“Ojo dibabat seng kui[1],” teriak mbah Mi setelah meludahkan bekas
kinangnya. “Mengko
Tulungagung dadi kedung.[2]”
Bocah laki-laki yang baru
menyambitkan celuritnya itu mengotot tertahan. Matanya melirik ketus pada Mbah
Mi yang membungkuk memunguti rangting-ranting retak. Ia gagal menghubungkan
antara Mahoni yang ditumbangkannya dengan Tulungagung yang menjadi kedung.
“Kayu niki luweh awet menawi dibakar ting pawonan, mbah.[3]” bantah bocah itu. Telunjuknya mengarah pada Mahoni
kecil berumur dua tahunan yang urung ditebangnya.
Bukannya menang melawan si mbah
yang sudah keriput, bocah itu malah menjadi sasaran umpatan. “Wong kebacut!!!” Mbah Mi marah-marah dan memaki entah kepada siapa.
Angin bertiup kencang menghantam
Mahoni dan Akasia yang kokoh menopang hutan yang mulai jarang. Hembusannya
menggoyangkan dedaunan, seolah menganggukkan perkataan si mbah. Ah, mana paham
bocah itu tentang alam. Padahal darinyalah ia mendapat kehidupan. Bocah itu
hanya tahu tentang
menanam
ketela, ngarit, dan mengumpulkan kayu bakar untuk mengisi perutnya
serta perut lembu titipan tetangga.
***
Sambil memangku-ku di atas kakinya yang tak sempurna bersila, bapak
menyeruput kopi hitam buatan ibu. Lalu ia melanjutkan cerita dari buku kusam
yang kupegang. Sampulnya berwarna coklat polos. Ada angka 1976 di ujung bawah. Juga terdapat beberapa huruf disana, tapi aku belum bisa mengejanya dengan benar.
Buku itu seukuran tiga jengkal tangan mungilku. Isinya gambar-gambar
yang cenderung abstrak karena luntur dan kabur. Katanya, gambaran itu dibuat
puluhan tahun yang lalu oleh seorang bocah berkulit legam. Didalamnya juga ada
beberapa tulisan di setiap halaman, tapi lagi-lagi aku belum bisa mengejanya. Pak
guru baru saja mengajariku tentang Ba
Bi Bu. Akhirnya
aku menyerah pada bapak untuk membacanya.
Usai meletakkan cangkir yang sebagian isinya telah berpindah
penampungan, bapak kembali kembali bercerita. Aku bersiap mendengarkan sambil
menyesapi ujung jempol yang semakin terasa hambar.
***
Bocah berkulit gelap dengan tanda lahir kehitam-hitaman dipunggungnya itu kembali
merapatkan telinganya. Sudah bosan ia mendengar ocehan si mbah tentang para
penebang hutan. Apalagi ketika si mbah mulai menyumpahi mereka. Kata-kata Mbah Mi
bisa berubah kasar. Pahahal yang bocah itu kenal, si mbah adalah orang welas lan asih.
Bocah itu merasa sedih bila si mbah mulai menggerutu. Lengkingannya
lebih kuat daripada burung hutan. Padahal tidak semua singkek sama seperti yang
dikatakan si mbah. Contohnya saja Cik Hwan. Wanita paruh baya yang menikah
dengan pak Kardi itu sering kali membawakan makanan untuknya. Mungkin karena ia
iba pada yatim piatu yang hanya tinggal dengan mbahnya.
Isu yang berkembang semakin membuat Mbah Mi geram. Ia semakin sering menyumpahi
para singkek dan pegawai kota yang menggunduli lereng gunung Wilis. Kata para
tetangga, hutan itu akan dijadikan kebun. Tapi bagi si mbah, cengkeh atau teh
bukanlah sahabat baik tanah kelahirannya.
***
Hari ini Mbah Mi menyuruh cucunya mencari kayu bakar dan rumput sendirian. Ia berpesan agar cepat pulang bila hari
mulai petang. Sesungguhnya ia tak tega. Apalagi hujan sejak kemarin tak juga
reda. Namun apa daya bila tulang mulai lapuk dimakan usia. Kinang yang
dikunyahnya tiap hari nyatanya hanya membuat kuat giginya saja, tidak dengan tubuhnya yang kini harus ditopang
sebatang kayu untuk berjalan.
Bocah lelaki itu berlari lincah di pinggiran kali Song. Langkahnya cepat, selaras dengan debit air
yang deras mengalir. Pepohonan Mahoni yang rindang di sisi selatan kali memayunginya dari hujan. Bocah itu bersyukur
orang-orang kota hanya menebang disebelah utara. Kalau pohon-pohon ini ikut
roboh, pastilah tubuhnya tak akan kuat diserbu titik-titik air dari langit.
Celurit yang dia selipkan di
celana tadi dengan cepat menumbangkan rumput-rumput segar. Bocah lelaki itu
membabat seperempat bagian yang rimbun. Rasanya
cukup untuk makan dua lembu milik tetanggganya.
Hujan semakin lebat. Gemuruh juga
mulai garang menantang hutan. Mereka beriringan mendatangkan kilat yang
menggelayut di langit gelap. Sudah tiga hari ini senja diusir pergi.
Kali song yang tadinya bening
perlahan mulai berubah cokelat. Bocah itu lekas mengambil rumput hasil
jarahannya dan
beberapa ranting pohon. Ia ingat pesan si mbah untuk segera pulang.
***
Sore itu, ia terkejut melihat
gubuk kecilnya dikerumuni orang-orang desa. Mereka saling berbisik, namun bocah
itu tak percaya dengan suara-suara samar yang didengarnya. Tubuhnya gemetar. Cemas. Ia yang kedinginan
tak lagi bisa merasakan apa-apa.
Bahasa Jawa orang Cina itu tak
begitu buruk. Ia memang lahir di tanah Jawa ini. Tapi, nada bicaranya kali ini
gusar, tak seperti biasa. Bocah itu enggan bertanya. Ia ingin menutup telinga
berharap yang dikatakan orang-orang tadi tidak benar.
“Kowe sing sabar yo le. Ora usah wedi. Urip wes ono sing
nggawe.[6]” Pak Kardi menepuk-nepuk pundak bocah itu dengan
telapak tangannya.
Bocah itu merasakan detak
jantungnya cepat, ikut menjalar keseluruh tubuh yang sejak tadi membeku. Bukan
kaku karena dinginnya sore itu, tapi sebab takdir yang terasa pilu. Takdir yang merenggut keluarganya tanpa pandang bulu.
Bocah itu merasa hampa, seolah
ada yang menghantam dadanya dengan keras. Begitulah takdir merenggut setiap
anggota keluarganya. Bahkan ia tak mengenal bapaknya sejak
kecil. Ibu dan adiknya yang tak sempat lahir di dunia pun ikut dibenamkan dalam tanah. Dan kini, ia
kehilangan si mbah yang biasanya marah-marah sendiri, si mbah yang telaten menidurkannya dalam temaram obor bambu, si mbah
yang terakhir kali berpesan agar cepat pulang malah mengingkari janjinya untuk
makan tiwul selepas Ashar.
Kini ia hanya bisa berpura-pura
tegar. Air matanya pun enggan keluar atau mungkin telah habis untuk menangisi
satu persatu orang yang meninggalkannya. Bocah itupun mengabaikan kerumunan
orang yang menghantarkan duka. Kemudian ia berlari tanpa alas kaki. Yang ia
inginkan hanyalah pergi. Pergi sejauh mungkin hingga tak ada siapapun yang bisa
menemukannya.
***
Hari telah larut petang dan bulan
masih enggan untuk datang. Awan bergumul
kian menebal. Angin meghempaskan tetesan air menjadi semakin besar. Dedaunan
berayun-ayun mengajak hutan dan penghuninya untuk menari-nari. Entah bagaimana bocah itu masih sanggup bertahan
dalam terpaan hujan yang masih saja menghantam. Ia terus berjalan untuk
memarahi Tuhan, meski tetap kalah
kuat dengan alam yang mengaum geram.
Gemuruh semakin tangguh. Kilat
menyambar-nyambar menumbangkan sebuah pohon besar. Bocah itu terkejut, segera
turun dari cikar glodek yang ditumpanginya dan berlari mencari aman. Lalu ia mendengar
teriakkan orang-orang. Dari jauh, ia melihat air mengalir ke jalan-jalan.
Lajunya semakin cepat kearahnya. Bocah itu kembali berlari, mengerahkan sedikit
tenaga yang tersisa untuk menyelamatkan diri.
Air itu semakin banyak dan
berubah menjadi gelombang. Orang-orang panik dan berteriak. Beberapa dari
mereka hanyut terseret arus. Juga ternak dan hasil kebun mengambang dibawa air
yang liar menerjang. Bocah itu berpegang kuat pada Mahoni di dekatnya. Namun
tangan pendeknya tak mencapai ujung jari lainnya. Ia hanya berdoa agar pohon
itu-yang ditanam neneknya, berbelas kasih padanya.
Sedetik kemudian semuanya menjadi
gelap. Tubuh dan napasnya tergenang. Ia tak bisa melihat apa-apa, tak bisa
mendengar apa-apa. Ia hanya merasakan sesak yang menghantam dada. Beberapa kali
tubuhnya terbentur entah apa. Terombang-ambing dalam air yang
menenggelamkannya.
***
Aku menggigit jari-jari jempolku
semakin keras, hingga tak kurasa sakitnya. Takut dan kasihan
mendengar cerita bapak. Namun aku masih ingin mengetahuinya. Aku ingin tahu apa
yang terjadi pada bocah laki-laki itu selanjutnya. Tapi bapak terdiam cukup
lama. Ia hanya menyeka pipinya yang basah.
“Apakah bocah itu meninggal?”
tanyaku penasaran.
Bapak kaget, mungkin bertanya-tanya
bagaimana bocah sepertiku akan bertanya seperti itu. Ia lalu menengadahkan
kepalanya ke atas, menahan air mata sekaligus mencari-cari kepingan cerita yang
tertinggal.
“Selang beberapa hari bocah itu
tersadar. Ia tak begitu ingat apa yang terjadi sebelumnya. Tiba-tiba ia
terbangun dan sudah berada disebuah ruangan yang luas. Tempat itu tampak
seperti rumah pak lurah, namun lebih kokoh karena berdinding bata. Perlahan ia
mengarahkan pandangan ke setiap sudut yang bisa dijangkaunya.” Bapak kembali
mengusap pipinya.
“Bocah itu merasakan sakit yang
teramat perih. Kakinya… ia tak bisa merasakan kaki kirinya. Beberapa orang berkerumun, satu diantara
mereka berkata akhirnya ia telah sadar. Ya, saat itulah bocah itu
menyadari bahwa tubuhnya tak lagi sempurna. Ia kehilangan salah satu kakinya.”
Suara bapak tertelan deru
truk-truk besar pengangkut kayu yang baru saja melintas. Mesin berjalan itu
berselingan membawa kayu, pasir bahkan batu-batu kali. Lajunya meninggalkan
debu yang berterbangan hingga masuk ke dalam rumah tanpa permisi. Aku terbatuk.
Lalu kulihat kaki bapak yang menopang
tubuhku sejak tadi. Kulitnya yang gelap dan mulai keriput itu tak pernah bisa
bersila sempurna. Ya, karena kaki kirinya telah lama tiada.
Sambil memandangi truk-truk besar
itu, aku mengamini doa bapak di akhir ceritanya yang berharap Tulungagung tak lagi menjadi kedung.
***
# Cerpen ini pernah diikutkan lomba menulis FBM2015
Picture: http://wallpaperswide.com/tree_trunk_and_roots-wallpapers.html
[4] Orang Cina
gila. Orang kota yang tak punya tata krama. Mereka kira hidup Cuma milik mereka
saja.
[5] paggilan untuk anak laki-laki
[6] Kamu yang sabar ya nak. Tidak usah takut. Hidup ini sudah ada yang
mengatur.
[7] Nenekmu sudah dipanggih Allah.
Keren ceritanya, dapet juara berapa nih ?
ReplyDeleteSalut salut 😉👍👍👍👍👍
Hehe... terimakasih. Sebenarnya masih banyak kekurangan :-)
DeleteThis comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete