimpin bocah-bocah.
Sing sregep sekolah tahun ngarep biso munggah

“Pak, sebenarnya itu lagu siapa to? Lagu daerah, lagu nasional atau apa?” tanyaku ketika masih kecil. Bapak tersenyum sebentar tiap kali menanggapi pertanyaaku.
Bapak memang tak seberuntung ke-empat saudara kandungnya yang masih bisa menyelesaikan pendidikan meski hanya sampai lulus SD. Ia lebih memilih berhenti di kelas dua agar dapat bekerja, untuk mendapatkan makan.
Bapak sering cerita tentang masa kecilnya. Ia sudah mencari rumput diusia yang belum genap sepuluh. Bapak juga pernah berjalan sekian kilometer dengan kaki telanjang, mendaki hutan dengan ranting dan duri yang berceceran, setiap hari, untuk menuju ke ladang kacang atau jagung.
Ia juga sering makan sebungkus bertiga, bersama dua adiknya. Nasi jagung. Itupun sudah sangat nikmat daripada tiwul
Bapak remaja pun pernah menjadi pemulung, mengorek tiap lubang tanah yang bertumpuk plastik. Melihat botol minuman sebagai rupiah. Bagi bapak, besi adalah emas, harganya lebih mahal bila dijual. Dari sanalah ia mampu menyambung hidup.
Tak pernah sanggup kutahan air mata saat ia berkisah dengan bangganya, tentang anak-anaknya. Bapak yang tak pernah kenal baca tulis kecuali lima huruf namanya. Penuh raut bahagia melihat anak-anaknya berpendidikan. Begitulah ia bercerita pada orang-orang. 
Aku baru tau ketika dewasa, bahwa lagu itu adalah lagu milik bapak seorang. Tak ada orang lain yang tau atau mengenalnya. Dongengnya tentang seorang guru, sosok yang digugu lan ditiru, cerita bersambung yang terlahir dari lagu itupun adalah hasil imajinasinya. Ia merangkainya sendiri agar dapat dikisahkan pada anak-anaknya setiap malam menjelang tidur.
Ya, melalui lagu dan dongeng itulah bapak menyimpan harapan besar padaku, harapan yang tak bisa diwujudkan oleh kakak karena dia memilih jalan lain dalam hidupnya.
Aku merasakannya sebagai beban. Seperti mendapatkan sebuah tangung jawab besar untuk membuat bapak bahagia. Ia sangat berharap hidupku kelak akan sukses sebagai seorang guru. 
Aku juga sering marah pada diriku sendiri. Kenapa bukan kakak yang mewujudkan impian bapak. Harusnya dialah yang harusnya menanggung beban ini sebagai anak tertua. Kenapa harus aku yang rela mengalah? 
Aku tak suka hidup terkekang, aku ingin bebas, aku inginkan pekerjaan yang membuatku senang. Tidak harus bangun pagi, pulang siang harinya lalu mengulangi rutinitas itu di hari selanjutnya. Ah, betapa membosankan.
Namun aku tak pernah mampu menolak pinta bapak. Aku masih percaya karma, yang jika tak kuturuti titahnya akan ada hal buruk yang menimpa. Hidup pun kujalani dengan hampa setelahnya. Melanjutkan kuliah di perguruan tinggi keguruan yang sama sekali buka pilihanku. Hanya untuk melihat bapak tersenyum.
***
“Ibu, aku berangkat.”
Kulirik motor merah butut di sebelah motorku telah tiada. Bapak sudah berangkat ke sawah sejak dini hari sebelum aku bangun.
“Ini bekal makan siangnya, nduk.”
“Terimakasih, aku berangkat dulu,” ucapku sekali lagi.
Seolah takdir itu telah digariskan. Belum sampai lulus kuliah aku sudah bekerja di sebuah sekolah. Bergelut dengan siswa, guru, dan buku-buku. Namun bukan pekerjaan sebagai guru yang kujalani. 
Dan semenjak aku bekerja di sini, diantara tumpukkan dan jejeran buku, ada passion yang menarikku. Setiap kali aku melihat mereka, buku-buku itu, kurasakan seperti anak didikku sendiri. Kusayang mereka seperti seorang guru pada muridnya. Disisi lain, buku-buku itulah yang menjadi guru untukku, yang mengajariku banyak hal.
Perpustakaan bagiku adalah surga. Kadang peluhku menetes haru saat siswa-siswi memenuhi tempat ini. Betapa indahnya para remaja itu membuka tiap halaman yang selama ini aku rawat dengan kasih sayang. Bahagia sekali melihat mereka antusias untuk belajar, membaca, mencerna setiap kalimat yang tergores di dalamnya. 
Seringkali rak bertulis ‘Kesusastraan’ itu dikerumuni para siswa. Daftar pinjamanpun lebih banyak diisi oleh buku cerita dan novel. Hanya beberapa saja buku pelajaran yang keluar dari almarinya.
“Mbak, buku fiksi ada?”
“Fiksi yang bagaimana? Novel, cerpen, dongeng atau apa?”
“Terserah deh mbak, yang penting fiksi.”
Aku bangkit dan berjalan menuju almari buku di pojok ruangan. “Yang ini islami, yang ini romance. Bagaimana kalau yang ini,” kusodorkan sebuah novel inspiratif bercover cokelat kekuningan.
“Ah, itu terlalu tebal mbak, yang tipis aja. Soalnya disuruh meresensi dan waktunya nggak akan cukup kalau harus membaca semua.”
Aku menggeleng dengan sedikit senyum. Tanganku mulai menunjuk tiap buku yang berdiri tegak rapi, lalu berhenti pada buku tipis yang masih bagus tersampul plastik. “Kalau yang ini bagaimana? Isinya bagus, juga tidak terlalu tebal. Kamu pasti akan suka ceritanya.”
Siswi cantik berambut panjang itu membuka bukunya, melihat daftar isi dan membaca sekilas blurp bdi elakangnya.
“Ya, yang ini saja mbak.”
“Bawa kartunya?” tanyaku.
Kadang mereka memang membuatku tertawa. Masih banyak dari para siswa yang hanya menganggap buku itu untuk dibaca saja. Itu memang tak salah. Buku memang telah dikodratkan untuk dibaca. Namun bagiku, buku itu lebih dari benda mati. Buku bisa mempengaruhi hidup dan memberikan perubahan didalamnya.
***
Nduk, sini Nduk,” panggil bapak.
Aku menghampirinya yang sedang menyandarkan punggung di kursi ruang tamu. Kutinggalkan garapanku di komputer.
“Begini Nduk, Kamu tau anak Pak Karlan kan? si Ika…”
“Rika pak,” sela-ku.
“Iya, Rika itu. Dia sekarang sudah kelas tiga SMA, sebentar lagi ujian. Tadi Pak Karlan minta supaya Kamu mau mengajarinya bahasa Inggris untuk persiapan ujian.”
“Maksud Bapak, memberi les?”
“Iya Nduk, bagaimana?”
Aku berpikir cukup lama. Sebenarnya ini bukan tawaran yang pertama. Dulu juga pernah ada tetangga yang memintaku mengajari anaknya yang kelas 2 SD. Bahkan Fitri, siswi SMP yang masih sepupuku meminta untuk diajari. Aku tak berniat menolak, aku juga tak ingin ilmu yang kumiliki sia-sia. Tapi aku tak bisa menerima tawaran mereka.
“Bagaimana Nduk, Kamu mau?”
“Ria bingung, Pak.”
“Apa to yang membuatmu bingung, Nduk? Kamu itu hanya salah satu dari sedikit orang di desa ini yang bisa kuliah. Mereka meminta karena mereka percaya padamu. Apa Kamu akan terus mengecewakan kepercayaan mereka?”
“Bukan begitu Pak, Ria ingin, sungguh Ria ingin membantu. Tapi…Ria kan bekerja tiap pagi, Senin sampai jumat Ria juga masih harus kuliah sampai malam," dalihku.
“Kan bisa hari sabtu, dan minggu Kamu juga libur. Daripada terus menerus di kamarmu itu, lebih baik kalau ilmu itu dibagikan. Sekaligus Kamu bisa belajar dari sekarang bila suatu hari nanti jadi guru.”
Hatiku tersentak, ia mengungkitnya lagi, tentang aku dan guru. Andaikan bapak tau apa yang aku kerjakan di kamar bukanlah hal yang sia-sia. Aku masih terus belajar untuk menulis sebuah buku fiksi. Kegiatan yang bembuatku lebih merasakan kenikmatan hidup disela-sela rutinitas yang membosankan. Menulis memberikan kesejukan tersendiri untukku.
“Bagaimana Nduk?” bapak meleburkan lamunanku.
“Hm…Ria akan pikirkan dulu ya Pak.”
Bapak diam. Nampaknya dia sudah tau pasti jawabanku.
***
Hari ini memang berbeda, ada yang mengusik pikiranku sejak malam kemarin. Aku lihat bapak sudah berangkat ke sawah seperti biasanya. Motornya sudah tak ada.
Nduk ini bekalmu, dan yang ini sarapan Bapakmu. Tolong mampir ke sawah untuk mengantarnya ya? Tadi Bapakmu berangkat sangat pagi dan nasinya belum matang.”
“Baik, Bu. Aku berangkat dulu ya,” pamitku.
Jarak sawah dari rumah tak begitu jauh, baru sepuluh menit aku sudah sampai. Kulihat bapak tengah mencangkul di dekat kalenan, tanah milik pak lurah. Sawah yang di garapnya memang bukan milik pribadi, ia hanya diberi tanggung jawab untuk menggarapnya selama beberapa tahun saja dengan sistem bagi hasil.
Kulihat ia begitu bertenaga di usia senjanya. Seketika itupun aku lemas kehilangan seluruh kekuatan. Angan-anganku tiba-tiba luruh. 
Tubuh bapak semakin menghitam akibat sengatan matahari. Tangan itu, tangan yang kering itulah yang mencarikan nafkah untukku, yang sudah membiayai hidupku. Tulangnya yang keras berbalut kulit dekil,  tulang yang bekerja untuk keluarga. Ah, bapak kembali membuat egoku lebur.
“Mau berangkat nduk?”
“Iya, Pak.”
“Ya, sudah. Hati-hati.”
Kutelan ludah ketika tangannya yang kotor oleh lumpur menerima sekantong kresek bekal dariku. Ada rasa sakit yang mengalir lewat kerongkongan. Tak seperti biasanya, bapak tak banyak bicara. Biasanya ia masih memberikan wejangan-wejangan atau candaan. Namun kali ini ia hanya diam, meski masih mengalirkan doanya untukku. Otak dan hatiku saling beradu selama perjalanan. Aku jadi ingat legenda itu, cerita tentang seorang bapak guru yang dinamainya Bung Adi.

Bung Adi hanyalah seorang anak tukang pipil jagung yang miskin, ayahnya meninggal sejak kecil. Mereka tinggal di desa yang jauh dari keramaian. Rumahnya dengan tetangga bahkan dibatasi sekian bidang sawah atau kebun, dan hutan di sisi kanan. Namun dengan semangat yang keras, Bung Adi bisa sekolah meski jauh dari rumah.
Bung Adi kembali ke desa tempat kelahirannya dengan niat mengabdikan diri, untuk memperbaiki kehidupan kampung asalnya. Namun yang didapatnya adalah penolakan keras. Masyarakat masih berpikir bahwa sekolah adalah kegiatan yang sia-sia. Lebih baik waktu yang berharga digunakan untuk berkebun, menghasilkan makanan untuk memenuhi kebutuhan. Tak mudah mengubah pola pikir masyarakat yang sudah tertanam sekian lama.
Suatu waktu Bung Adi berhasil mengumpulkan 7 anak. Ia membagikan papan kayu tipis pada anak didiknya. Kayu berukuran 30x20 cm itulah buku mereka. Media yang mereka gunakan menulis dengan kapur, dimana tiap kali tulisan penuh, mereka harus segera merekam isinya pada otak. 

Entah kenapa baru sekarang peluhku menetes. Kenapa tidak pada saat bapak menceritakannya dulu. Ah, dulu aku hanyalah bocah kecil yang belum mengerti kehidupan, tak mengerti kerja keras, dan tak paham perjuangan. Dulu aku hanyalah gadis kecil yang merasa damai mendengarkan suara bapak menjelang tidur.
Peluhku semakin deras menetes terterpa angin. Kaca helm hitam ini tak mampu melindungi wajahku dari angin pagi yang terus saja menyerang tiap kali aku mempercepat laju sepeda motorku. Tak terasa aku sudah sampai di sekolah. 
Pagi ini masih sepi, hanya pespa pak Wakasek dan dua motor lain milik guru-guru yang selalu datang lebih pagi dari yang lain. Para petugas kebersihan masih sibuk menyapu, mengelap kaca dan memotong rumput. Sebagai salah satu sekolah adiwiyata, tempat ini memang harus tetap hijau dan bersih. Mereka bekerja sangat keras sejak pagi sebelum yang lainnya datang.
“Selamat pagi, Bu.”
Beberapa siswa memang memanggilku ibu, meski lebih sering dengan sebutan mbak karena usiaku yang masih muda.
“Pagi, Bu Ria,” ucap Tika.
Dua orang siswi menyapa dan menghampiriku, lalu mereka mencium tanganku. Sungguh, peristiwa ini kembali membuat luluh hatiku. Senyum mereka, lembut tangan mereka, dan rasa hormat mereka. Para remaja inilah yang nantinya dapat merubah kehidupan pelik negara ini. Mereka yang bisa mengobati sakit-sakit penduduk, merekalah yang nantinya bisa mengatasi problematika kota yang semakin rumit. Mereka adalah calon pemimpin yang diharapkan oleh rakyatnya, bila dari sekarang dibimbing dan diluruskan ke jalur yang tepat.
Rasa itu membuncah. Hatiku bak ditohok benda tumpul dengan keras yang justru membuatku merasakan sakit yang lebih. Ah, Bapak… Maafkan aku. Keinginan itu muncul tiba-tiba secepat hembusan udara. Aku merasakan getaran yang hebat.
Tika dan temannya hanya sebagian kecil dari siswa yang masih mengenal tata karma, unggah-ungguh Jawa. Saat ini lebih banyak yang nyelonong atau lewat begitu saja, pura-pura tak tau saat berpapasan dengan gurunya.
Tak seperti cerita bapak, ketika Bung Adi semakin tua, ia telah berhasil mengubah perilaku masyarakat secara perlahan, mendirikan sebuah gubuk sebagai tempat belajar. Ketika Bung Adi tiba, anak didiknya sudah datang lebih dulu, berebut untuk membawakan tas, buku yang masih terbuat dari serat kayu atau kayu panjang, juga membantu untuk membawakan sepeda onthel jaman dulu yang saat ini lebih sering digunakan untuk kegiatan Agustusan. Lalu mereka berebut meraih tangannya untuk ditempel beberapa detik ke pipi mungil mereka.
***
Suara radio terdengar cukup keras.

Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin…

Bapak selalu manggut-manggut dan mengiyakan lirik lagu bang Rhoma itu. Selama ini ia selalu bersikap kritis meskipun tak mengenyam sekolah formal. Beliau cukup belajar banyak dari kehidupan.
“Pak.”
Ia menoleh setelah mengecilkan volume radionya. “Ada apa?”
“Maaf Pak, sepertinya Ria harus menolak tawarannya Pak Karlan.”
Bapak mematung sejenak, tampaknya berfikir. Lalu ia memutar kepalanya sembilan puluh derajat dan mengeraskan volume radio kembali.
“Pak,” kupanggil ia sekali lagi namun ia tak menoleh. Bapak pasti kecewa dengan jawabanku. Kulanjutkan kalimatku meski tak mendapat respon darinya. “Bapak, mulai minggu depan Ria menjadi guru les untuk siswa-siswi di sekolah Ria. Salah seorang guru bahasa Inggris di sana minta tolong Ria untuk mengajari bahasa Inggris.”
Kulihat bapak mematung sejenak ketika mendengar ucapanku. Aku harap dia tersenyum.
Aku hanya perlu mengubah pola fikir. Untuk apa aku sekolah tinggi keguruan bila tak bisa mengamalkannya dengan baik. Ilmu itu tak akan ada gunanya tanpa diterapkan dalam kehidupan. Bung Adi tak pernah menyerah untuk mencapai tujuannya. Bahkan dengan penuh kesabaran ia menghadapi setiap rintangan yang menghalanginya. Dan ketika ia memanen yang ia tanam, usia tak mengijinkannya memantau perkembangan anak didiknya. Kalau Bung Adi saja bisa, kenapa aku tak bisa melawan egoku yang sama sekali tak beralasan.

Picture from: Dorama aisetsu Na Koto Wa Subete Kimi Ga Oshiete Kureta



3 comments:

  1. Akhirnya Ria bisa menerima harapan bapaknya. Ini kisah nyatakah?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tidak sepenuhnya nyata sih.. Lebih banyak fiksinya hehehee...

      Delete
  2. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete

Local Business Directory, Search Engine Submission SEO Tools