Minggu yang cerah di musim hujan. Lebih dari sebulan mentari
malas menampakkan wajah. Pagi ini Via sengaja meminta ibunya untuk membiarkannya
tidur lebih lama agar dapat menyimpan tenaga untuk perjalanan ke Tulungagung
mengunjungi kakek dan neneknya. Apalagi tempat yang akan didatangi berada di
wilayah pegunungan. Butuh waktu lebih dari 4 jam menaiki motor dengan kecepatan
normal.
“Via, bangun sayang. Ini sudah terlalu siang,” bujuk wanita
sedikit gemuk mengenakan daster yang sudah ke tiga kalinya membangunkan.
Masih dengan mulut yang sesekali menguap, gadis yang baru
saja lulus SMK itu menyibak rambut yang terurai berantakan menutupi wajah.
Terdiam sesaat, entah berfikir atau masih mengantuk, kemudian membersihkan
kotoran yang selama semalaman mengendap di pinggiran matanya.
***
Jauh dari pangdangnnya tampak sebuah gunung yang memiliki
dua kuncup di ujungnya terlihat semakin besar. Menjulang tinggi tepat di
depannya. Terlihat beberapa genangan air yang masih membasahi aspal jalan. Sebuah
cevrolet pengangkut sayur-sayuran memuncratkan genangan air sehingga
membuyarkan pikirannya yang sedang asyik menjelajah. Sepatu dan sebagian celana
jeans biru yang dikenakan Via akhirnya basah.
Tanpa dirasakan, gunung yang tadi di pandangnya seolah
meloncat. Kini ia harus melirik ke arah jam 2 untuk bisa berhadapan dengan
gunung itu. Padahal sejak awal dia tetap berjalan lurus. Tak ada satu
belokanpun yang di lalui. Bagaimana ini
bisa terjadi? Apakah gunung itu berpindah tempat? Atau aku yang bejalan terlalu
cepat hingga tak menyadari telah mengitarinya. Pertanyaan yang
terngiang-ngiang di benak Via selama perjalanan.
Kini Ia menyadari bahwa spidometer motor merahnya sudah
menunjuk level terbawah. Setelah beberapa lama berkendara, dari kejauhan tampak
papan kayu bertuliskan JUAL BENSIN. “Akhirnya...” desah Via lega.
Tiba-tiba dari arah belakang, sebuah motor mendahuluinya dan
berhenti tepat di depan rak bensin itu. Dengan susah payah, Via melepaskan helm
dan bernafas lega. Namun bensin terakhir sedang mengalir ke motor gede itu.
“Hey ini bensinku,” ucapnya pada lelaki pemilik motor itu
sambil menarik botol yang sudah tertuang sebagian isinya.
“Tidak bisa!” balas lelaki berjaket hitam dan tanpa disadari
botol bensin itu sudah berpindah tangan. Kemudian Ia melenggang pergi setelah
menyerahkan dua lembar uang lima ribuan pada penjualnya.
***
Setelah berliku-liku menanjaki pegunungan khas jawa di tambah
25 menit menenteng motor melewati tanah lumpur yang licin lengkap dengan suasana
mengerikan oleh jurang di salah satu sisi jalanan. Di matikannya mesin tepat di
depan sebuah rumah sederhana. Masih seperti dulu. Tanaman ketela di tegalan1 samping rumah.
Pepohonan lebat di balik bukit tempat bermain petak umpet dulu dan halaman luas
dengan pemandangan pantai popoh saat menghadap ke selatan.
Rumah ini satu-satunya yang berada di bagian paling atas.
Rumah - rumah lain berdiri lebih rendah
di sekitarnya. Di teras tampak seorang gadis cantik berambut panjang dengan rok
selutut. Saudara sekaligus sahabat kecilnya.
“Mbah Kung, Mbah Putri, Mbak Via datang,” teriaknya sambil
berlari kearah Via.
“Rahma.”
Mereka saling berpelukan. Gadis itu adalah sepupunya. Anak
dari adik ayah Via. Mereka selalu bersama semasa kecil. Persahabatan keduanya
sangat dekat, hingga akhirnya harus berpisah karena Via ikut ayahnya yang di terima
bekerja di Malang. Sebenarnya keduannya seumuran, tapi karena silsilah orang
tua Via yang lebih tua dari pada orang tua Rahma, ia di panggil Mbak, sapaan
orang jawa bagi perempuan yang lebih tua.
“Via,” sapa seorang kakek tua
bertelanjang dada yang keluar dari bagian samping rumah dengan menenteng arit2
di tangannya. kakek yang sedang berkebun itu pun meletakkan celuritnya di tanah
lalu menggunakan celana pendek yang melekat di tubuhnya untuk menyeka tangan. Di
ikuti neneknya yang masih saja mengenakan kebaya cokelat dan kain batik yang
dililitkan di pinggul lengkap dengan kinang yang memenuhi mulutnya.
“Nduk, cucuku.”
“Mbah Kakung, Mbah Putri, apa kabar? Aku
rindu kalian.” Di hampirinya dan memeluk erat mereka. Beberapa kali di cium
pipi Via oleh nenek dengan merapatkan mulutnya untuk menahan kinang agar tetap
di dalam tanpa meninggalkan bekas pada cucu kesayangannya.
“Sudah-sudah, si nduk kan baru sampai.
Biar istirahat dulu. Rahma tolong bawakan barang-barang mbak mu ke dalam,” sela
kakek kemudian berjalan kembali menuju kebun ketela di samping rumah sambil
menenteng celuritnya yang baru di pungut dari tanah.
***
Di masukkan handphone buatan cina itu setelah ibunya menutup
percakapan. Ia berjalan ke sekeliling halaman yang tumbuh beraneka bunga.
Berusaha membuka memori masa silam. Bedanya kini beberapa bunga hidup itu berpindah
rapi di dalam pot. Benalu yang
dulunya ia gunakan saat main masak-masakan masih
merambat menopang di daun beluntas. Sekilas Ia mengingat dimana dirinya selalu
menang melawan Rahma saat bermain adu kuat tanaman liar itu.
Meskipun saat ini sudah menunjukkan pukul 11.00 siang.
Matahari masih enggan menyengat. Udara masih terasa sejuk. Bertambah rindang
oleh sebuah pohon kelapa di depan rumah tempat Via berdiri saat ini. Nyanyian
burung begitu nyaring terdengar. Sesaat terasa sunyi, hanya desiran angin yang
kadang tertangkap telinga.
Ia pejamkan mata sambil menarik nafas
dalam-dalam. Di ulanginya beberapa kali. Membiarkan udara sejuk melancarkan
sirkulasi napas dalam tenggorokkan. Tiba-tiba Ia terkejut saat seseorang
berteriak dari arah belakang.
“Awas !”
Via terpejam. Dan saat membuka mata, di dapati
lengannya di tarik oleh seseorang dengan tubuh tegap dan berkulit putih. kedua
tangannya mencengkeram jaket hitam yang lelaki itu kenakan.
Sementara tangan kiri lelaki berambut ikal itu memegang lengannya, dan tangan lainnya berada di punggung untuk
berusaha menahan tubuh kurus Via yang condong kebelakang dan hampir terjatuh. Via
pun memalingkan wajah keatas. Ke arah
lelaki dimana tingginya 7 cm lebih
darinya.
Lalu terdengar suara langkah kaki yang
mulai mendekat “Mbak Via, ada apa?”
Sontak Via melepaskan cengkraman dan
lelaki itu juga melepaskan tangannya ketika mendengar suara Rahma.
“Syukurlah mbak Via tidak apa-apa. Pohon
kelapa ini memang sudah tua. Jadi banyak daun-daunnya yang jatuh.” Rahma lega. “Terimakasih
ya mas Miko. Untung mas Miko ada disini,” tambahnya.
Sambil tersenyum, lelaki yang di panggil
Miko itu bergerak menjauh. Via segera menghampiri lelaki itu dan berusaha
mengucapkan terimakasih. Namun niatnya urung saat Ia melihat Miko berdiri di
samping sebuah motor. Ia ingat bahwa itu adalah motor yang telah membuatnya
menenteng sepeda motor puluhan meter untuk mencari penjual bensin lain.
“Ohh, ternyata kamu pemilik motor ini!
Kamu tau nggak, gara-gara kamu aku harus mendorong motorku jauh sekali. ” Bukan
sambutan hangat, Ia malah memaki-maki dengan penuh kekesalan.
“Via? Kamu ada disini juga?” tanya
Fajar, kakak Rahma yang tiba-tiba muncul dari balik pintu rumah kakek.
“Mas Fajar?” Via terkejut, “Bukankah Mas
kuliah di Jakarta sekarang?” tanyanya penasaran.
“ Iya, benar. Tapi sekarang aku sedang berlibur dengan
temanku sambil menyelesaikan tesis.” Menunjuk Miko yang sedang mencari-cari
sesuatu di ranselnya.
Seolah di ingatkan, Via kembali melampiaskan kemarahannya.
Iya masih tidak terima atas apa yang di alaminya. “Orang sombong ini temanmu Mas?
Pantas saja. Aku sih tidak heran kalau anak Jakarta bertingkah laku seperti
ini.” Sindirnya dengan suara yang semakin tajam dan keras.
“Hey Mik, memangnya apa yang sudah kamu lakukan padanya?”
tanya Fajar dengan sedikit menggerakkan dagunya kearah Via sebagai isyarat
menunjuknya.
“Aku? Apa?” keluar dua patah pertanyaan seolah tak terjadi
apa-apa.
***
Malam pun tiba. Terlihat piring yang bertumpuk. Satu persatu
hidangan yang menggiurkan itu memenuhi meja. Tumis kangkung, tempe dan kerupuk.
Tak tertinggal bothok luntas serta
sayur rebung yang di masak pedas. Lebih lengkap dengan kolak telo buatan sang nenek. Benar-benar memanjakan perut yang
tengah meraung-raung minta di isi.
Dengan penuh semangat, Via segera mengambil piring di
tumpukan teratas dan bangkit dari kursi mencoba meraih nasi yang berada di
bagian tengah meja. Seakan tersadar dari sebuah perbuatan jahat, dengan senyum
bersalah, Ia mengembaliakan lagi nasi yang belum sempat mendarat di piringnya.
Meletakkan piring dengan pelan di depannya kemudian menatap malu pada sang
kakek.
” Heee. Oh, ini nasi untuk Mbah Kakung, biar Via ambilkan.”
“Ayo Mbah Kung cepat makan, sepertinya Mbak Via sudah tidak
sabar untuk menunggu gilirannya makan.” Terdengar suara Rahma yang masih sibuk
di dapur membantu nenek menyiapkan makan.
“Oh yaa, hari kamis
nanti Aisah akan menikah, ini undangannya. Mbak datang kan?” tanya Rahma.
Dengan sedikit berfikir Via menjawab, “Ehh... iya”
“Sekalian biar Fajar sama nak Miko ikut untuk menggantikan Mbah.
Sampaikan kepada pak kades kalau si Mbah tidak bisa datang.”
***
Na na na na na na
Na na na na na na
Samar-samar Via mendengar suara gitar dari teras rumah.
Nada-nada itu tak asing di telinganya. Ia segera beranjak dan berjalan keluar. Ia
melihat Miko yang sedang bersandar di amben3 teras rumah memainkan sebuah gitar
kayu. Via perlahan mendekat. Memastikan bahwa yang di dengarnya adalah lagu
favoritnya.
“A apa itu lagu . . . . ,” belum sempat melanjudkan
kalimatnya.
“Kamu tau?” Miko
sedikit kaget.
“Tentu saja. Itu lagu kesukaan ku”
“Benarkah? Padahal tak banyak yang mengenal lagu ini.”
Via yang tak pandai menyanyi itu pun
mengeluarkan suaranya di iringi petikan gitar Miko yang lembut. Terciptalah
keakraban, tak lagi saling menyalahkan. Yang muncul ialah perbincangan seru dan
canda tawa.
“Kamu kok mau ngambil tesis tentang marmer
disini sih? Di Jakarta kan juga banyak bahan. Kenapa harus jauh-jauh kesini?
Biasanya kan orang Jakarta nggak mau ribet,” cerca via.
Tulungagung memang penghasil marmer.
Dan Miko bukan satu-satunya orang yang pernah tinggal di desanya untuk
melakukan penelitian tentang industri marmer.
“Memangnya kamu tau Jakarta?” balas Miko
dengan senyuman.
“Hm..... Belum sih. Tapi aku kan nggak
buta teknologi. Dari internet bahkan dari sinetron-sinetron yang ku tonton, Aku
sudah bisa menebak sifat anak Jakarta itu seperti apa.”
“Oh, jadi kamu anggap Aku seperti orang
Jakarta di sinetron yang kamu tonton itu?” Miko paham kenapa sejak Via tau
bahwa Ia dari Jakarta, sikapnya semakin dingin.
“Gini deh, Aku kan orang Jakarta dan
Kamu orang Jawa. Di pinggiran Jawa malahan. Kamu berasal dari sini kan?”
“E e eee iya,” jawab Via ragu.
“Nah, Aku sebagai orang Jakarta tuh
melihat orang Jawa itu kuno, lemot, sukannya bertele-tele, gaptek, nggak modis
dan ndeso. Gimana menurutmu?” paparnya tanpa maksud menghina ataupun menggurui.
“Enak aja, Aku nggak se-ndeso itu ya.
Aku juga nggak gaptek meskipun pakaianku ini jadul.”
“Jadi tidak semua orang Jawa seperti
yang kukatakan tadi kan? Sama seperti orang Jakarta tak semuanya seperti yang Kamu
kira?”
Via terdiam sejenak, kemudian tersenyum
kembali penuh semangat. “Oke, Aku akan membuang jauh prasangkaku bahwa orang Jakarta
itu jahat, sombong, tukang bohong dan . . . .”
“Tunggu dulu. Jadi selama ini kamu kira
aku jahat dan tukang bohong?” Via mengangguk pelan dan keduanya tertawa lepas.
“Hei lihat. Matahari mulai terbit. Ayo
kita ke bukit sana.”
Via beranjak menuju bukit tak jauh dari
rumah itu di ikuti Miko yang mengekor di belakangnya. Tak ada pepohonan di
bagian timur bukit sehingga mereka bisa melihat dengan jelas keindahan mentari
pagi itu.
“Ada yang lebih indah darinya,” ucap
Miko yang kemudian memecah kekaguman Via.
“Memang apa yang lebih indah dari sunrise4 ini?” tanyanya masih sambil memandang ke langit.
“Lihatlah ini!”
Via berjalan kearah Miko yang berdiri
membelakanginya. Ketika itu di pandangnya sorot matahari yang mulai meninggi
menembus celah-celah pohon jati yang lebat. Cahayanya membentuk garis-garis
lurus yang terlihat bercahaya dan memesona. Sinar itu berkelap-kelip seiring
bergoyangnya daun-daun yang tertiup angin. Ternyata ada hal lain yang indah
saat menghadap ke barat ketika matahari terbit.
***
Malam ini Via tampak jelita mengenakan
gaun hitam yang di kombinasikan dengan kain batik. Bekalnya tak dipersiapkan untuk
menghadiri pesta. Jadi, Ia pun memanfaatkan mesin jahit di belakang rumah yang
sudah tak terpakai untuk membuat sendiri gaunnya. Dengan keahlian dan hobinya
mendesain baju serta berkat beberapa potong kain yang di belinya di pasar, Ia
mampu menyelesaikan hanya dalam waktu 3 hari.
Dengan tas hitam kecil berhiaskan monte
milik Rahma yang menguatkan keanggunannya, Ia berangkat berempat menghadiri
pesta pernikahan anak kepala desa itu.
Janur kuning melengkung di pertigaan
jalan. Nampak sedan-sedan terparkir rapi. Para perangkat desa, pegawai kecamatan dan pejabat kabupaten hadir
dalam acara yang cukup mewah melihat lokasi yang berada di sebuah desa
pinggiran.
Terdengar alunan rebana yang indah
dengan puji-pujian kepada Sang Ilahi mengiringi kedua mempelai menuju
singgasana. Dua pasang pengiring pengantin dengan tegapnya membopong kembar mayang. Diawali
oleh dua bocah kecil mengenakan kebaya yang serasi dengan sang pengantin.
Via yang saat itu duduk di barisan
paling belakang bersama teman-temannya terpaku menatap kedua pengantin yang
keduanya adalah teman-teman masa kecilnya. Secepat itukah waktu berjalan. Ia
yang masih disibukkan memutar otak dan belajar. Sementara teman-temannya kini telah
menentukan pilihan hidup mereka bersama pasangan.
Rasa miris yang justru menyusup ke dalam benaknya. Menikah
adalah suatu ikatan suci. Jalan untuk menyempurnakan iman antar dua insan
berbeda. Namun bukankah ini terlalu dini. Bukankah remaja seusia dirinya harus
lebih dulu mengutamakan pendidikan yang juga diperintahkan agama. Ilmu yang
nantinya akan berguna sebagai bekal berumah tangga pula. Pengetahuan yang dapat
menyelamatkan atau menjerumuskan manusia di alam kekal kelak.
Suara merdu sang biduan orkestra
memecah lamunannya. Wanita paruh baya itu berjoget dengan liukan tubuh yang
menghibur para tamu undangan. Kemudian sang pembawa acara mempersilahkan kedua
pengantin untuk ikut bernyanyi. Aisah, Sang mempelai wanita memang pandai
bernyanyi. Masa kecilnya banyak mendulang piala kontes menyanyi di kecamatan.
Suaminya yang merupakan putra pejabat pun tak kalah merdunya.
“Terimakasih untuk seluruh tamu
undangan yang sudah hadir. Teman-teman saya yang juga telah menyempatkan
waktunya kesini. Untuk selanjutnya ada seorang teman saya ketika di Sekolah
Dasar. Dia akan menghadiahkan sebuah lagu untuk kami. Via,” ucap Aisah sampil
menunjuk Via untuk naik ke panggung.
Via terkejut namanya disebutkan. Ratusan
pasang mata telah menatap ke arahnya. Sorotan antusias dan senyum hangat. Namun
otaknya membeku tak bisa berfikir. Ia bangkit meskipun hatinya tak ingin. Entah
siapa yang mengendalikan tubuhnya. Tak mungkin pula Ia berkata tidak kepada
semua orang yang telah mengharapkan suaranya.
Tangannya dingin dan gemetar. Namun Ia
masih mampu mencari cela diantara kursi untuk sampai di panggung kecil itu.
“Gawat! mbak Via kan nggak bisa nyanyi.
Dia pasti akan dipermalukan.” Rahma cemas.
“Apakah anak itu masih membenci Via
hingga saat ini?” sahut Fajar.
“Memangnya ada apa diantara mereka?”
tanya Miko yang penasaran.
“Aisah itu sangat benci dengan mbak
Via. Soalnya dulu, Amir, cowok yang di sukai Aisah itu lebih memilih mbak Via.
Semacam cinta monyet lah. Kan masih SD. Tapi sepertinya dia masih belum bisa
melupakan masalah itu. Mbak Via pasti akan dipermalukan lagi. Kita harus
gimana?”
Miko paham dengan penjelasan yang
dipaparkan Rahma. Dan Via kini telah berdiri menggenggam microphone. Nampak jelas dari matanya yang kebingungan.
Via tak tau harus berbuat apa. Yang ada
di pikirannya adalah Ia pasti tak akan punya muka setelah turun dari panggung.
Wajah-wajah di hadapannya menanti. Satu menit berlalu tanpa suara. Dua menit
kemudian masih hening. Lalu terdengar musik mengalir melalui celah-celah organ.
Via yang terhentak pun menoleh ke kirinya.
Jari-jari Miko dengan lincah memainkan
organ. Wajah Via berubah cerah. Ia mengenal melodi itu. Lagu yang beberapa hari
lalu Ia nyanyikan. Senyuman Miko yang di dapatnya menyingkirkan semua
kecemasan. Kepercayaan diri yang penuh dan tanpa ragu ia mengangkat microphone
di hadapannya. Tersenyum sedikit kearah Miko lalu mulai bernyanyi . . . . . .
Lagu pun berakhir dengan tepuk tangan
dari seluruh tamu undangan. Via masih tak bisa percaya bahwa dialah objek gemuruh
yang menggetarkan tenda biru itu. Ketika Ia menuruni anak tangga dan di susul Miko
dari belakangnya, seorang wanita
berpakaian rapi dan mewah menghampirinya.
Dari ujung kaki hingga rambutnya yang
di penuhi barang-barang bermerk dan mahal telah menunjukkan bahwa Ia adalah
orang penting di pemerintahan. Hal itu benar ketika Ia memperkenalkan diri
sebagai kepala Dinas Koperasi, Usaha Kecil, Mikro dan Menengah.
“Selamat malam dek Via. Perkenalkan
saya Susaeni. suara anda sangat merdu.”
“Terimakasih bu, sesungguhnya saya tak
pandai menyanyi,” sambil tersenyum dan menerima uluran tangan sang pejabat
daerah itu.
“Begini, sejak saya melihat anda tadi
saya tertarik dengan baju yang sedang kamu kenakan. Apakah kamu membelinya
disini?”
“Oh ini, ini buatan saya sendiri bu,
memangnya ada apa?”
Malam itu juga Via menerima kesepakatan kontrak. Gaun yang di jahitnya secara instan telah menarik
perhatian sang jiwa seni. Impiannya untuk menjadi desainerpun terwujud. Gaya
yang modern, simple tapi elegan sangat berpotensi untuk bisnis. Apalagi batik
yang di gunakan adalah batik yang di produksi oleh kota Tulungagung sendiri
yang dapat menambah nilai penjualan
sebagai produk khas kabupaten serta bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat
lokal.
***
Malam mulai larut. Fajar dan Rahma telah kembali terlebih
dahulu. Kini Via harus menajamkan ingatannya untuk mencari jalan pulang bersama
Miko.
“Kamu cantik malam ini,” puji Miko yang berjalan sejajar
dengan Via.
“Benarkah? Padahal
aku merasa sangat aneh memakai baju ini,” jawabnya dengan senyum malu sambil
melirik baju yang menempel ditubuhnya.
“Oh iya. Aku punya sesuatu untukmu,” tambah Via lagi.
“Sesuatu?”
“Iya, tunggu sebentar.” Sambil mengambil barang dari dalam
tasnya. “Ini ! Sepertinya milikmu.”
“Kalung ini? Bagaimana bisa ada padamu?” mereka pun
menghentikan langkah.
“Entahlah. Tiba-tiba tergantung di motorku. Mungkin terjatuh
saat kita berebut bensin waktu itu.”
Miko mengamati kalung itu beberapa saat kemudian
menyodorkannya kembali pada Via. “Ini ! pakailah.”
“Untukku?”
“Iya,” sambil tersenyum.
“Kenapa?” tanyannya penasaran.
“Itu kalung yang kudesain sendiri. Dan aku berjanji untuk
memberikannya pada orang yang ku sayang. Jadi pakailah.”
“Maksud kamu?” Via menghadapkan tubuhnya pada Miko dengan
wajah penuh tanya sementara Miko tetap memandang lurus ke jalan.
“Sebenarnya aku ingin memberikannya sejak dulu. Aku jatuh
cinta padamu. Entah mengapa rasa itu semakin kuat saat kita bertemu setiap hari,”
sambil tersenyum dan mengambil napas. “Aku sendiri tak bisa mencegahnya. Dan
ternyata kalung itu datang dengan sendirinya padamu.”
“Emmm . . . Ehhh . . . Aku . . . .”
“Aku lega sudah mengungkapkan semua rasa ini. Simpanlah
kalung itu dan pakai jika kamu menginginkannya.”
Suasana menjadi tegang. Via masih menatap Miko dan
memperhatikan setiap ucapannya. Lalu ia menyodorkan kembali kalung yang di
genggamnya.
“Kamu tak ingin memakainya?” tanya Miko kecewa. “Ini memang
terlalu cepat dan mungkin mengejutkanmu,” tambahnya lagi sambil menerima kalung
itu.
“Kata siapa aku tak mau memakainya.”
Miko mengangkat sedikit wajahnya dan mata mereka kembali
bertemu.
“Aku ingin kamu memakaikannya di leherku.” jelas Via yang
juga menaruh rasa pada Miko.
Sebuah Jam dari marmer bertuliskan
V&M buatan Miko sebagai tugas akhirnya menjadi
hadiah perpisahan mereka. Miko harus kembali ke Jakarta untuk menyelesaikan
kuliahnya, namun Ia berjanji akan kembali ke tempat yang telah menyatukan
mereka ini tepat 62 putaran jam dinding tersebut.
*END*
Picture: https://www.sciencedaily.com/images/2015/02/150206111633_1_900x600.jpg
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete