Kakiku letih, sepertinya memar akibat lari menghindari
keributan tadi. Orang-orang itu berusaha menangkapku hidup-hidup. Kesurupan
atau entah apa yang ada dalam pikiran mereka. Yang kudengar, aku bisa membawa
berkah. Bahkan salah satu diantaranya berhasil mencengkeram leherku. Aku tercekik.
Untung saja aku gesit melontarkan diri dan meloncat tinggi.
Wuss……
Secepat angin aku melarikan diri.
Tenang saja, aku bukan buronan atau copet yang
dikejar-kejar massa. Aku memang tak seperti kalian. Tapi percayalah, aku bukan
penjahat. Aku hanya terjebak dalam kisah dua manusia yang menjadi bodoh demi
mempertahankan perasaannya. Aku, yang akhirnya berhasil kabur, malah kembali
lagi ke tempat ini, kehadapan mereka.
***
Kupandangi sekitarku. Pegunungan dengan kayu jati,
oniek dan bongkahan batu putih yang berubah rupa menjadi kuda, lembu, meja,
kursi, bahkan lampu gantung itu, semuanya sama. Jalan berliku ini pun sama. Dan
ketika aku menoleh kebelakang…
Hwaaaaa… Mandek! Ojo nabrak aku![1]
Aku
berteriak keras. Sangat keras, hingga menyadari bukan kata-kata itu yang keluar
dari mulutku. Tentu saja aku tahu siapa diriku. Jangankan sebuah kalimat,
bahkan aku hanya bisa melafalkan satu kata saja.
“Meong… Meong…”
Aku juga tahu kalau sopir truk pengangkut marmer yang
menyembulkan kepalanya keluar jendela itu tak mengerti maksudku. Ia mengumpat
dan mengutukku sebagai kucing sialan. Ya, tapi itulah diriku. Lalu aku memilih
pergi ketimbang memaksa manusia itu untuk memahami maksudku.
Aku tak mengerti kenapa aku bisa sampai disini.
Kaki-kakiku hanya asal melangkah. Namun akhirnya kembali membawaku ke kali besar
ini. Neyama, tempatku memandang senja bersama seorang gadis setiap hari. Tentu saja dia bukan sepertiku. Gadis itu adalah
pemilikku sebelumnya. Ah, baru saja aku kabur dan kini sudah merindukannya,
gadis bodoh itu.
***
“Hey, apa kamu
tidak merindukanku,” ucapnya sambil mengacak bulu-bulu dikepalaku. Dia kira itu
menggemaskan dan membuatku tampak lucu. “Kamu pikir aku tak mengenalimu ya?!
Tentu aku ingat. Bulu hitam diekormu ini masih tetap sama. Tunggu! Sepertinya
bertambah lebat. Apa tumbuh beberapa helai lagi ya?! Kamu juga semakin gemuk.”
Haish… Aku benci pada diriku sendiri.
Kenapa aku terlahir dengan warna putih bersih kecuali ekorku yang berwarna
pekat. Dan pria ini sungguh senang mengataiku si ekor legam, seperti tersengat
matahari katanya. Pria inilah yang dulu juga bersamaku menikmati senja di
Neyama. Ah, masih lekat pula kenangan-kenangan itu dalam pikirannya.
Mungkin takdir yang mempertemukanku lagi dengannya dan
juga Hesti. Gadis itu kini tengah berdiri dibelakangnya. Benarkah ini takdir?
Atau keajaiban senja di Neyama?
Arip-nama pria itu, menoleh lalu mengikutiku yang
berlari mendekati Hesti. Aku bermanja-manja di kaki gadis yang kini mematung
memandang sosok di depannya. Mereka hanya saling pandang. Padahal aku tahu
jelas bahwa rindu di benak keduanya tengah membuncah. Rindu yang tertahankan
selama tiga tahun ini berakhir dengan sendu. Namun, apa yang pria itu lakukan.
Untuk menggapai tangan Hesti saja jemarinya gemetar.
“Kudengar, kamu masih datang ke sini untuk menikmati
senja?” tanyanya ragu.
Aku tahu, hanya aku yang paling tahu betapa Hesti juga
merindukan pria itu. Bahkan tak sekalipun senja di Neyama ia lewatkan. Ia yakin
senja itu akan menyimpan setiap rasa rindunya pada sang kekasih. Tapi…
“Ya, aku masih kesini setiap hari. Menunggu seperti
orang bodoh. Tapi hari ini adalah senja terakhirku di sini. Aku tak akan datang
memandang senja lagi. Karena besok…aku akan menikah.” Setitik air merembes
melalui celah kelopak matanya yang tipis.
Aku muak dengan perasaan mereka. Untuk apa memendam
rasa cinta yang akhirnya justru saling menyakiti keduanya. Kalau saja aku bisa
bicara bahasa manusia, akan kuluruskan kesalahpahaman mereka.
***
Sebulan yang lalu…
“Kumohon, Pak’e. Biarkan si Manis tinggal disini.” Si
Manis, itulah namaku.
“Tidak! Aku sudah menyetujui agar dia!,” sambil menunjukku.
“ikut ritual manten kucing.”
Aku hanya tertunduk dengan menyilangkan kaki depanku yang
berselonjor ke depan. Lebih baik aku diam dari pada mengeong lalu membuat pak’e
semakin geram. Percuma juga Hesti membantah. Pak’e adalah orang yang keras.
Sudah sejak dulu ia ingin mengusirku dan kini ia menemukan alasan yang tepat
untuk membuangku ke jalan. Baginya, melihatku sama saja melihat si kunyuk Arip
itu.
Begitu mendengar ritual rutin setiap tahun untuk
meminta hujan itu akan dihelat, bapak langsung menghibahkanku kepada desanya untuk dipasangkan dengan
seekor kucing jantan dari dusun lain. Kami, aku dan si jantan itu akan dikurung
dalam keranji lalu di kirap keliling desa.
Seperti layaknya pesta yang meriah. Nantinya orang-orang
akan berdandan dengan pakaian tradisional. Pemain Reog Kendang, Langen Tayub,
kesenian Tiban[2],
para pini sepuh dan pemangku adat tradisi manten kucing juga segera mempersiapkan
diri.
Memang sudah beberapa bulan ini langit tak pernah
mendung. Setetes airpun belum juga turun. Bahkan sawah-sawah kering kehausan
dan terancam puso[3].
Masyarakat desa, termasuk meyakini bahwa tradisi temurun peninggalan Eyang
Sangkrah yang mandi di Telaga Coban ampuh untuk mendatangkan hujan. Buktinya,
setelah Eyang Sangkrah memandikan Condro Mowo[4] di
telaga keramat itu, tak lama berselang hujan deras mengguyur desa.
Sebenarnya aku tak begitu peduli dengan tradisi itu.
Aku juga tak masalah bila harus dipaksa mandi dalam air Coban. Setidaknya berkat
ritual itu, nantinya aku bisa lari dari rumah. Meski pada akhirnya aku akan
kembali ketempat yang sama.
“Tapi pak!
Manis itu…”
“Kucing itu hanyalah penghambat perasaanmu saja.
Seharusnya sudah kamu buang dia bersama perginya si kunyuk itu.” Arip
maksudnya. “Ingat nduk, kamu sudah sisetan[5].
Bulan depan kamu akan resmi menikah dengan Suryo. Jadi sudah lupakan saja semua
tentang lelaki itu!”
Hesti meringkuk di kamar. Ia menyelimuti
kepalanya dengan bantal, berharap tangisnya tak terdengar dari luar. Aku ikut merebahkan
diriku dibantalnya sambil menggoyang-goyangkan ekor. Andaikan aku bisa
menepuk-nepuk pundaknya seperti biasa ia mengelus kepalaku. Aku ingin menyeka
air matanya.
Aku masih ingat, waktu itu aku terlantar hampir mati. Tubuhku
yang mungil kuyup terseret arus tenang Neyama. Untung saja Arip mendengar
teriakan Hesti yang meminta tolong. Lalu mereka menjulurkan sebatang cabang
pohon yang retak ke arahku. Hesti menyelimutiku dengan kain kerudungnya. Sejak
saat itulah, aku dan mereka sering bertemu di waktu senja, di Neyama. Kami
sering bermain bersama di pinggir kali besar itu.
***
Setahun yang lalu…
Hesti, gadis bertubuh ceking dengan kulit bersih itu adalah
seorang kembang desa. Beberapa lelaki bujang datang melamar. Namun, hati itu
tetap terkunci. Ia menolak setiap yang membawa ketulusan ataupun hanya sekedar
mengejar paras ayunya. Sebanyak itu pulalah ia selalu bertengkar hebat dengan
bapaknya.
“Pikirkanlah, Nduk. Sudah waktunya kamu menikah. Bapak
juga sudah tak punya hati untuk menolak lamaran mereka. Apa kata orang tua
mereka bila kamu terus-terusan seperti ini.”
Kali ini, bapak merendahkan suaranya. Bahkan aku
hampir tak mendengar dari pawonan. Suaranya berbisik dan aku juga sedang asik
menyesapi aroma tulang pindang.
“Maaf, pak’e. Hesti ndak bisa. Hesti sudah
terlanjur berjanji untuk menunggu…”
“Sudah!!! Jangan ungkit tentang kunyuk itu
lagi.” Bapak berteriak. Spontan aku terperanjat. Ujung lancip eri
pindang itu hampir saja menusukku. “Untuk apa kamu menunggu lelaki yang minggat entah kemana itu. Sudah hidup
tidak jelas sekarang malah menghilang tak keruan. Kamu minta satu tahun, bapak
berikan kamu kesempatan dua tahun. Apa yang kamu harapkan dari pendusta itu
lagi?!” tambahnya, semakin meninggikan suara.
Hesti menunduk. Seperti biasanya, hanya mulut hesti yang
terkunci yang
bisa meluapkan emosi sang bapak serta menjadi cara ampuh untuk segera
meredamnya.
“Bapak tidak akan membiarkannya lagi. Kali ini, mau
tidak mau kamu harus menikah dengan Suryo. Bapak sudah menerima lamarannya
kemarin.”
“Tapi, Pak! Ini hidup Hesti. Hesti hanya
ingin menikah dengan orang yang Hesti cintai,” rengeknya mengharap iba.
Matahari mulai menggelayut turun. Hesti membawaku ke
Neyama. Ia menangis sejadi-jadinya di sana. Orang-orang memandangi kami, cemas
dan takut. Mungkin berfikir kenapa seorang gadis menangis di dekat kali besar
ini. Hesti tak peduli, apalagi aku. Kuanggap mereka hanya angin lalu. Sementara
itu, senja mulai tiba, mengantar mentari keperaduannya.
Kalian tahu, apa yang kusuka dari senja di Neyama?!
Ya, nama pemberian Jepang itu lebih terkenal daripada Tumpak Oyot, nama
lokalnya. Ada sebuah cerita ketika Terowongan Tulungagung Selatan ini sedang
dibangun dulu. Sepasang kekasih sering bertemu di sini. Ketika senja tiba, si
perempuan menunggu kekasihnya yang seorang penggali jalur air banjir ke laut. Ia
terus menunggu hingga senja diusir oleh gelap malam. Ia yakin bahwa kekasihnya
akan datang seperti hari-hari sebelumnya. Kemudian seseorang memberitahu bahwa
kekasihnya telah tewas.
Perempuan itu masih tak beranjak dari tempatnya hingga
senja keesokkan harinya tiba. Dalam senja yang indah dengan warna semunya yang
bercermin di air, perempuan itu mengakhiri hidupnya menyusul kekasihnya yang
lebih dulu menghampiri pemilik senja. Tepat saat upacara pengaliran air
pertama, mengalir pula cinta abadi mereka. Cinta yang terabadikan oleh senja.
Itulah versi lain romeo Juliet di Neyama.
Tiga tahun yang lalu…
Sore harinya…
Senja adalah kata bermakna keindahan. Lebih dari enam
ratus senja mereka lewati bersama. Entah senja yang sempurna, atau senja yang
bermain-main dengan awan kelabu. Kadang senja berdiam cukup lama, namun kadang
juga singgah sebentar untuk sekedar menyapa penikmatnya.
Senja di Neyama, yang menjadi saksi gelak tawa mereka,
bahagia, sedih, pertengkaran, kecemburuan dan kisah-kisah lain yang
mewarnainya. Hesti tak menyangka bila senja kali ini akan menjadi awal dari senja terakhir mereka.
“Sudah aku bilang aku tidak meminta mahar apa-apa.
Yang aku inginkan hanyalah ketulusanmu, mas. Dan aku tahu kamu sudah memiliki
itu. Jadi berhenti untuk memintaku merelakanmu pergi. Bukankah kita berjanji
kalau kemiskinan dan mitos warga desa itu tak akan menghalangi kita.”
Hesti merajuk. Restu dari keluarga belum di dapat. Dan
sekarang malah harus berbesar hati untuk membiarkan sang kekasih pergi. Apalagi
ia pamit untuk ke negeri seberang. Batin mana yang akan sanggup ditinggalkan
sejauh itu.
“Tapi aku tetap harus pergi. Ini demi masa depan
kita.” Pria itu berusaha membujuk meski tahu bahwa gadisnya tak mudah dirayu.
Sesungguhnya bukanlah mahar yang jadi persoalan.
Hesti-pun juga tak masalah dengan pekerjaan Arip yang seorang kuli marmer.
Mereka tak pernah menyoalkan masalah strata atau harta. Namun, kepercayaan
warga yang melarang keduanya bersatu. Bapak menolak hubungan itu karena Arip
berasal dari desa yang sama dengan menantu pertamanya. Sesepuh desa
berkali-kali memperingatkan agar menjauhkan anaknya dari siapapun yang berasal
dari sana.
Ah, aku memilih bermain bersama kambing-kambing
berbulu tebal di antara rerumputan lebat. Mereka mengajakku berlarian. Mentari
yang mulai bersembunyi di balik gunung Tanggul bercermin di air yang bergerak
pelan. Aku menikmati pantulannya lalu ketika aku kembali, Hesti telah menentukan
pilihannya.
“Aku berjanji, satu tahun lagi aku akan datang
melamarmu. Kita akan hidup bersama seperti impian yang sudah sering kita
bicarakan. Kita akan bahagia dan menghabiskan waktu senja di sini hingga kita
tua,” ucapnya mantap. Hesti-pun yakin dan menyandarkan kepala di pundak
kekasihnya.
Senja mendamaikan keduanya. Dalam senja itulah yang
nantinya akan menjadi keputusan yang mereka sesali selamanya. Keputusan untuk
pergi dan keputusan untuk membiarkan pergi.
***
Pagi
harinya.…
“Rungokken, Le…
Kowe mesti eruh opo sing bakal kedaden lek kowe tetep nekat neruske niatmu.
Bapak ora wani mbalekne mantu.[6]”
Suaranya serak menasehati. Seorang lagi, sesepuh desa yang
juga merupakan kakek Hesti ikut angkat bicara. Dia berusaha memberikan jalan
keluar. Katanya, kalau Arip bisa membangun sebuah rumah di desa lain lalu
tinggal di sana, maka tidak ada kepercayaan
yang akan menghalangi hubungan mereka.
Jangankan membeli tanah dan membangun rumah, gubuk
peninggalan bapak ibuknya saja kini tak terawat. Anyaman bambu sebagai sekat
ruangannya yang berlubang belum sanggup ia betulkan. Lalu bagaimana caranya
membangun rumah gedong untuk tinggalnya dengan Hesti kelak.
“Aku duweni
kenalan wong Singapura. Wong sing biasane nukoni marmer neng kene. Meluo
dewek’e Le. Meluo![7]”
pinta bapak pada Arip yang seolah memberikan
jalan terang.
Namun, jalan keluar yang diusulkan itulah yang
sebenarnya menjadi awal mula perpisahannya dengan Hesti. Mau pindah kemanapun, asal usulnya
tetap sama, tak bisa dirubah. Masalahnya, menantu pertama bapak Hesti juga
berasal dari sana, dan beliau tak mau mengambil resiko untuk melanggar mitos
desa.
Semuanya hanya alibi yang telah direncanakan dengan
matang untuk mendepak Arip pergi dan mencegahnya kembali. Persis sama seperti
yang mereka lakukan untuk mengusir dan memisahkanku dari Hesti dikemudian hari.
***
# Cerpen ini pernah diikutkan lomba menulis FBM2015
Picture: http://wallpaperswide.com/cute_white_cat-wallpapers.html
[1] Berhenti! Jangan menabrakku!
[2] kesenian yang menggunakan cambuk yang terbuat dari lidi pohon aren
yang dipilin sebagai alatnya. Biasanya dilakukan untuk ritual meminta hujan.
[3] Gagal panen
[4] Nama kucing milik Eyang
Sangkrah yang dimandikan di Coban pertama kali.
[5] ; lamaran
[6] Dengarkan, nak… Kamu pasti tahu apa yang akan terjadi kalau kamu
tetap melakukan niatmu. Bapak tidak berani menikahkan anak dengan orang dari
desa yang sama dengan menantu pertamaku ( mbalekne)
[7] Aku punya seorang kenalan dari Singapura. Dia yang biasanya
membeli marmer di sini. Ikutlah dengannya. Ikutlah dia!
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete