“Marsya,” Lelaki berambut
hitam pekat dengan potongan lurus di dahinya itu berteriak kearahku. Suaranya
lebur dalam keramaian kantin sekolah, namun aku bisa mendengarnya, telingaku
menyaring mana yang harus didengar atau diabaikan. “Marsya!!!”
“Haish…,” dengusku. Bocah ini
benar-benar menyebalkan. “Sudah aku bilang jangan panggil dengan nama itu.” Tanganku
mengepal ingin menjitak kepalanya dengan punggung jariku. Namun segera kuturunkan
tangan untuk menyeruput teh hangatku yang baru diantar sebelum di sambar bocah
itu.
Namun, aku tetap kalah cepat
dengannya. “Hey…” Bahkan napasnya masih sengau dengan keringat yang
mengembun di bawah hidungnya. “Enak saja minum punya orang. Sini balikin!”
kataku marah sambil meraih gelas itu dari tangannya.
Tanpa merasa bersalah,
suaranya yang serak dan terdengar berat
itu bukannya minta maaf tapi malah melontarkan pertanyaan. “Apa kalian sudah
dapat kelompok untuk tugasnya Pak Roni?”
“Hey, kau! Memangnya aku ini pohon?!”
seruku dengan tegas seperti harimau yang ingin melumat mangsanya hidup-hidup. “Aku
nggak suka kamu manggil aku Marsya. Siapa yang Marsya? Kamu pikir aku anak
kecil yang hidup dengan seekor beruang? Namaku Eva. Evalie Verolita Rachman. You
know?”
“Yes, I know, Marsya,”
jawabnya singkat lalu mengalihkan pandangan pada Kristin untuk menghindari
omelanku.
“Sudah, sudah. Kalian ini
selalu saja ribut kalau ketemu,” Kristin, yang duduk di depanku dari tadi
akhirnya menyela.
“Dia nih yang selalu bikin ribut,”
tuduhku.
“Yeee… kamu tuh!” sambil
menyodorkan kembali bungkus jajan yang ternyata isinya sudah berpindah tempat
ke perutnya.
“Sudah! Kok mulai lagi sih.”
Kristin kembali melerai.
Sebenarnya memang aku yang
selalu memulai masalah dengannya. Aku yang membuat hal kecil menjadi besar yang
pada akhirnya membuatku dan Firman beradu mulut. Tak pasti siapa yang menang,
kadang aku terkadang juga dia. Tetapi seringkali kami seri, Kristin selalu
datang untuk menengahi percekcokkan kecil kami.
Bukan tanpa alasan aku
melakukannya. Aku sengaja mencari masalah dengannya karena…karena aku hanya ingin lebih dekat dengannya. Ya, aku menyukai
Firman, sudah lama sejak kami kenal sebagai teman satu kelas.
“Tadi kamu tanya apa?” kata
Kristin yang tak konsentrasi karena sibuk dengan tugas bahasa Inggrisnya.
“Kalian sudah dapat kelompok
untuk tugas seni belum?”
Aku menggelengkan kepala dan
Kristin menjawabnya singkat. “Belum.”
“Aku sama kalian ya, Bayu
sama si Gun milih kelompok sama Imam. Nah, aku ditinggalin, padahal setiap
kelompok hanya tiga orang. Aku gabung sama kalian ya?”
“Ih, nggak ah. Emang kamu
bisa nyanyi?” sergahku.
Firman merengut lalu merebut
kembali roti keringku yang lain. Ia mengambilnya begitu saja dan langsung
memasukkannya ke dalam mulut. Aku tak melawan lagi kali ini.
“Biarin aja deh Va, meski aku
juga nggak yakin sama kemampuan suara anak ini, tapi itu akan membantu kalau
salah satu anggota kelompok kita itu cowok.”
“Yups, betul kata Kristin.
Kamu baik banget sih.” Firman melemparkan senyum pada Kristin. Sepertinya
mereka bersekongkol.
Karena di sini aku yang pernah
ikut ekstrakurikuler paduan suara, mereka merasa perlu mendapat persetujuanku.
Kristin terlihat biasa saja tak begitu berharap. Namun aku tak sanggup melihat
wajah Firman seperti itu. Hanya tiga detik menatapnya, jantungku berdegub
begitu cepat. Meski aku sudah memalingkan muka namun detakkannya masih keras
terasa.
“Marsya…” rayunya.
Sebenarnya aku benci
dipanggil begitu. Tapi, tak apa selama dia yang memanggilnya. “Iya,” ucapku
spontan, singkat, tegas. Tak kutunjukkan tampang mengalahku.
Firman langsung berdiri dengan
wajah puas. Mereka lalu tersenyum telah berhasil merobohkan pendirianku. Aku
juga ikut terbahak melihat firman yang kegirangan tak tahu malu. Kami tertawa
bersama dan aku sangat menyukai saat-saat seperti ini. Aku senang tertawa
bersamanya. Dekat dengannya apalagi ketika dia memandangku dengan tatapan jahil
itu.
***
Pulang sekolah kami berencana
untuk belajar bersama di rumah Kristin. Rumahnya memang selalu menjadi pilihan karena
di sana ada taman kecil yang rindang dan membuat kami betah berlama-lama,
bermain atau mengerjakan tugas bersama.
“Jemput aku jam tiga tepat,”
kataku singkat.
“Siap bos!” jawab Firman
yakin.
Aku mengayuh sepeda dengan
cepat agar segera sampai di rumah. Aku tak sabar untuk mempersiapkan semuanya.
Ya, aku harus tampil cantik, aku ingin membuat Firman terpesona melihatku.
Tanpa seragam abu-abu, aku
bisa menyerasikan pakaian dengan make-up yang aku pinjam dari kakak.
Kupasang jepit bunga mawar untuk menahan rambut di sisi kanan. Setelan denim
dan blouse ini sepertinya tidak berlebihan.
Aku
harus mengatakannya! Dialogku pada bayangan diri
di depan cermin.
Ah,
tidak. Itu tidak mungkin, aku cewek! sisi
lain diriku menjawab.
Tapi
sampai kapan aku harus menunggu. Aku sudah memberi sinyal tapi dia tak juga
mengatakannya. Masih berbicara dengan hatiku sendiri.
Ah, kupecah semua
pikiran-pikiran itu. Aku hanya harus mengatakannya dan semua pasti baik-baik
saja.
***
Aku melingkarkan tanganku
erat pada pinggangnya yang kurus, jantungku masih berdetak kencang seperti
biasanya. Meski ini sudah sekian kalinya dia memboncengku dengan sepeda, namun rasa
ini selalu ada.
“Ada apa? kok berhenti?”
tanyaku yang menyadari roda sepeta tak berputar lagi.
Firman menjatuhkan kedua
kakinya ke aspal jalan. “Kita turun saja ya?!” jawabnya singkat sambil menoleh
ke belakang.
“Kenapa?” tanyaku dengan
tangan yang masih berpegangan pada bajunya.
“Biar bisa nikmatin
pemandangan bagus tuh,” sambil menunjuk area persawahan yang masih hijau.
“Huuu…bilang saja kalau kamu
capek. Biasanya lewat sini juga nggak apa-apa.”
Dia menyeringai nakal.
Sungguh, itu membuat hatiku berdebar-debar. Ada perasaan bahagia dan takut
bersamaan. Bagaimana jika aku mengatakannya namun dia tak menyukaiku. Akankan
persahabatan kita akan menjadi canggung. Aku bingung.
Angin bertiup pelan
menghempaskan rambutku yang tak begitu panjang. Desirannya seolah mengalunkan suara
lembut yang membuatku semakin larut dengan gejolak hatiku sendiri.
“Kamu mau ngomong apa?”
tanyanya tiba-tiba seolah mengerti bahwa aku ingin berbicara dari tadi, lebih
tepatnya menyatakan cinta.
“Ah, nggak kok. Bukan apa-apa.”
Sebenarnya sih apa-apa, tapi…
“Oh iya, kira-kira Kristin punya
pacar nggak ya?” sela Firman. Aku terkejut Firman mengambil topik ini. Aku
merasakan firasat buruk.
“Sepertinya sih belum, tapi
apa dia punya seseorang yang dia suka?” tambahnya lagi sebelum aku menjawab
pertanyaan pertamanya.
“Memang kenapa?” Ah, bodoh.
Kenapa aku menanyakannya. Kurang jelas apalagi jika cowok sudah menyanyakan
tentang hal semacam ini. Aku memang bodoh.
“Jujur ya, kamu orang pertama
yang tau tentang ini. Karena bagiku, kamu teman yang sangat aku percaya jadi
aku akan memberitahumu,” Firman mengambil napas sambil mempererat pegangannya
pada badan sepeda.
Tunggu! Aku tak suka kata
itu, Teman? Jadi dia menganggapku hanya sebagai teman dekat? Bukan teman yang spesial?
Jangan-jangan, dia meminta turun dari sepeda untuk mengatakan sesuatu yang
sangat aku takutkan ini.
“Sebenarnya aku menyukai
Kristin,” lanjut Firman.
Rasanya darah berhenti mengalir
dan napasku sesak. Apa yang baru saja dikatakannya? Kenapa? Kenapa Kristin?
Kenapa bukan aku? Kenapa sekarang di
saat aku sudah bersusah payah mengumpulkan keberanian untuk menyampaikan
perasaanku.
“Sudah sejak…”
Aku menghentikan langkah
untuk mencegah Firman bercerita lebih jauh lagi. Aku tak sanggup, aku belum
siap untuk mendengarkannya. Aku tidak akan sanggup mendengarnya lagi.
“Oh, bukuku tertinggal di
rumah. Aku mau mengambilnya dulu. Kamu ke rumah Kristin saja duluan.” Tanpa
basa basi aku membalikkan badan lalu berjalan cepat meninggalkan Firman yang
kebingungan dengan sikapku yang berubah tiba-tiba.
“Tapi…tunggu,” teriaknya. Kudengar
derap sepedanya mendekat. “Biar aku antar.”
Aku memalingkan muka agar dia
tak melihat bulir-bulir air mata yang mulai membanjiri pipiku, “Tidak apa-apa.
Nanti aku menyusul.”
“Tidak, biar kuantar saja.” Firman
masih mengejarku.
“Jangan!!!” bentakku. “Biar
aku sendiri saja.” Tentu saja aku menangis. Bahkan wajahku sudah benar-benar
basah sekarang. Dan aku tak mau dia melihatku seperti ini.
***
Tak ada semangat lagi dalam
hariku. Aku salah telah memupuk perasaanku padanya. Harusnya cinta itu aku
bunuh sejak lama sebelum tumbuh duri seperti ini. Harusnya aku menyadari dari
dulu kalau kami memang hanya pantas untuk berteman, tidak lebih. Kini aku tak
tahu harus bersikap bagaimana kalau bertemu dengannya, juga dengan Kristin,
sahabatku.
“Eva!”
Aku tahu dengan jelas suara
siapa itu. Tak seperti biasanya, ia memanggil dengan namaku yang sebenarnya. Tapi
aku mengacuhkannya dan tetap berjalan melewati koridor sekolah.
“Eva, tunggu.” Firman menahan
tanganku kemudian menarik pundakku hingga kami berhadapan.
“Kamu? Ada apa?” tanyaku
berpura-pura. Sungguh, aku tak bisa menatapnya lagi kali ini. Itu hanya akan
membuat mataku kembali memerah.
Firman hanya diam sambil
menatapku lekat. pupilnya membesar. Aku tak tahu apa yang akan dia lakukan.
Sepertinya dia sudah tahu perasaanku dari Kristin.
“Oh iya, kemarin aku…aku…itu, kakakku minta
diantar ke minimarket dan…aku…aku jadi lupa kalau ada janji sama kalian. Maaf
ya, aku lupa,” sahutku cepat-cepat sebagai alasan.
Tangannya semakin erat
mencengkeram pundakku hingga wajahku terangkat, aku melihat wajahnya dengan tatapan
yang tak biasa. “Kamu bohong,” ucapnya tegas namun lembut.
“Tidak, aku nggak bohong.”
Aku melepaskan tangannya dari pundakku. Namun ia semakin kuat mencengkeram.
Tatapan itu tak biasa kulihat dari matanya. “Kamu nggak percaya? Aku nggak
bohong!” Aku sudah tidak punya alasan lagi. Yang kuinginkan hanyalah pergi dari
hadapannya hingga aku bisa menangis. Aku ingin menangis sekeras mungkin.
Tiba-tiba Firman memelukku,
ya, dia memelukku. Oh Tuhan benarkah ini? Ini yang selalu aku harapkan. Hangat
dalam dekapannya. Tapi kenapa aku tak menemukan sesuatu yang selama ini aku
cari? Aku merasa…sakit, hatiku terasa perih.
“Maaf, maafkan aku telah membuatmu
menangis.” Aku diam saja, merasakan detub jantungnya yang keras menembus
dadanya yang bidang. “Maaf selama ini aku tak pernah mendengarmu. Maaf aku sudah
menjadi orang yang bodoh yang melukaimu.”
“Kamu bicara apa sih, aku
nggak ngerti.” Kulepaskan tubuhku dari pelukannya. Tidak. Kumohon, jangan
katakan apapun lagi. Aku tak mau menangis di depanmu. Pergilah. Aku tak mau
merusak persahabatanku dengan Kristin karena hal ini. Jadi, biar perasaan ini
tetap menjadi milikku sendiri.
Firman masih memandangku
tajam dan aku hanya membalas dengan getir.
“Kristin sudah mengatakan
semuanya kalau selama ini kamu…”
“Hentikan!” Aku menahan
kata-katanya. “Aku tidak apa-apa. Jadi kumohon jangan bilang apapun lagi,” teriakku
jelas. Firman agak terkejut. Aku juga tak sadar sudah meneriakinya yang sama
saja aku mengungkapkan perasaanku padanya.
Firman perlahan melepaskan
genggamannya. Tak perlu mengatakan apa-apa lagi, aku tidak mau mendengar ucapan
itu keluar dari mulutnya. Aku tak mau dikasihani. Aku juga tak mau bila semua
ini akan menghancurkan persahabatan kami. Lebih tepatnya aku tak akan sanggup
bila masalah ini akan membuatku tak bisa melihat wajah ceria dan senyum
lebarnya. Sudah cukup bagiku mengetahui semua ini dan aku tak apa harus merasa sakit asalkan
aku bisa tetap bersamanya, sebagai sahabat.
*END*
Picture from: Shiritsu Bakaleya Koukou Dorama
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete