Menggigil, Merasakan Subuh di Puncak Penanjakan Bromo dengan Suhu hampir 0 derajat - Reezumiku

Tuesday, November 6, 2018

Menggigil, Merasakan Subuh di Puncak Penanjakan Bromo dengan Suhu hampir 0 derajat

Lensa kamera tak akan mampu menandingi mata, ciptaan Allah yang Maha Sempurna. Pemandangan ini berlipat jauh lebih indah dari pada gambarnya.


WARNING!
Akhwat only!!!
Laki-laki dilarang masuk! Kalau masih kepo, resiko tanggung sendiri.


Assalamualaikum shalihah,
Alhamdulillah, saya telah diberi kesempatan oleh Allah mengunjungi Bromo untuk yang kedua kali. Saya tak akan bersemangat menghampiri suatu tempat yang sudah pernah saya datangi sebelumnya, kecuali bila lokasi tersebut memang benar-benar spesial dan membuat saya rindu untuk kembali ke sana. Dan Bromo adalah salah satu pengecualian tersebut.

Satu-satunya gunung aktif yang mudah di jangkau di Indonesia itu membuat saya rindu ingin mengulangi perjalanan pada tahun 2012 lalu. But, untuk cerita trip ke Bromo akan saya simpan dalam postigan lain ya, bukan di sini. Kesempatan ini saya khususkan untuk membagi pengalaman tak terlupakan dan paling berkesan.


Karena mengikuti midnight tour, tepatnya untuk melihat sunrise, saya dan ke lima teman seperjalanan sudah memperkirakan beberapa rundown pribadi, khususnya jadwal sholat. Sampai di Penanjakan 1 adalah pukul 03.00 dini hari. Tempat kunjungan pertama tersebut memang lokasi terbaik menyaksikan sunrise. Namun, kodisi di sana juga merupakan waktu tersulit untuk melaksanakan subuh.

Rencananya, kami akan menjaga wudhu sejak di lokasi parkir penanjakan hingga masuk waktu sholat, kemudian melaksanakan subuh di atas, tempat melihat sunrise. Namun dingin malam itu benar-benar menusuk sampai ke tulang. Si Shopia saja masih tidak tahan dengan perubahan suhu mendadak, padahal sudah mengenakan double jacket yang tebal. Saya sendiri sempat mampir ke toilet, baru saja pegang gayung yang basah dan rasa dingin langsung menjalar ke seluruh tubuh. Alhasil, ujung jari-jari saya langsung mengerut layu. Kami pun mengubah rencana dan memutuskan untuk tayamun saja.

Saya dan teman-teman termasuk rombongan yang tiba lebih awal. Ketika itu belum banyak orang sehingga kami bisa memilih tempat manapun untuk duduk menyaksikan pesona matahari terbit berlatar belakang pegunungan Tengger Semeru. Sebuah keuntungan sekaligus juga ketidaknyamanan dalam satu waktu. Karena tiba terlalu awal, tentu kami harus menunggu lebih lama, dalam kondisi dingin dan angin kencang yang semakin menggetarkan bibir.

Beberapa orang menyewa selimut seharga Rp.5000 dan menutupi diri mereka sambil berkerumum satu sama lain. Kami pun semakin merapat sembari membagi hangat tubuh dengan berangkulan. Saya melihat handphone dan mendapati suhu sudah mencapai 6 derajat. Untunya, saya pernah mengalami ini dan tidak terlalu kaget akan suhu ekstrimya. Namun Shopia, dan tiga travel squad lainnya tampak masih belum percaya bahwa Bromo sedingin itu.


Lima menit sebelum masuk waktu subuh, barulah kami turun dari undakan bertingkat menuju ke sebuah balai kecil di sampingnya, tempat khusus untuk sholat. Sudah disediakan alas sederhana, beberapa sajadah, bahkan mukena oleh penduduk setempat. Saya pun mulai melepas sepatu satu-persatu, disusul kemudian dengan kaos kaki. Brrrr….. seketika gigi mengerat kedinginan.

MasyaAllah, saat itu pikiran saya langsung melayang membayangkan kondisi para korban bencana Lombok. Belum lama ini saya memang ikut mengoordinir bantuan ke Lombok melalui Komunitas Berbagi Senyum Sahabat yang hampir tiga tahun ini saya ikuti. Kenangan itu masih melekat meski tidak langsung mengunjungi pulau tersebut.

Bagaimanakah keadaan mereka yang terpaksa tidur tanpa atap, tanpa dinding, tanpa selimut? Guncangan gempa yang meluluh lantahkan pulau tersebut memang sangat menyayat hati (Ketika itu belum terjadi bencana Palu dan Donggala). Semoga segalanya segera membaik. Dan sudah sepatutnya kita yang masih diberi kesehatan, kelancaran dalam segala hal untuk terus bersyukur. Salah satu wujudnya yaitu dengan memberikan bantuan kepada korban bencana.

Oke kembali ke Bromo, Sekuat tenaga saya tahan dingin yang menyerang, lalu melepas sarung tangan, masker, dan kupluk di kepala. Hanya jaket yang menghalangi angin dingin. Setelah menempelkan tangan di dinding, membasuh muka serta tangan, barulah saya naik ke atas balai sambil mencari posisi yang nyaman. Di situ saya melihat seorang perempuan cantik berhijab, usianya tampak sebaya. Ia sedang duduk diam menghadap kiblat.

“Mbak sudah tayamum,” tanya saya sekedar basa basi sekalian mengingatkan jikalau belum mensucikan diri.
“Sudah mbak, saya sudah wudhu.” Begitu kira-kira dia menjawab dengan suara rendah, hampir tak terdengar.
“Wudhu??? dengan air?” Saya melotot tak percaya.
“Iya mbak, itu airnya,” jawabnya polos sambil menunjuk kran air yang tanah di bawahnya sudah basah.

Di situ hati saya langsung tersentak. MasyaAllah. Semoga Allah merahmati saudara seiman tersebut. Dia yang datang pertama dan menunggu waktu sholat di balai. Dia juga satu-satunya yang wudhu di puncak penanjakan dalam kondisi dingin bersuhu hampir nol derajat. MasyaAllah, saya iri dengan keteguhan imannya.

Di satu sisi saya juga malu pada diri sendiri. Sangat malu. Padahal kejadian tersebut bukanlah sebuah ujian, hanya kondisi yang memperlihatkan seberapa besar kemauan untuk melaksanakan syariat Islam. Satu lagi pengalaman berharga yang memberi cambuk pelajaran bagi saya. Begitu besar kuasa Allah dan begitu indah kehendak-Nya. Hanya Allah satu-satunya yang dapat merahmatkan hidayah pada seseorang.

Suara seorang ikhwan yang mengumandangkan adzan pun memecahkan kekaguman saya. Kemudian, salah satu dari para pendaki tersebut mengambil tempat sebagai imam, Sekali lagi, hati saya meleleh di tengah cuaca dingin. Saya bersyukur bisa merasakan suasana khitmat tersebut. Beruntungnya kita yang mendengar adzan tiap hari, tanpa bersusah payah untuk menuju ke masjid. Namun seringkali rasa malas dan dosa-dosa justru memberatkan kaki melangkah ke Rumah Allah, Astagfirullah.

Perjalanan akhirnya berlanjut dengan menyaksikan kuasa Ilahi. Maha Besar Allah yang menciptakan Bumi, Langit dan Matahari. Allahuakbar, tak ada yang sempurna kecuali ciptaan-Nya. Rona jingga kemerahan yang menyembul dari balik pegunungan, kabut yang perlahan lari menyingkir oler sinar hangat sang mentari. Puluhan pasang mata menjadi saksi keindahan fajar pagi itu.
  

Terimakasih banyak sudah membaca tulisan ini. Sampai jumpa di postingan perjalanan gunung Bromo selanjutnya. Ada kejadian yang hampir meregang nyawa, sebuah teguran yang mengingatkan kami bahwa kematian itu begitu dekat. Lebih lekat dari urat nadi. Tunggu di postingan #MyRoom selanjutnya ya.

Wassalamualaikum….


No comments:

Post a Comment

Local Business Directory, Search Engine Submission SEO Tools