Lensa kamera tak akan mampu menandingi mata, ciptaan Allah yang Maha Sempurna. Pemandangan ini berlipat jauh lebih indah dari pada gambarnya.
WARNING!
Akhwat
only!!!
Laki-laki
dilarang masuk! Kalau masih kepo, resiko tanggung sendiri.
|
Assalamualaikum
shalihah,
Alhamdulillah, saya telah diberi
kesempatan oleh Allah mengunjungi Bromo untuk yang kedua kali. Saya tak akan
bersemangat menghampiri suatu tempat yang sudah pernah saya datangi sebelumnya,
kecuali bila lokasi tersebut memang benar-benar spesial dan membuat saya rindu
untuk kembali ke sana. Dan Bromo adalah salah satu pengecualian tersebut.
Satu-satunya gunung aktif yang mudah di
jangkau di Indonesia itu membuat saya rindu ingin mengulangi perjalanan pada
tahun 2012 lalu. But, untuk cerita trip ke Bromo akan saya simpan dalam
postigan lain ya, bukan di sini. Kesempatan ini saya khususkan untuk membagi
pengalaman tak terlupakan dan paling berkesan.
Karena mengikuti midnight tour, tepatnya untuk melihat sunrise, saya dan ke lima teman seperjalanan sudah memperkirakan
beberapa rundown pribadi, khususnya jadwal sholat. Sampai di Penanjakan 1
adalah pukul 03.00 dini hari. Tempat kunjungan pertama tersebut memang lokasi
terbaik menyaksikan sunrise. Namun, kodisi
di sana juga merupakan waktu tersulit untuk melaksanakan subuh.
Rencananya, kami akan menjaga wudhu
sejak di lokasi parkir penanjakan hingga masuk waktu sholat, kemudian
melaksanakan subuh di atas, tempat melihat sunrise.
Namun dingin malam itu benar-benar menusuk sampai ke tulang. Si Shopia saja
masih tidak tahan dengan perubahan suhu mendadak, padahal sudah mengenakan double jacket yang tebal. Saya sendiri
sempat mampir ke toilet, baru saja pegang gayung yang basah dan rasa dingin
langsung menjalar ke seluruh tubuh. Alhasil, ujung jari-jari saya langsung
mengerut layu. Kami pun mengubah rencana dan memutuskan untuk tayamun saja.
Saya dan teman-teman termasuk rombongan
yang tiba lebih awal. Ketika itu belum banyak orang sehingga kami bisa memilih
tempat manapun untuk duduk menyaksikan pesona matahari terbit berlatar belakang
pegunungan Tengger Semeru. Sebuah keuntungan sekaligus juga ketidaknyamanan
dalam satu waktu. Karena tiba terlalu awal, tentu kami harus menunggu lebih
lama, dalam kondisi dingin dan angin kencang yang semakin menggetarkan bibir.
Beberapa orang menyewa selimut seharga
Rp.5000 dan menutupi diri mereka sambil berkerumum satu sama lain. Kami pun
semakin merapat sembari membagi hangat tubuh dengan berangkulan. Saya melihat
handphone dan mendapati suhu sudah mencapai 6 derajat. Untunya, saya pernah
mengalami ini dan tidak terlalu kaget akan suhu ekstrimya. Namun Shopia, dan
tiga travel squad lainnya tampak masih belum percaya bahwa Bromo sedingin itu.
Lima menit sebelum masuk waktu subuh,
barulah kami turun dari undakan bertingkat menuju ke sebuah balai kecil di sampingnya,
tempat khusus untuk sholat. Sudah disediakan alas sederhana, beberapa sajadah,
bahkan mukena oleh penduduk setempat. Saya pun mulai melepas sepatu
satu-persatu, disusul kemudian dengan kaos kaki. Brrrr….. seketika gigi
mengerat kedinginan.
MasyaAllah, saat itu pikiran saya
langsung melayang membayangkan kondisi para korban bencana Lombok. Belum lama
ini saya memang ikut mengoordinir bantuan ke Lombok melalui Komunitas Berbagi Senyum Sahabat yang
hampir tiga tahun ini saya ikuti. Kenangan itu masih melekat meski tidak langsung
mengunjungi pulau tersebut.
Bagaimanakah keadaan mereka yang terpaksa
tidur tanpa atap, tanpa dinding, tanpa selimut? Guncangan gempa yang meluluh
lantahkan pulau tersebut memang sangat menyayat hati (Ketika itu belum terjadi
bencana Palu dan Donggala). Semoga segalanya segera membaik. Dan sudah
sepatutnya kita yang masih diberi kesehatan, kelancaran dalam segala hal untuk
terus bersyukur. Salah satu wujudnya yaitu dengan memberikan bantuan kepada
korban bencana.
Oke kembali ke Bromo, Sekuat tenaga
saya tahan dingin yang menyerang, lalu melepas sarung tangan, masker, dan
kupluk di kepala. Hanya jaket yang menghalangi angin dingin. Setelah
menempelkan tangan di dinding, membasuh muka serta tangan, barulah saya naik ke
atas balai sambil mencari posisi yang nyaman. Di situ saya melihat seorang
perempuan cantik berhijab, usianya tampak sebaya. Ia sedang duduk diam menghadap
kiblat.
“Mbak sudah tayamum,”
tanya saya sekedar basa basi sekalian mengingatkan jikalau belum mensucikan
diri.
“Sudah mbak, saya sudah
wudhu.”
Begitu kira-kira dia menjawab dengan suara rendah, hampir tak terdengar.
“Wudhu??? dengan air?”
Saya melotot tak percaya.
“Iya mbak, itu airnya,”
jawabnya polos sambil menunjuk kran air yang tanah di bawahnya sudah basah.
Di situ hati saya langsung tersentak.
MasyaAllah. Semoga Allah merahmati saudara seiman tersebut. Dia yang datang
pertama dan menunggu waktu sholat di balai. Dia juga satu-satunya yang wudhu di
puncak penanjakan dalam kondisi dingin bersuhu hampir nol derajat. MasyaAllah,
saya iri dengan keteguhan imannya.
Di satu sisi saya juga malu pada diri
sendiri. Sangat malu. Padahal kejadian tersebut bukanlah sebuah ujian, hanya
kondisi yang memperlihatkan seberapa besar kemauan untuk melaksanakan syariat
Islam. Satu lagi pengalaman berharga yang memberi cambuk pelajaran bagi saya.
Begitu besar kuasa Allah dan begitu indah kehendak-Nya. Hanya Allah
satu-satunya yang dapat merahmatkan hidayah pada seseorang.
Suara seorang ikhwan yang
mengumandangkan adzan pun memecahkan kekaguman saya. Kemudian, salah satu dari
para pendaki tersebut mengambil tempat sebagai imam, Sekali lagi, hati saya
meleleh di tengah cuaca dingin. Saya bersyukur bisa merasakan suasana khitmat
tersebut. Beruntungnya kita yang mendengar adzan tiap hari, tanpa bersusah
payah untuk menuju ke masjid. Namun seringkali rasa malas dan dosa-dosa justru
memberatkan kaki melangkah ke Rumah Allah, Astagfirullah.
Perjalanan akhirnya berlanjut dengan
menyaksikan kuasa Ilahi. Maha Besar Allah yang menciptakan Bumi, Langit dan
Matahari. Allahuakbar, tak ada yang sempurna kecuali ciptaan-Nya. Rona jingga
kemerahan yang menyembul dari balik pegunungan, kabut yang perlahan lari
menyingkir oler sinar hangat sang mentari. Puluhan pasang mata menjadi saksi
keindahan fajar pagi itu.
Terimakasih banyak sudah membaca
tulisan ini. Sampai jumpa di postingan perjalanan gunung Bromo selanjutnya. Ada
kejadian yang hampir meregang nyawa, sebuah teguran yang mengingatkan kami
bahwa kematian itu begitu dekat. Lebih lekat dari urat nadi. Tunggu di
postingan #MyRoom selanjutnya ya.
Wassalamualaikum….
No comments:
Post a Comment