BEHIND THE VENICE CARNIVAL - Reezumiku

Thursday, December 17, 2015

BEHIND THE VENICE CARNIVAL


“Pastikan kau memakai ini besok.” Tanpa memberi kesempatan untukku menolak, Deven pergi begitu saja meninggalkanku dengan sekotak besar pakaian kuno.
http://g01.a.alicdn.com/kf/HTB1c7_6IVXXXXbrXpXXq6xXFXXXJ/2014-popular-White-Royal-Crown-Venetian-Masquerade-Metal-Filigree-font-b-Mask-b-font-with-Rhinestones.jpg
Aku tak tahu kenapa bisa mengikuti ide gila Deven untuk ikut karnaval lagi. Padahal sudah kuputuskan untuk tidak datang ke pesta topeng tahunan sejak kejadian tahun lalu di acara yang sama ini. Aku hanya ingin menghabiskan liburan di dalam kamar sambil memandangi toples kaca kosong hingga tangisku luruh.
Deven tahu betul kalau karnaval tahun lalu menyisakan perih yang sangat dalam untukku. Waktu dimana aku dicampakkan oleh laki-laki yang memacariku selama empat bulan. Aku memergokinya yang sedang berdansa dengan seorang gadis bertopeng baútta.
Tentu saja aku tak tahu siapa di balik topeng klasik putih yang menutupi seluruh wajahnya itu. Tapi aku tahu jelas sosok di balik kostum Ussaro dengan jaket coklat bludru dan celana panjang raja berkepang hitam motif bunga emas itu. Topi sutera senada dengan topeng columbinanya tak mampu mengecohku. Aku mengenalnya bahkan ketika ia berdiri membelakangiku.
Meski aku baru berpacaran empat bulan, aku sudah menyukai Avenall jauh sebelum dia menyatakan ketertarikannya padaku. Aku seperti ikan remora yang selalu mengekor dibelakangnya. Sejak pertama melihat Avenall di tahun pertama sekolah, lelaki itu telah merebut perhatianku. Dia lelaki sempurna yang bukan hanya bagiku, tapi juga menjadi incaran gadis-gadis lain di sekolah.
Makanya, ketika Avenall tiba-tiba bilang suka padaku, tanpa ragu aku langsung mengangguk dan menerima permintaan kencannya. Hubungan kami berjalan dengan baik meskipun banyak rumor yang beredar bahwa Avenall hanya mempermainkanku. Ia hanya sedang mencari suasana baru sejak putus dari pacar sebelumnya yang juga kukenal karena kami berada dalam satu kelas.
Aku menampik semua isu yang beredar dan berusaha percaya pada kekasihku. Aku juga tak mendapati hal yang janggal untuk mencurigainya. Aku pun hanya menganggap semua peringatan kawan-kawanku sebagai omong kosong bentuk kecemburuan mereka karena akulah yang dipilih Avenall sebagai pacaranya.
Hingga pada akhirnya aku melihatnya berdansa dengan gadis itu di Vennice Festival. Semua kepercayaanku padanya hilang seketika ketika Avenall mendekatkan bibirnya ke telinga wanita itu dan membisikkan sesuatu dengan mesra. Apalagi tangannya melingkar di pinggang gadis itu dan mereka mengalun seirama dengan lagu dansa. Benar-benar memuakkan.
Sejak itulah, aku benci karnaval ini. Topeng dibalik wajah penuh riasan itu seperti muka dua yang melindungi dirinya dari kebohongan yang disengaja. Avenall pun tak meminta maaf atau alih-alih menjelaskan situasi yang kulihat. Ia justru berbalik dan menuju pada gadis itu dan meninggalkanku dalam kehancuran.
   Tapi sekarang apa yang kulakukan? Aku malah memakai gaun fuchsia sutra beludru berwarna merah nyala pemberian Deven kemarin. Kutatap bayanganku di cermin. Perpaduan renda, cockades, dan bulu putih di ujung lengan membuatku seperti putri kerajaan dalam balutan sarung tangan gading.
Aku masih ragu apakah aku harus mengikuti perintah sepihak Deven ini. Lelaki itu benar-benar menyebalkan bahkan sejak ia kecil. Meskipun begitu, hanya Deven satu-satunya orang yang masih tetap bersamaku ketika semua teman-teman menjauhiku usai putus dari Avenall. Aku juga tak mengerti kenapa orang-orang menjauhiku dan menyalahkanku atas berakhirnya hubungan itu. Dan, disisikulah Deven berada, satu-satunya orang yang menemaniku.
“Baiklah, seperti katanya, aku hanya akan bersenang-senang,” ucapku pada diri sendiri di depan cermin. Kuhembuskan napas kesal sekaligus kutarik udara dalam-dalam untuk menguatkan keputusanku ini.
Kupakai  red woollen dengan kain jaring merah sewarna menjulur di rambut bagian belakangku. Ada aksesori mawar merah nyala di bagian samping depan yang membuatku lebih anggun. Oke, aku terlihat sempurna. Sekarang tinggal topeng bola rhinestones mengilap dengan potongan logam yang dibuat halus dengan motif yang indah.
Aku memoles bibirku lagi agar terlihat lebih merah.
Lalu kudengar suara dari depan rumah memanggil-manggil. Aku tahu pasti siapa itu. Deven begitu tak sabaran. Ia sudah menungguku sejak beberapa menit yang lalu.
Hallo, madam!” Deven menyambutku di depan pintu. Ia membungkuk sambil memegang topi fedora merah tingginya di depan dada.
Aku mematung beberapa detik. Kostum valmont mantel merah sutra, rompi bermotif floral dengan renda hitam dan mutiara hitam daun applique itu membuatnya persis bangsawan Eropa. Terlihat beda dengan kemeja sutra hitam dengan hantaman manset dan jabot renda berwarna gading yang menjuntai di depan kerah depannya.
Kudapati ia juga mematung sepertiku. Ah, harusnya ia tak perlu berlebihan. Bukankah kostum merah ini darinya. Dan kenapa ia juga harus memakai kostum dengan warna yang sama, kekanak-kanakan.
“Kita kemana?” tanyaku.
Deven langsung saja menarik tanganku menyeberangi jembatan. Kami berlari kecil melewati kanal-kanal dengan riak air yang terhempas di dinding bangunan. Aku menarik sedikit gaunku ke atas agar tidak menghalangi langkahku.
Deven membawaku melintasi St. Mark's Square dan sekarang kami tiba di Basilica di San Marco. Jemarinya masih terselip dijari-jariku dan kami berlari kecil dalam keramaian festival. Banyak penduduk, beberapa orang yang kukenal, sedang menikmati pesta. Begitu pula para wisatawan asing yang asik menari dengan manusia-manusia yang semuanya berkostum abad ke-18 seperti kami.
Façade begitu megah dan burung merpati berterbangan menghindari langkah kaki. Deven membawaku keluar dari halaman lapang itu melewati jembatan kecil dan berhenti di ujung bangunan.
Aku terengah-engah sambil menarik bajuku, sementara tangan lainnya masih dalam genggaman Deven. Kami beradu pandang lalu terbahak bersama menyadari betapa letihnya berlarian seperti orang gila di tengah keramaian tadi.
“Bagaimana? Apakah kamu sudah cukup lelah untuk melupakan lelaki brengsek itu?” ucap Deven mengejutkanku.
Aku terpaku hingga tawaku terhenti mendadak. Dunia sekelilingku seperti berubah warna. Aku tak pernah mengira kalau beberapa menit lalu aku bisa melupakan semua kenangan menyakitkan tentang Avenall. Aku seperti orang asing yang sedang berwisata ke tempat asing pula. Tak ada yang kukenal, tak ada kenangan menusuk jiwa.
Lalu aku tersenyum tipis pada Deven, pertanda terimakasih karena telah membuatku lupa akan kejadian itu meski cuma sebentar.
“Ayo!”
“Kemana?” tanyaku penasaran.
“Naik saja,” perintahnya. Lagi-lagi memaksaku melakukan kata-katanya.
“Gondola ini?” Aku mengerutkan dahi. Mungkin tidak terlihat karena tertutup topeng setengah wajah colombina ini. “Siapa yang membawanya?”
“Tentu saja aku,” jawabnya penuh percaya diri.
Aku tak yakin dia bisa mengayuh mundur perahu kecil ini. Gondola itu bergoyang sebentar hingga akhirnya Deven berhasil mengemudikannya dengan baik. Dia terus melajukan gondola menjauh dari bangunan dan keramaian. Kami melewati Bridge of Sighs, sebuah jembatan berusia 400 tahun yang menghubungkan penjara baru ke ruang interogasi di Istana Doge.
Ada satu yang membuatku penasaran dari tadi. Kenapa Deven menggunakan topeng medico della peste yang memiliki paruh sangat panjang menyerupai burung itu. Sangat tidak cocok dengan kostumnya hari ini.
“Kenapa kau pakai topeng itu terus, lepaskanlah. Terlihat aneh di wajahmu,” kataku sambil melepas topeng yang kupakai berharap ia juga melakukan hal yang sama.
Aku benci topeng. Setidaknya topeng yang dipakai mantan kekasihku untuk menipuku. Karena lelaki itu, aku membenci topeng bahkan festival budaya nenek moyangku ini. Tapi Deven memberikan kenangan berbeda hari ini. Aku bisa tertawa bahkan dibalik topeng yang kubenci.
Kusadari satu hal bahwa topeng yang kulepas ini bukanlah topeng yang sebenarnya. Yang menjadi topeng adalah wajah asliku yang sayu meratapi masa lalu. Padahal dibalik topeng itu aku bisa tertawa, menari, bergembira seperti diriku sebenarnya.
Deven menghentikan gondola di tengah-tenagh air yang tenang. Ia lalu melepaskan topeng dengan tangan kirinya.
“Di depanmu, aku tak ingin menyembunyikan apapun. Aku ingin kau melihatku seperti ini dan juga mengenaliku ketika tersembunyi dibalik topeng. Karena bagaimanapun rupaku, perasaanku tetap sama. Aku menyukaimu, Alessia.”
Deven menatapku tajam yang duduk di perahu. Hatiku berdesir, jantungku tiba-tiba berdegup kencang. Perasaan ini, sudah lama aku membenci perasaan ini. Tetapi sekarang malah membuatku penasaran. Penasaran untuk merasakan lagi cinta dari seseorang yang aku cintai, Deven.

 Cerita ini diikutkan dalam tantangan #NulisBarengAlumni @KampusFiksi #KF4 dalam tema #Topeng

Tulungagung, 17 Desember 2015

6 comments:

  1. Karena terburu-buru waktu dan tak sempat self editing, ternyata banyak typo. Ini beberapa hihi:

    Coklat = cokelat

    Pacaranya = pacarnya

    Terlihat beda dengan kemeja sutra hitam dan hantaman manset serta jabot renda berwarna gading yang menjuntai di depan kerahnya.

    Aku terengah-engah sambil menarik gaunku.

    ReplyDelete
  2. Keren ah..... serasa kayak di Eropa beneran.... :D

    ReplyDelete
  3. Wih, keren kaka (y) makasih ya, aku dapet pembelajaran lagi ^^

    ReplyDelete
  4. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete

Local Business Directory, Search Engine Submission SEO Tools