Sahabat sejati itu saling mengerti sampai ke hati
#Teenlit #Friendship
Aku berhenti sejenak
untuk melihatnya, gadis berkulit putih
yang mengenakan seragam merah pekat. Warna serasi dengan topi kecil yang
lebih berfungsi sebagai penghias kepala itu. Ia keluar dari rumah dengan langkah kaki yang
anggun. Rambut pendeknya terjepit rapi kebelakang. Ia melirikku sebentar.
“Selamat sore kak
Lea.”
“Sore,” jawabnya
singkat sambil mengenakan pantofel hitam di ujung teras. “Jean, masuk saja,
Rena ada kok di dalam,” tambahnya lalu membetulkan letak tas yang hampir
terjatuh karena terlalu membungkuk.
“Kak Lea mau
berangkat ya?”
“Iya Je.”
Senyumnya tipis berbalut lipstik merah muda. “Ren, kakak berangkat dulu ya. Ini
Jean sudah datang, suruh masuk dulu,” teriaknya agak keras pada Rena, adiknya.
“Iya Kak,” jawab
Rena dari dalam.
Aku mengalihkan
pandangan dari kak Lea yang sudah menghilang dengan taksi birunya. Rena muncul mengenakan
rok a-line sambil menenteng dua buku tebal dan sekotak alat tulis di
atasnya. Kusodorkan kantong plastik berisikan susu kedelai hangat buatan ibuku pada
Rena. Kami kemudian duduk di lantai seperti biasa dan mulai belajar.
***
Hari ini hari
terakhir ujian akhir nasional. Otakku sedikit tersendat merangkum semuanya,
terutama pelajaran kelas satu yang sebagian besar sudah terhapus dari memori.
Rasanya organ kecil di kepalaku tak mampu menampung seluruh materi yang dua
minggu terakhir kulahap habis bersama Rena. Rena mungkin bisa melakukannya
lebih baik, ia selalu dapat nilai bagus di kelas. Tapi efek susu kedelai yang ia
bilang bisa meningkatkan daya ingat otak itu sepertinya tak mempan padaku.
Tapi aku tak
bisa menyerah sekarang. Aku tak mau menyesal karena mengabaikan ujian akhir ini.
Kutarik kerudungku kebelakang. Aku raut lagi pensil yang sudah tumpul agar bisa
membuat lingkaran sempurna di lembar jawaban.
Tiga puluh menit
berlalu, bel tanda waktu selesainya ujian berbunyi. Semua merapikan lembar soal
dan jawaban di atas meja. Aku mengemas alat tulis dengan lega meskipun rasa
gugupku atas soal-soal tadi masih belum sepenuhnya hilang.
“Ren. Tunggu!” Aku setengah berlari
menghampiri Rena.
“Gimana tadi?”
todongnya dengan pertanyaan.
“Beberapa aku
nggak paham, tapi yah,” decakku sebal. “kujawab sebisannya.”
“Hay!!!” Rehan tiba-tiba muncul dan
menepuk pundakku.
“Ih, apa-apaan
sih, jangan pegang-pegang,” sentakku yang merasa risih dengan kelakuan jahilnya.
“Ah, cuma gitu
aja marah, nggak akan dosa kok. Masih dibatesin sama baju kamu itu tuh. Nggak
nyentuh kulit kan?”
“Sok tau aja
tentang dosa, emang tadi udah solat subuh?” sergahku berbalik memojokkannya. Rehan
menggaruk kepala plontosnya yang tidak gatal.
“Eh, tau nggak aku
tadi hampir kehilangan dua poin berharga. Aku ingat itu pelajaran kelas dua, tapi
aku…ah, untung saja dipenghujung menit aku bisa mengingatnya.”
“Ce’ileee…dipenghujung
menit? sok dramatis deh,” sahut Rehan.
“Ye…beneran tahu!
Setiap soal itu berharga, apalagi ujian nasional seperti gini. Kalau dapat
nilai bagus kan bisa jadi pramugari dengan mudah, bukankah begitu, Je?”
“Yups, betul, bu guru yang satu ini pinter
banget sih…termasuk pinter dan hebat urusan berbohong,” sahutku.
Rena berjanji memberiku
formulir pendaftaran JR Airline School yang dibawakan kak Lea, kakaknya yang
dulu juga pernah sekolah pramugari di sana. Aku ingin menjadi seperti dia,
sosok wanita karir yang mandiri dengan perkerjaan yang bisa membawanya keliling
Indonesia, bahkan dunia. Meski hanya pendatang di Jakarta, tapi mereka
menunjukkan bahwa kualitas mereka tak kalah dari banyaknya orang yang sama-sama
mengadu nasib di ibukota.
“Bohong apa?”
Rena pura-pura lupa.
“Tuh kan, kamu mah
sengaja lupa,” jawabku sebal.
“Lupa? Maksudmu
ini?” Rena mengeluarkan sebuah map merah dari dalam tas lalu
mengiming-imingkannya di depan mukaku.
Perlahan kulepas
wajah masamku dan menggantinya dengan senyum. Aku menoleh dan mencoba merampasnya
dari tangan Rena. Ia malah mempermainkanku dengan menyembunyikan map itu di
belakang tubuhnya. Aku berdiri tegak sambil
meletakkan tanganku yang mengepal ke pinggang, kubesarkan mata dan
menatapnya dalam hingga ia mengangkat tangan.
“Oke…oke aku
menyerah. Ini!”
“Apaan sih itu?”
sela Rehan yang tanpa sadar teracuhkan.
“Mau tau saja,”
jawabku singkat setelah memasukkan map itu ke ransel. “Oh iya, setelah lulus
kamu ngelanjutin kemana Han?” alihku pada Rehan.
“Kemana ya?! Hm…kehatimu
boleh nggak?”
“Yeee…ni anak
malah bercanda.” Rena memecahkan angan-angan Rehan dengan memukul pelan
kepalanya, aku hanya tersenyum menanggapi.
“Leganya sudah
melewati masa SMA. Tiga tahun yang sangat menyenangkan. Aku pasti akan sangat
merindukan kalian setelah lulus nanti,” ucapku.
“Jangan begitu,
kita kan masih bisa satu tempat sekolah lagi setelah ini.”
“Aku pasti
kesepian tanda bidadari-bidadari seperti kalian,” sahut Rehan.
“Bidadari
kepalamu gundul.” Rena memukul kepala Rehan sekali lagi. “Ujian kamu aja belum
tentu lulus. Kalau kita kan sudah pasti lulusnya.”
“Aw…,” rintih
lelaki sok keren yang sudah menjadi sahabatku sejak SMP itu. Ia mengelus
kepalanya yang kali ini terasa pening.
***
Beberapa minggu berlalu,
cuaca masih panas seperti biasa. Ini lebih baik daripada ketika musim hujan. Walau
tak sampai selutut, tapi aku benci ketika banjir kiriman dari Bogor meluap dan
memaksaku menenteng sepatu. Meski begitu, musim hujan atau panas, ibukota tetap
sesak. Sebagian besar jalanan dikuasai makhluk bermesin.
Pagi ini, aku
dan Rena memilih busway agar tak perlu bersaing dengan kendaraan lain.
Meski sering kali dibuat marah karena jadwal yang molor, tak ada pilihan yang
lebih baik. Naik taksi juga tak pernah. Kami lebih memilih menyisihkan uang itu
untuk biaya masuk sekolah pramugari yang memang tak sedikit. Untuk jalan kaki
atau naik sepeda seperti yang dilakukan warga Jepang nampaknya juga tak efektif
diterapkan di sini.
Rena juga pernah
trauma ketika mencoba naik bus umum. Ia hampir terjatuh waktu itu. Belum sampai
badannya masuk ke bibir pintu bus, si sopir sudah melajukan bus-nya. Untung
saja dibantu kernet yang selalu stay di dekat pintu.
Kulihat ratusan calon
murid baru antusias memasuki gerbang besi ber-cat merah tua ini, begitu pula
aku dan Rena yang baru saja sampai. Hatiku berdebar kencang menelusuri setiap
deret nomor yang terpajang di papan pengumuman. Aku memulai dari nomor terakhir
dan Rena sebaliknya. Bukan pengumuman kelulusan, kami sudah dipastikan lulus beberapa
minggu lalu. Rena menjadi lima besar terbaik di sekolah.
484…
484… 484… 484… ucapku dalam hati.
Tiba-tiba
senyumku mengembang, Diantara desakkan orang-orang yang bahagia dan lebih
banyak yang kecewa, nomer pesertaku tertulis disana, aku lolos. Yes!!! Aku
lolos!!! Kutahan bahagiaku dan segera menggeser telunjukku mencari nama Rena
Maulida. Tidak kutemukan hingga ujung jariku bersentuhan dengan telunjuknya.
“Bagaimana?”
Aku menggeleng,
aku bingung. Bagaimana mungkin ini terjadi? Bagaimana bisa aku lolos sementara
Rena tidak? Hatiku gundah penuh tanda tanya. Rena tak percaya dengan jawabanku
lalu ia melanjutkan ke angka berikutnya yang sudah aku telusuri. Aku mematung
dan hanya bisa menatapnya sedih. Ia pun tampak kecewa ketika tangannya berhenti
di nomor terakhir.
Rena keluar dari
kerumunan beberapa detik kemudian, tubuhnya lemas. Peluhnya mengilau tertimpa
sinar mentari yang mulai meninggi. Aku menghampiri dan memeluknya, kurasakan
sakit itu menjalar dalam tubuhku. Air mataku yang terbendung di ujung kelopak
akhirnya tumpah. Kubasahi seragam putihnya yang masih wangi.
Selama ini kami
sudah berjuang bersama agar bisa masuk tempat ini. Menjadi pramugari adalah
cita-cita Rena sejak kecil, juga cita-citaku. Kami selalu berandai bila suatu
hari nanti kita akan pergi ke banyak tempat di Indonesia, keluar dari Jakarta
yang tak pernah hening ini. Terbang. Merasakan keindahan dari langit.
“Lepaskan!” Rena
mendorongku.
Aku terlempar
setengah meter ke belakang.
“Ini nggak
mungkin…nggak…nggak mungkin.” Rena tampak bingung. “Bagaimana mungkin?!”
peluhnya mengalir lebih deras.
“Ren,” kuraih
kedua tangannya.
“Lepas!!!”
bentaknya lagi. “Bagaimana bisa?! Kamu?! gadis sok alim sepertimu bisa lolos
sementara aku tidak! Nggak mungkin!! Ini pasti salah, Ini salah!!! Nilaiku yang
lebih bagus kenapa malah kamu yang diterima?!” sambil memasukkan jemarinya ke
rambut lalu meremas kepalanya dengan kuat.
“Apa maksudmu
Ren?”
“Orang-orang
juga tau kalau kamu nggak pantas jadi pramugari. Tinggimu minimal, kamu juga
nggak pintar, dan…dan bahasa Inggrismu juga nggak lebih baik dariku. Kamu
juga…”
Aku menampar
pipinya.
Aku tak percaya
dengan apa yang baru saja kudengar. Spontan telapak tanganku mengarah padanya begitu
saja. Sahabat yang selama ini kupercaya, dimana kami menerbangkan impian bersama,
tak pernah kusangka ia bisa mengeluarkan kata-kata menyakitkan itu.
Aku tak pernah
peduli dengan ejekkan orang lain yang mematahkan semangatku untuk menjadi
pramugari. Hampir semua teman-temanku bilang aku terlalu pendek untuk menjadi
pramugari, apalagi aku memakai kerudung. Tidak mungkin aku bisa menjadi
pramugari, kata mereka. Tapi aku mengacuhkan semua itu.
Namun ketika
semua cacian itu keluar dari mulut sahabatku, yang selama ini menjadi
satu-satunya orang yang mendukungku, aku marah. Aku kecewa padanya. Sejenak aku kaku, air mataku berhenti namun
hatiku terasa lebih basah. Ia membuang gelang persahabatan kami ke tanah lalu
beranjak pergi begitu saja.
Dengan cepat aku
menjadi lemas dan segera mencari pegangan pada pohon yang tumbuh tak jauh
dariku. Apakah salah aku diterima di sekolah ini? Apakah aku tak pantas? Kupandang
tanganku yang sudah menamparya, bergetar dan memerah. Tapi sakit di pipinya
mungkin tak akan sesakit perasaan yang aku rasakan ini. Air mataku kembali
mengalir. Kupungut gelang biru cokelat itu dan menggenggamnya erat.
Semenjak hari
itu aku tak pernah bertemu lagi dengan Rena. Aku juga tak berniat mengunjungi
rumahnya yang kini tampak sepi. Aku sadar aku egois, namun sampai detik ini aku
belum mampu menyingkirkan egoku. Seringkali aku menangis mengingatnya.
Persahabatan yang kuawali dari rasa kepedulian dianggap rendah olehnya. Tak ada
artinya lagi semua kenangan yang telah terukir sekian lama.
***
Hampir dua tahun
berlalu, aku telah lulus dari sekolah pramugari dengan predikat baik. Namun hubunganku
dengan Rena belum juga membaik. Selama itu juga aku tak pernah bertatap muka
dengannya lagi. Kudengar ia sudah pindah dari rumah yang dikontrak bersama
kakaknya itu.
“Rena,” spontan
kupanggil namanya dengan sedikit
tanya.
Ia berbalik setelah
menyerahkan amplop yang sama dengan milikku. Matanya melebar dan napasnya
tertahan beberapa detik. “Jean?!!”
Kami terdiam
lama. Jantungku berdegup kencang dan bertanya-tanya, untuk apa dia di
perusahaan maskapai penerbangan internasional ini? Apakah dia juga melamar
kerja di sini?
“Kenapa?” Rena
mendekat, menatapku nanar. “Kamu kaget aku bisa ada di sini? Kamu pikir aku sudah
menyerah?!”
“Aku nggak bermaksud begitu Ren, aku…”
“Alaaah…”
remehnya sambil membuang muka lalu kembali menatapku, lama, tanpa berkedip.
“Kamu lupa siapa kak Lea? bukan hanya tempat itu satu-satunya sekolah
pramugari. Kalau saja waktu itu tidak ada dokumenku yang tertinggal, pasti namaku
yang masuk di daftar pengumuman.”
Aku termenung,
sejenak rasa sakit yang mulai melumer itu muncul kembali, Rena belum melupakan
kejadian itu. Haruskah aku yang meminta maaf? Tapi dia yang memulai
pertengkaran itu. dia yang harus minta maaf. Pikiranku saling beradu, aku
bingung. Rena benar-benar telah berubah. Aku hampir tak mengenalnya lagi, ia
tak sama dengan sahabat yang aku kenal dulu.
***
Tanpa kuminta
kakiku melangkah ke halte busway. Sudah lama tak menginjak tempat ini
setelah lulus SMA. Aku lebih sering naik taksi sekarang. Pikiranku menjelajah
waktu ke masa lalu ketika masih bersama Rena, naik busway untuk sekolah.
Tatapan matanya
tadi…dia masih membenciku meski sudah sekian lama. Apakah dia tak merasa
bersalah atau setidaknya pura-pura bersikap baik padaku.
Angkutan khas
Jakarta itu tiba, aku mencari celah diantara orang-orang yang berdesakkan mencari
bangku kosong. Busway semakin
ramai diminati penumpang. Seorang ibu bertubuh
besar menyerobot lorong bangku hingga aku terdorong. Aku hampir jatuh namun seseorang
memegangi dan menahan tubuhku yang sudah condong ke samping.
“Kamu nggak
apa-apa?”
Suara itu terdengar
dekat di belakang telinga. Aku berdiri tegak sambil mencari pegangan dan segera
melepaskan tangan itu dariku. “Terimakasih,” ucapku sambil menunduk.
“Jean?”
Kuangkat wajah,
seorang lelaki berambut hitam rapi tersisir ke belakang mengenakan baju koko
putih sedang berdiri di dekatku. Dia mengenal namaku, namun pikiranku yang
kacau tak mampu mengingat wajahnya. Kemudian lelaki itu memperlihatkan sebuah
gelang tali yang melingkar dipergelangannya.
Aku tersadar dan
segera duduk di bangku kosong dekat jendela, lelaki itu juga mengikuti dan
menyandarkan tubuhnya di kursi sebelahku.
“A-apa apa yang
terjadi padamu, Je?”
“Rehan? Kamu Rehan?”
“Yaiyalah…masak
kamu lupa sama aku.”
“Kamu berubah. Aku hampir
nggak kenal lagi dengan penampilanmu seperti ini. Dimana kepala plontosmu yang
dicukur habis sama Pak Wakasek dulu?”
Rehan tersenyum
sambil mengelus rambutnya. “Maksud kamu beda, sekarang aku semakin ganteng dan
keren gitu?”
“Ih…kamu ini
nggak pernah berubah deh.”
“Loh, gimana
sih, Tadi katanya berubah, sekarang nggak berubah? Nggak konsisten banget sih.”
“Maksudku,
penampilanmu yang berubah, kalau sifat dan kelakuanmu itu masih sama saja.”
Setelah lulus SMA
Rehan menghilang tanpa kabar. Dia melanjutkan kuliah di Jawa Timur atas
permintaan neneknya di sana dan sekarang pulang untuk liburan semesternya. Aku
sempat tak percaya dengan pengakuannya yang mengejutkan. Anak menyebalkan yang
selalu membuat masalah dan sering di hukum ini bisa bertahan di perguruan
tinggi islam yang mendalami agama. Padahal dulu dia sering melewatkan sholat
subuh dengan alasan ketiduran.
***
Aku bersemangat
pagi ini, gundahku sedikit terobati setelah berbagi cerita dengan Rehan. Nasehatnya
mengena dihatiku. Apakah aku harus meminta maaf pada Rena? Aku memang belum
bisa melupakan semua masalah ini, tapi aku juga lelah dengan perasaanku yang
sudah melebar kemana-mana. Aku sangat merindukan sahabatku, rindu saat-saat
mengukir harapan bersamanya.
Dengan keraguan
di hati, aku berjalan dengan tenang. Hari ini adalah tes wawancara untuk bisa
di terima salah satu maskapai penerbangan besar di Indonesia itu.
“Je, Aku minta
maaf.”
“Rena??!” Aku
kaget tiba-tiba ia muncul dihadapanku.
“Aku sadar, aku
bodoh telah menodai persahabatan kita. Sungguh aku minta maaf.”
Aku masih kaget
dengan kehadirannya yang mengejutkan.
“Aku rindu saat-saat
kita tertawa bersama, belajar bersama sambil menikmati susu kedelai hangat. Kamu
yang selalu buatku tertawa, mengingatkanku untuk sholat. Maafkan aku Je. Aku
salah. Waktu itu aku hanya sedang emosi, aku…aku putus asa, aku kecewa. Aku
kalut menghadapi kenyataan bahwa aku gagal. Aku…”
“Aku minta maaf,”
selaku memotong ucapannya. “Harusnya waktu itu aku datang padamu dan meluruskan
semuanya. Tapi aku terlalu egois dan…”
“Tidak. Aku yang
bersalah. Aku menyesal tak ada disampingmu saat kamu butuh seseorang. Maaf aku
tak bisa menepuk pundakmu atau memelukmu. Maaf aku hanya bisa melihatmu dari
jauh ketika kamu menangis. Maaf aku sudah menjadi orang yang jahat.”
Aku memeluknya
erat, ia membalas seraya meneteskan air matanya yang semakin deras. Kulepaskan
salah satu gelang dari tanganku, gelang yang pernah dilemparnya, lalu kukaitkan
ke tangannya kembali.
“Kamu masih
ingat ini impian kita kan? Pramugari!”
Aku tertawa kecil sambil menghapus air
mataku yang masih basah di pipi. “Ya, Pramugari!!!” Tegasku menegarkan diri
sendiri.
Rena mengangkat
tangannya yang memakai gelang itu, aku juga. Lalu kami tersenyum. “Apapun
rintangannya, jangan pernah takut. Aku yakin kamu akan bisa. Kamu pasti bisa
meraih mimpi.”
Rena meyakinkanku
lalu menghapus air mataku dengan tangannya. Ini seperti dahulu, ketika kami
melihat lebih dekat tentang sebuah mimpi. Meskipun sekarang keadaannya jauh
berbeda.
Seorang petugas
memanggil namaku dan saatnya aku masuk ke dalam ruang tes wawancara. Aku
meninggalkan Rena yang masih menunggu gilirannya.
Sekian
pertanyaan kujawab dengan mudah. Tentu saja aku sudah mempersiapkan hari ini
jauh sebelum semuanya dimulai. Ini impianku dan aku sangat bersemangat untuk
meraihnya. Namun, dari awal aku juga tau kalau akan sulit, dan aku tetap
melawan arusnya. Bukan hanya kerudung yang kupakai, tapi juga kejadian dua bulan lalu.
“Maaf, kami
tidak bisa menerima anda.” Salah seorang dari mereka mengatakannya. Aku gagal.
***
“Good evening
miss stewardess.[1]”
“Good evening
miss secretary. How are you?[2]”
“Alhamdulillah.”
“Hahaha…”
Kami tertawa
lepas seperti saat masih SMA meskipun masa itu telah berlalu hampir tujuh
tahun. Rena telah menjadi pramugari yang sudah pergi ke beberapa wilayah di
Indonesia dalam tugasnya.
Aku memang gagal
saat itu. Akan lucu juga bila seorang pramugari hanya memiliki satu kaki besi
sepertiku. Sebuah kecelakaan memaksaku untuk mengamputasi kaki kiriku. Dan atas
alasan itu pula aku kehilangan mimpiku. Namun, kini aku hidup lebih baik.
Sekarang aku
adalah istri seorang Rehan sekaligus sekretaris pribadinya di perusahan
keluarga dalam bidang travel haji
dan umrah. Semua terasa indah pada tempatnya. Aku bersyukur, hubunganku dengan
Rena kembali baik. Kami bersahabat hingga kini, meskipun aku tak menjadi
pramugari seperti dia.
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete