Akhirnya tulisan ini bisa selesai mekipun lebih lambat dari perkiraan
saya. Tadinya ingin langsung nulis, post,
upload video sekalian. Namun
Allah berkehendak lain dengan mendatangkan berbagi kerjaan di saat yang
sama. Alhamdulillah, apapun itu disyukuri aja.
Oke, balik ke topik utama. Perjalanan ke Pantai Pucang Sawit memang
begitu berkesan. Banyak cerita mulai dari hal-hal biasa, seru,
menyenang, menegangkan hingga menakutkan. Planning
ke pantai ini sudah ada sejak akhir 2017 lalu. Karena
termasuk pantai baru dan aksesnya sulit,
saya harus pikir-pikir dengan matang apalagi urusan partner ngebolang. Kan nggak
seru kalau tiba-tiba di tengah perjalan, mereka pada minta balik karena takut
mlipir-mlipir tebing?!
Setelah melalui semua itu,
akhirnya yang berhasil berangkat adalah saya, Dinar, dan mbak Evy. Setrong woman-wonder woman atau apalah sebutannya. Kita pernah ngebolang bareng sebelumnya ke
Pantai Pacar, Pantai Lumbung dan Pantai Nglinci bertiga, so
saya sudah tau kemauan dan kemampuan mereka soal mbolang medan sulit kayak
gini.
Jangan bandingkan dengan cowok-cowok loh ya. Mbolang cewek-cewek doang itu nggak semudah ‘minum
air tinggal sruput’. Apalagi tujuan utama saya bukan cuma untuk melepas stres tapi juga hunting foto dan video sebagai pelengkap tulisan. Pastinya perlu banyak
persiapan. Belum lagi urusan keamanan. Alhamdullillah-nya, di Tulungagung termasuk wilayah aman buat
cewek jalan-jalan meski di daerah pinggiran sekalipun atau bahkan solo
traveling.
Singkat cerita, kita bertiga
berangkat jam 7.45, molor 45 menit dari rencana. Setelah melalui perjalanan ke kecamatan
Pucanglaban lewat jalur Lok Songo, kita
sampai di loket masuk wisata Pantai Lumbung,
Pantai Nglinci, PantaiPacar, Pantai Molang, Kedung Tumpang dan Pantai Pucang Sawit. Biaya masuknya adalah 5000 rupiah.
Dari situlah perjalanan sebenarnya dimulai. Saya terlebih dahulu tanya-tanya ringan
kepada petugas tiket.
“Pak, yang ke Pantai Pucang Sawit
banyak?”
“Nggak ada mbak,” kata si Bapak.
“Mbak mau ke Pucang Sawit??? “ Sambil melotot nggak percaya. Seolah si bapak mau bilang sumpah lo?!
“Iya, Pak. Ada petunjuk jalannya
kan? “ tanya saya lagi. Untuk memastikan
supaya nggak nyasar.
“Ada. Ada kok. Hati-hati ya mbak. Jalannya sulit loh. “ Si bapak masih nggak
rela.
Awalnya kita bertiga selow banget.
Masalah jalan sulit sih nggak apa-apa, tapi kalau nggak ada petunjuk
arahnya itu yang ribet. Apalagi Maps di
handphone sudah tak berfungsi. Beberapa menit kemudian, yang dikhawatirkan kejadian
juga. Si bapak tadi Cuma PHP. Hikzzz. Petunjuk arah hanya ada di ujung jalan
makadam. Seketika, kita hilang di dunia antah berantah.
Seperti karakteristik pantai-pantai di Pucanglaban lainnya, jalan ke Pantai Pucangsawit harus melewati
bukit-bukit dan ladang. Nah, mulai dari situlah petunjuk arah hilang.
Medan mulai naik turun tidak rata
beralas tanah. Semakin jauh dari pemukiman,
semakin sepi suasana. Angin
berhembus kencang dan kami dihadapkan dengan banyak jalan bercabang.
Saya selalu memilih jalan paling lebar,
dengan pertimbangan bahwa jalan tersebut yang paling sering dilalui
wisatawan. Namun di satu persimpangan
besar, terdapat dua jalan bercabang yang
sama-sama lebarnya, sama-sama sering
dilalui orang. Kami berhenti cukup lama
hingga akhirnya mencoba untuk buka HP.
Beruntungnya dapat sinyal 4G.
Kaget banget. Alhamdulillah bisa lihat maps yang menunjukkan arah ke
jalur kiri.
Dari sanalah, kami mulai
dibingungkan dengan banyak jalan bercabang untuk yang kesekian kalinya. Alhamdulillah, beruntung sekali lagi datang mengiringi. Ada seorang warga lokal yang melintas. Padahal sedari tadi sangat sepi. Bapak yang 'kami tak tau namanya' itu baik
banget. Bukan hanya menunjukkan
jalan, beliau juga mengantarkan hingga
tepi tebing-titik terakhir yang bisa dilalui sepeda motor. Bahkan beliau menawarkan bantuan untuk
mengantar ke bawah hingga pantai, namun
saya langsung menolak karena tak enak jika terlalu lama merepotkan.
Setelah sampai di ujung tebing,
kamu akan terkagum dengan pemandangan luar biasa laut selatan yang luas.
Airnya biru menyatu dengan langit.
Subhanallah, pemandangan ini mirip di Pantai Lumbung saat kita ada di
atas. Namun, tebing menuju pantai Pucang
Sawit tampak lebih kuat, megah, dan luar biasa. Perbandingan air dan tanah yang
terjangkau pandangan bahkan sampai 50:50. Seolah-olah laut di depan kita lebih
tinggi posisinya dan siap meneggelamkan bumi.
Ciptaan yang tak akan mampu diterka manusia.
Cukup sudah mengaggumi alam dari sana.
Perjuangan ke pantai Pucang Sawit baru sepertiga jalan. Setelah itu,
kamu harus jalan kaki turun tebing setinggi kurang lebih 100 meter lebih
dengan jarak tempuh turun mencapai 40 menit.
“Kok lama banget?! Jalan kaki hampir sejam? “
Selain jalan yang sulit, masuk hutan dengan pepohonan lebat, ranting dan akar menjalar di sana sini, tanah
berpijak cukup licin meskipun tidak basah. Apalagi di salah satu sisi langsung
mengarah ke tepi tebing yang cukup tinggi.
Jadi kamu harus super waspada. Tak disangka-sangka keberuntungan datang menghampiri kami lagi. Ada dua bocah lokal yang juga hendak turun ke pantai. Setidaknya mereka bisa jadi penunjuk arah yang dapat kami
andalkan. Hehe…
Sulit menerjemahkan jalan ke pantai Pucang Sawit ini dengan kata. Insaallah saya akan kasih cuplikan yang
terekam kamera. Meski di beberapa
titik perjalanan yg sulit tidak bisa terabadikan dalam video karena terlalu bahaya ketika pegang HP sambil turun
tebing, namun sedikit gambaran ini bisa
kamu jadikan bahan pertimbangan ketika ingin main ke pantai Pucang Sawit.
Tips turun aman tebing Pucang Sawit berdasar pengalaman saya dan teman-teman
khususnya buat para cewek yang mau hunting foto, kalau buat cowok sih nggak masalah lah
ya. Hohohooo…
Pertama, pakai alas kaki yang cocok
buat medan licin. Tanah keringnya sering
kali bikin sepatu atau sendal tergelincir.
Kedua, jangan menggunakan akar atau
batang pohon sebagai pegangan utama karena banyak pohon dahan lapuk serta akar
yang mudah patah. Mungkin kamu akan
tertipu dengan tampilan luarnya yang tampak kuat. Alhamdulillah di 3 titik
turunan tersulit sudah terdapat tali tambang untuk pegangan. Namun itu cuma sedikit saja. Tips terakhir, sekali-kali pandangkah ke arah
laut saat perjalanan turun, dan itu akan
menyegarkan lelahmu.
Ada yang menyebut bahwa Pantai Pucang Sawit itu adalah belitungnya
Tulungagung. Ada-ada saja ya, kayaknya bukan cuma Ranu Gumbolo yang
dimirip-miripin sama Ranu Kumbolo.
“Belitung? Masak sih? “
Yap, maksudnya adalah banyaknya
batuan-batuan besar yang tersebar di sepanjang pantai sangat mirip dengan
batu-batuan yang pernah menjadi lokasi syuting film Laskar Pelangi. Iya,
pantai Pucang Sawit punya batuan besar yang dapat kamu lewati sambil
berlarian di pantai saat air surut. Tentunya, inilah spot foto terbaik di sini
karena tidak akan ada pada pantai-pantai lain di Tulungagung.
Sayangnya, saya, Dinar dan mba Evy tiba menjelang siang ketika air laut
pasang. Ombaknya cukup besar dan
berdebam keras ketika menyentuh bibir pantai. Apalagi pantai Pucang Sawit
memiliki banyak karang-karang mati yang terkumpul di tepi pantai. Ketika ombak besar datang dan
menyapunya, air yang kembali ke arah laut
akan menyeret kerang-kerang mati tersebut hingga muncul bunyi klathak-klathak yang
cukup keras. Ini persis seperti asal
mula Pantai Klathak. Namun, kalau di pantai Klathak, kamu tidak akan benar-benar mendengar karang
yang berbenturan satu sama lain karena ombak di sana tidak begitu besar.
Datang di saat air pasang, saya
tidak dapat mengeksplore banyak spot.
Apalagi, dua bocah yang turun
bersama kami tadi sering sekali memperingatkan untuk segera balik ke atas
karena ombak makin tinggi hingga hampir menenggelamkan seluruh pantai. Maklum saja,
beberapa waktu lalu memang ada 2 wisatawan terseret ombak di Kedung
Tumpang yang lokasinya tak jauh dari pantai Pucang Sawit. Mungkin mereka khawatir.
Pada waktu pulang, kami juga mampir di sebuah warung untuk beli minum. Si ibu penjual tanya mau kemana. Lalu mba Evy jawab dari Pucang Sawit. Eh si ibu langsung ngomong panjang lebar yang intinya melarang kita ke Pantai karena terlalu berbahaya. Bagi warga sekitar, pantai-pantai di Pucanglaban memang sangat mereka hindari.
Pada waktu pulang, kami juga mampir di sebuah warung untuk beli minum. Si ibu penjual tanya mau kemana. Lalu mba Evy jawab dari Pucang Sawit. Eh si ibu langsung ngomong panjang lebar yang intinya melarang kita ke Pantai karena terlalu berbahaya. Bagi warga sekitar, pantai-pantai di Pucanglaban memang sangat mereka hindari.
Balik ke pantai, hehe, setelah beberapa saat menikmati aroma laut, kami sempat makan, istirahat, dan me time masing-masing. Dinar sibuk dengan selfienya. Mba Evy yg akhir-akhir ini terobsesi dengan potret langit. Dan saya pun kesana kemari memenuhi memori dengan gambar dan video menarik pantai Pucang Sawit.
Dua jam berlalu dengan cepat. Kami memutuskan segera kembali. Ombak yang makin besar membuat suasana makin menyeramkan. Suaranya juga makin keras bagai guntur yang menyambar. Cipratan air asin pun makin tinggi menjadi bulir-bulir embun yang mngaburkan jarak pandang. Apalagi lokasinya yang jauh terpencil di bawah tebing membuat bulu kuduk sempat merinding ketika membayangkan hal-hal buruk.
Dua jam berlalu dengan cepat. Kami memutuskan segera kembali. Ombak yang makin besar membuat suasana makin menyeramkan. Suaranya juga makin keras bagai guntur yang menyambar. Cipratan air asin pun makin tinggi menjadi bulir-bulir embun yang mngaburkan jarak pandang. Apalagi lokasinya yang jauh terpencil di bawah tebing membuat bulu kuduk sempat merinding ketika membayangkan hal-hal buruk.
Yes. Turun butuh waktu 40 menit,
naiknya pasti akan lebih lama lagi. Awalnya semua berjalan
lancar. Dinar berjalan dahulu sambil memanfaatkan batang
kayu sebagai alat bantu jalan. Mba evy ada di tengah karena dia trauma setelah kepleset hingga pantatnya mencium tanah (eh). Sementara saya, lebih sering
di paling belakang supaya lebih leluasa ambil foto dan video.
Dipertengahan jalan naik itulah tiba-tiba saya teringat kunci
motor. Entah dari mana fikiran tersebut
datang. Spontan saya berhenti lalu
menggeledah tas berkali-kali. Namun
kunci tersebut tidak ada dimanapun. OMG
jiwa langsung roboh saat itu juga.
Kunciku hilang!!!!
Kunciku hilang!!!!
“Nggak, aku nggak mau balik turun lagi, “ kata mba Evy sambil
ngos-ngosan mengatur nafas.
Kalau bisa memilih, saya juga tak
sanggup turun lagi untuk mengambil kunci.
Membayangkan harus naik turun lagi aja sudah gelagapan. Keringet bikin basah kuyup pula. Tapi saya juga yakin kalau kunci itu tidak
tertinggal di pantai. Saya selalu memastikan dengan menegok berkali-kali dan
tidak ada barang apapun yang tertinggal.
Sisa perjalanan pun saya lalui dengan jiwa hampa, seperti siswa yang gagal ujian atau guru yang
gagal tes CPNS. Ya, gitu deh…
Saya tak punya pikiran lain kecuali kunci kunci kunci. Pulang naik apa saya nanti?
Alhamdulillah, satu-satunya harapan
semoga kunci tertinggal di atas yaitu di kendaraan akhirnya menjadi hadiah
terbaik hari itu. Beberapa kali
saya teriak ke arah laut, mengucap
syukur atas teguran Allah dengan ujian yang masih mampu saya lalui. Sekali lagi,
Allah menunjukkan cinta kasih-Nya pada saya. Allah menyentil dengan caranya yang
indah. Semoga saya tetap ingat untuk menundukkan
kepala dan tidak sombong dihadapan alam.
Sesungguhnya semua ini hanyalah milik-Nya.
Videonya segera menyusul di IG dan Blog ini. Buat kamu yang ingin tau atau tanya-tanya tentang pantai Pucang Sawit,
bisa tulis di kolom komentar ya. Sapa tau ada yang pengen barengan ke sana lagi. Heeeeheeee.
Tips
sholat saat traveling di tempat jauh pemukiman seperti Pantai Pucang Sawit
Sholat itu wajib. Kadang kala kita
lalai saat terlalu asyik liburan dan menikamti pemandangan. Untuk itu, perlu
rencana khusus supaya kewajiban terpenuhi dan liburan jadi lebih menyenangkan
tanpa beban.
Rencana perjalanan saya adalah
berangkat pagi pulang sore. Jadi, waktu sholat yang harus diperhatikan adalah
Dhuhur dan Ashar. Untuk itu, kita perlu memerhatikan beberapa hal ini:
· Lama
perjalanan. Jadwal keberangkatan sangat
memengaruhi waktu tiba kita di lokasi wisata. Apabila perkiraan waktu tiba
sebelum Dhuhur, maka carilah mushola ketika masih menemukannya di pemukiman. Di
Pucanglaban cukup sulit menemukan mushola, apalagi yang ada tempat wudlunya. Biasanya
juga ada masjid namun terkunci dan tidak dilengkapi kamar mandi. Jadi lebih
baik kamu berhenti dan menunnggu waktu sholat.
· Bawa
perlengkapan sholat. Tidak semua mushola difasilitasi dengan mukena. Khusus
buat cewek wajib banget bawa alat sholat supaya tidak kerepotan cari pinjaman.
Apalagi kalau selama perjalanan tidak menemukan mushola, jadi kamu bisa cari
tempat teduh seperti sekolah, rumah, dll untuk numpang sholat.
· Bawa baju ganti. Namanya juga maen di pantai, tentunya bakal basah. Kalau sudah masuk waktu sholat dan pakaian kotor semua, kita bisa gantu baju dulu lalu melaksanakan sholat.
· Bawa baju ganti. Namanya juga maen di pantai, tentunya bakal basah. Kalau sudah masuk waktu sholat dan pakaian kotor semua, kita bisa gantu baju dulu lalu melaksanakan sholat.
wonderfull 😍😍
ReplyDeleteayok kapan mantai lagi ???
DeleteLainkali lebih teliti nyimpan kunci ataupun sebelum ke lokasi,kak.
ReplyDeleteUntung loh, kuncinya masih tergeletak di kendaraan. Kalo ngga ... , waah .. 🤔
Seru ya ngebolang kompakan bertiga ke pantai Pucang Sawit ☺.
Bagus pantainya.
iya saya emang sering teledor :-)
Delete.
Bener, pantai ini sebenernya lebih cantik kalau sedang surut. semoga ada kesempatan ke sana lagi heheheee
indah abis ya, belum pernah ke sana.. tapi skrg musim ombak besar ya?
ReplyDeleteiya, musim gina nggak usah ke pantai dulu. ngeri... buat foto2 juga nggak keren heheheheee
DeleteBagus pantainya,bisa lah kesana klo udh aman...
ReplyDeleteayo be.. kapan kita ke pantai? mumpung masih singelillah... wkwkwkkwkwk
DeleteJadi penasaran sama pantai ini karena turunnya yang seru sekali kelihatannya. Masukin wish list dulu ahhhh....
ReplyDeleteYup. Pantai Pucang Sawit emnag bikin penasaran karena lokasinya yang jauh dan sulit di jangkau. Semoga wishlist-nya segera tercapai :-)
Delete