Aroma segar menyeruak
ke sudut ruangan empat kali enam meter tersebut. Wangi surga katanya. Tempat dimana
keburukan dan rasa sakit tak mampu masuk melalui celah pintu sekalipun. Hanya ada
kebahagiaan yang menelusuk lalu mengantarkan ketenangan.
Gadis berambut kucir
ekor kuda itu cekatan menciumi setiap bunga yang telah mekar. Ia mengaturnya
dengan sempurna agar mereka tak cepat layu. Buket lili, anggrek, dan bunga
daisy sudah tertata indah menunggu sang pemilik menjemputnya.
“Hua...,” pekiknya sehabis menghirup
bau mawar yang selesai disusunnya menjadi satu ikat. “Wangi.”. Tanpa sadar ia
menunjukkan raut bahagia yang berlebihan.
Hari ini tidak ada
yang memesan rangkaian mawar memang. Namun gadis itu tetap membuatnya. Ia
yakin, seseorang yang datang setiap akhir pekan dari kota itu akan segera tiba.
“Aliya! Ibu akan ke
kebun dulu. Nanti setelah semua pesanan diambil, kamu langsung tutup tokonya,
ya,” pinta ibunya sambil buru-buru memakai caping dan menggendong keranjang
kosong.
“Iya, bu.” Aliya
membalas dengan senyum ke arah berlawanan ibunya berjalan. Ia mendengar derap
langkah kaki menjauh kemudian meninggalkan bunyi lonceng yang tertimpa daun
pintu.
Aliya kini sendirian.
Aroma bunga-bunga di sekitarnya tak pernah membuatnya merasa sepi. Ia betah
berlama-lama. Kalau bisa ia ingin tinggal di sana saja, di dalam ruangan berdinding kaca yang berfungsi
sebagai toko bunga. Setidaknya, tempat itu mampu menghipnotisnya dari rasa
sakit.
Lonceng di atas pintu
berbunyi lagi. Diantara bau mawar yang pekat, menyelusup aroma cypher yang kuat,
kombinasi dominan citrus yang berbaur dengan ekstrak bergamot. Aliya tak ragu
lagi, pria itu benar-benar datang hari ini.
“Selamat datang, tuan
Leon,” sambut Aliya. Seikat mawar masih di tangannya.
“Tuan Leon?” Pria itu
terkekeh. “Kedengaran aneh kalau kamu yang ngomong,” candanya.
Leon duduk di kursi
dekat Aliya merangkai bunga, kemudian mengamati gadis itu dengan lekat. Matanya
menyelisik setiap bagian wajah yang putih dan halus. Ia menyukai bibir tipis
kemerahan yang menampakkan satu lesung pipit itu. Gadis paling ceria yang
pernah ia kenal.
Bola mata Aliya
bergerak-gerak ke sembarang arah sambil bersenandung lagu yang tak jelas.
Bahkan gadis itu tak sekalipun menghadap ke arah Leon yang masih mengamatinya. Ya,
Aliya tak pernah mengerti kalau Leon selalu memandanginya seperti itu. Sejak
lahir, gadis itu tak pernah melihat dunia. Ia tak bisa memandang apapun yang
ada di hadapannya
“Kamu tahu kalau aku
yang datang?” tanya Leon penasaran.
“Tentu saja. Aku mengenali
baumu sejak pertama kamu ke sini sebulan, dua bulan, eh, tiga bulan yang lalu
mungkin.” Aliya tersenyum lalu merapikan bunga di tangannya.
“Enam bulan,” sela Leon
cepat. Aliya balas mengangguk, tak menyangka sudah selama itu. “Oh ya, kamu bilang
bisa mengenaliku dari bau. Memang seperti apa, bauku?” tanya Leon lagi. Ia juga
penasaran soal ini.
“Aroma esens bergamot
ditambah perpaduan apricot dan labdanum yang segar. Kamu pakai parfum itu kan?
Chyper? Bau itu mirip seseorang yang kukenal. Dia pernah cerita tentang
bergamot yang buahnya masak pada akhir musim gugur atau awal musim semi. Bahkan
dia juga pernah membawakanku buah itu langsung dari Italia.” Pipinya merona mengenang
sesuatu kemudian berubah pucat dengan cepat.
Leon tertegun
memahami kata-kata gadis itu. “Benarkah? Aku hanya mencium wangi mawar,”
ucapnya mengalihkan pembicaraan.
Aliya lagi-lagi
tertawa sambil menjelaskan. “Kalau kamu hanya bisa menciumi aroma-aroma ini
seumur hidupmu, dengan sendirinya hidungmu akan jadi lebih peka. Mawar, lili,
anggrek, krisan, bahkan bau parfummu yang bersesakkan dengan bunga-bunga ini.
Aku bisa merasakanya.”
Aliya tak punya
kemampuan seperti orang normal yang dapat melihat wajah seseorang. Baginya, hanya
suara dari ucapan yang bisa membedakan orang yang satu dengan yang lain. Ia
sebal karena harus menunggu orang lain berbicara untuk tahu ada orang di
dekatnya.
Namun Aliya telah
menemukan cara dengan menajamkan indra penciumannya. Setelah lama mengandalkan
hidung untuk mengenali jenis-jenis bunga yang dijualnya, ia juga menyadari
bahwa setiap manusia memiliki bau yang berbeda.
Beberapa orang yang
datang ke tokonya memakai parfum beraroma chyper, citrus, floral, woody,
fruity, maupun kombinasi diantaranya. Meskipun memakai parfum yang sama, reaksi
wangi yang bercampur dengan aroma tubuh setiap orang akan menghasilkan rasa
yang berbeda. Hidungnya sudah cukup lihai untuk membedakannya. Apalagi
seseorang cenderung tetap memakai parfum yang sama setiap waktunya.
Bila orang-orang yang
ia kenal hanya menggunakan minyak wangi yang aromanya berubah kecut jarak
beberapa jam setelah disemprotkan, Aliya masih bisa mengenalinya. Biasanya didominasi
ekstrak bunga atau buah-buahan dan masih meninggalkan bekas meski tak begitu
menyengat.
Tak sulit pula
mengenali ibunya yang bau keringat tanpa parfum atau wewangian lain sekalipun. Semua
itu mempermudah Aliya mengetahui keberadaan orang-orang di sekitarnya tanpa
melihat, mendengar atau meraba. Aliya bisa merasa sedikit normal dengan
penciumannya.
***
Jam kuno yang
menempel di dinding berbunyi empat kali. Aliya harus segera pulang sebelum
petang. Sebenarnya tak ada bedanya apakah itu siang atau malam karena tetap
saja ia tak melihat apa-apa. Namun Aliya tak suka kesunyian malam hari. Hampir
tak ada suara dan itu membuatnya merasa sepi.
Senja perlahan menyeret
mentari memasuki peraduannya. Walaupun Aliya tak mampu menerawang sinar jingga
kemerahan di langit sore, ia bisa merasakan hangat menembus kulitnya. Dari
situlah ia mengenal kata indah. Indah yang berarti kelembutan atau kehangatan
baginya.
Aliya berjalan dengan memukul-mukulkan tongkat kecil
ke bebatuan jalan. Tak tak tak. Suaranya berisik, beradu
dengan deru sepeda pancal dan obrolan pemetik bunga yang sedang bergegas pulang.
Rumahnya tak begitu
jauh dari toko. Ia hanya perlu melewati jalan sebanyak lima puluh langkah, lalu
berbelok ke kanan setelah mencium bau sedap sate bakar dari sebuah warung. Ia
harus menyusuri gang kecil dengan alas tanah yang tak rata sebelum tiba di
perkebunan mawar.
Tempat tinggalnya hanya
beberapa petak jaraknya dengan kebun mawar. Aliya mengingat itu semua tanpa
matanya. Ia juga sudah biasa pulang sendiri karena ibunya harus singgah ke
kebun lebih dulu setiap hari.
“Awas! Awas!”
“Rem-nya blong!”
“Aliya, awas!”
Orang-orang tiba-tiba
berteriak memperingatkan. Aliya mendengarnya dengan jelas. Telinganya juga
menangkap kerencang besi berkarat yang semakin dekat ke arahnya. Ia tahu kalau
sesuatu yang buruk akan terjadi bila ia tetap berdiri di sana. Namun ia juga
tak tahu ke arah mana ia harus menghindar. Ke kiri atau ke kanan? Bagaimana ini?
Orang-orang semakin
histeris, khawatir bila sepeda yang hilang kendali itu benar-benar menabrak Aliya.
Kemudian dengan sigap sebuah tangan menarik lengannya lalu menangkap tubuhnya
yang hampir terjatuh.
Aliya yang masih
terkejut mulai mengatur napasnya. Beberapa detik kemudian, buru-buru ia
lepaskan tubuhnya dari dekapan tangan seorang pria.
“Leon?!” ucapnya
dengan yakin.
Leon terheran-heran,
benarkah Aliya dapat mengenali dirinya hanya dengan aroma parfum yang ia pakai
atau bau tubuhnya.
Aliya
berubah sikap. Ia yang menyambut Leon dengan tawa tadi pagi kini menjadi marah.
Sebenarnya sudah sejak lama ia ingin menghujat Leon dengan berbagai pertanyaan
yang gamang berputar-putar dipikirannya.
“Kamu mengikutiku
lagi? Apa aku begitu menyedihkan sehingga kamu selalu membantuku seperti ini?” Aliya
tiba-tiba menangis dan ini pertama kalinya Leon melihat gadis itu bersedih.
Memang benar
diam-diam Leon
selalu mengikuti Aliya. Dari jauh ia memerhatikan dan hanya mendekat bila gadis
itu mengalami kesulitan. Kadang ia berpura-pura sebagai tukang angkut bunga, mengubah
suara mirip kakek-kakek atau menjadi pembeli lain.
Dia kira Aliya tak
akan tahu karena gadis itu tak bisa melihat wajahnya. Namun Aliya memiliki
caranya sendiri untuk mengenali sesorang. Leon baru menyadarinya hari ini dan Aliya
sudah menyadari keberadaannya sejak lama.
“Bukan seperti itu.” Leon
mencoba menjelaskan.
Aliya bersabar
mendengarkan alasan Leon yang berputar-putar. Ia hanya tidak mengerti apa niat Leon
sebenarnya. Pria asing yang tiba-tiba datang ke tokonya dan membeli satu ikat
mawar setiap akhir pekan, sesuatu yang pernah dilakukan
seorang pria dari masa lalu.
Leon selalu
mengingatkannya pada aroma cypher pria yang mencampakkannya itu. Rasa sakit
masih membekas sejak pria itu meninggalkannya tanpa kabar. Tidak mengucapkan
kata-kata perpisahan atau setidaknya sebuah alasan yang masuk akal. Padahal
baru pertama kali itulah Aliya merasakan jatuh cinta, perasaan yang sulit ia
dapatkan.
Leon memang memiliki
aroma lain. Wangi oakmose sebagai base
notes parfum yang biasa dikenakan Leon memunculkan aroma khas ketika bereaksi dengan bau
tubuhnya. Wangi yang membuat Aliya merasa hangat berada di dekatnya.
“Aku senang kamu datang setiap akhir pekan. Tapi tidak
dengan semua kepura-puraanmu. Apa tidak cukup kamu
membantuku membawa keranjang, mengantarkanku yang tersesat dan semua hal yang
sudah kamu lakukan untukku. Apa kamu kira orang buta sepertiku tak bisa
melakukannya sendiri?!” balas Aliya.
Leon menghela napas.
Ia ragu untuk mengatakan kebenaran. Tapi situasi ini menyudutkannya. Ia tak mau
Aliya terluka. Namun ia juga tak ingin bila Aliya membenci dirinya. Gadis itu, Leon
tak bisa melepaskannya.
“Aku peduli padamu.
Aku tidak ingin kamu terluka,” jelas Leon.
Mata Leon hanya
tertuju ke satu arah tanpa berkedip. Walau tak bisa melihat kejujuran yang
dipancarkannya, namun Aliya bisa mengenali getar suara yang keluar dari
kerongkongan pria itu. Ketulusan yang mengalun dalam ucapannya.
Tapi tetap saja
jawaban abstrak itu membuat Aliya takut. Ia belum bisa mencerna dengan jelas arti
kata-kata yang terdengar di telinganya. Menurutnya, semua hanyalah harapan
palsu yang ditujukan pada seorang gadis buta yang cara berjalan saja harus
meraba-raba udara.
“Bukankah kamu sudah
memiliki seseorang yang kau berikan mawar? Lalu apa maksudmu peduli padaku?
Memangnya siapa aku bagimu?” Aliya takut akan merasakan sakit lagi. “Kalau kamu
terus berbuat baik seperti ini, aku tak punya pilihan selain bergantung
padamu,” lanjutnya sambil terisak. Ia cepat-cepat mengusap tetesan air di
matanya.
Sebuah harapan
seperti ini telah membuatnya jera. Ia tak mau jatuh cinta pada siapapun karena
pada akhirnya ia hanya akan ditinggalkan. Tidak pada lelaki dari masa lalunya
atau Leon yang mulai memberinya harapan.
“Jadi, kalau kamu
hanya datang untuk pergi, aku minta kamu jangan menemuiku lagi,” tegasnya
dengan perasaan hancur berkeping-keping.
***
Aliya meraba-raba
nisan di sampingnya. Sumber cahaya yang ada hanyalah temaram bintang dan lampu
sorot mobil Leon yang sengaja dinyalakan. Semua itu tak ada pengaruhnya untuk Aliya.
Ia hanya terdiam. Pemakaman itu hening layaknya kuburan di malam hari. Suara binatang
malam bersahutan dengan desir angin yang membawa hawa dingin.
Tak ada erang tangisan
dari gadis yang masih meringkuk di tanah itu. Sesekali, Leon hanya mendengar
isakkan lirih.
“Kakak sakit ketika
masih remaja. Dokter bilang sudah tak ada harapan. Namun sejak bertemu
denganmu, semangat hidupnya membuat kami, keluarga dan dokter heran.
Keinginannya untuk hidup mampu melawan penyakit yang melemahkan raganya.”
Leon mengambil jeda. Suasana
di sekitarnya kembali hening sebentar.
“Dia memintaku untuk
membeli mawar darimu selama dirawat di rumah sakit. Ia tak bisa meninggalkanmu
sendirian tapi dia juga tak bisa berbuat apa-apa. Lalu aku mengenalmu lebih
dekat dan aku mengerti kenapa kakak bisa bertahan selama itu. Semuanya
karenamu.”
Aliya masih terisak lirih, perlahan suaranya semakin
jelas. Leon juga tak mampu membendung air di kelopak matanya. Semua tumpah
seiring suasana yang senyap memilukan.
“Mawar itu untuk
kakak,” tambah Leon.
Aliya mencium aroma
mawar di atas gundukan tanah. Kelopak bunga yang dirangkainya tadi siang itu mulai
terlepas dari tangkai. Namun wanginya masih semerbak memberikan rasa nyaman.
***
Satu
tahun yang lalu…
“Aliya,” pria itu
memanggil gadis yang sedang asik menghidu mawar di sekitarnya. “Aliya! Apa kamu
mendengarku?” panggilnya sekali lagi agar diperhatikan.
“Iya, aku mendengarmu
bahkan ketika kamu hanya berbisik,” jawab Aliya santai sambil tetap menghidu mawar.
“Kalau ada seseorang
yang mendonorkan mata untukmu, apa kamu akan senang?” Pria itu sudah lama ingin
menanyakannya. Sisa hidupnya tak akan lama lagi dan dia ingin gadis yang ia
cintai bisa melihat dunia dengan mata miliknya. “Bukankah kamu penasaran
seperti apa sinar kemerahan yang membuat kulitmu terasa hangat?”
“Aku tidak mau.”
Aliya masih menjawab dengan santai. Satu lesung pipit tenggelam di sudut
bibirnya.
“Tidak mau? Kenapa?”
“Ini!” Gadis itu
menyodorkan satu tangkai mawar yang baru saja dipetik dari kebun. “Ciumlah.
Bukankah aroma mawar ini menenangkan pikiranmu?”
Aliya kemudian
meraba-raba udara hingga menemukan tangan pria di depannya. Ia menarik tangan
itu dan memberikan tangkai mawar di telapaknya. Sementara itu, pria di
hadapannya masih bingung dengan maksud Aliya melakukan hal tersebut.
“Wangi mawar ini menenangkan
dan kau bilang warnanya juga indah, namun duri di tangkai ini menyakitkan.
Jemariku berkali-kali berdarah karenanya.” Aliya mulai menjelaskan.
“Sama seperti senja
dan semua isi dunia yang kau bilang itu. Memang terdengar indah, namun aku juga
tak tahu seberapa besar sakit yang akan kurasakan jika melihatnya dengan mata.”
Aliya mengambil napas panjang. “Aku lebih suka seperti ini. Aku hanya suka
menghidu mawar. Aku sudah cukup bahagia dengan merasakannya, tanpa harus
melihat,” jelas Aliya.
Pria itu tertegun.
Kemudian ia memejamkan mata dan menghidu mawar yang telah berpindah ke
tangannya. “Kalau begitu, suatu hari nanti aku akan mengirim seseorang untuk
menjadi matamu. Seseorang yang aku yakin bisa membuatmu merasakan keindahan
dunia tanpa melihatnya dengan mata.”
***END***
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete