Lebih dari sembilan tahun nggak pernah
menapaki jalanan menanjak layaknya mendaki gunung membuat saya ngos-ngosan kali ini.
Gila!!! Padahal saya sudah berkoar-koar sambil menyincingkan rok. "Apa susahnya,
tinggal jalan aja." Haha...
Nyatanya, memori berpetualang saya terhenti
di masa SMP. Hati ini tidak ingin mengakui kalau raga sudah semakin kehilangan
daya seiring bertambahnya usia sekaligus jarangnya olahraga. Arg!!!! Saya saja
kesal pada diri sendiri, kenapa bisa jadi selemah ini. Baiklah! Saya akui pada
kalian bertiga, saya menyerah.
Sebenarnya, jalur mendaki Gunung Gudik yang ada di desa Notorejo, kecamatan Gondang, Tulungagung ini nggak
begitu curam dan tergolong mudah untuk pendaki pemula, bahkan bagi siapapun
yang nggak pernah naik gunung. Namun, tanjakannya juga cukup melelahkan buat
makhluk lemah seperti saya. *Uhuk
Gunung ini sudah mulai ramai dikunjungi bahkan ada beberapa pendaki yang bermalam di sana. Akses menuju lokasi bisa menggunakan sepeda motor atau mobil. Setelah itu, kendaraan
bisa kamu titipkan di rumah warga dengan memberi imbalan uang selayaknya untuk parkir. Kemudian kamu bisa bertanya pada warga sekitar tentang arah untuk menuju ke puncak.
Langkah awal dimulai dengan menapaki anak tangga beberapa meter ke atas hingga mencapai sebuah makam yang letaknya ada di gunung tersebut. Hanya ada satu jalan setapak jadi kamu nggak perlu takut nyasar. Sekitar seperempat perjalanan, barulah ada bekas jalur lain yang dapat menghubungkanmu ke jalan mendaki yang berbeda. Waktu itu saya ngikut aja sama 'si guide' yang sudah melanglangbuana menakklukan gunung-gunung tinggi di Indonesia. Kekekeke...
Langkah awal dimulai dengan menapaki anak tangga beberapa meter ke atas hingga mencapai sebuah makam yang letaknya ada di gunung tersebut. Hanya ada satu jalan setapak jadi kamu nggak perlu takut nyasar. Sekitar seperempat perjalanan, barulah ada bekas jalur lain yang dapat menghubungkanmu ke jalan mendaki yang berbeda. Waktu itu saya ngikut aja sama 'si guide' yang sudah melanglangbuana menakklukan gunung-gunung tinggi di Indonesia. Kekekeke...
Akhirnya, belum sampai tujuan saya sudah
ngos-ngosan, sulit mengimbangi langkah kaki para pemuda pengejar jodoh itu.
#Ehhh... Emang bener kok, naik gunung ngebut kayak lagi ngejar jodoh aja mereka
tuh. Nggak tau apa eike ribet nyincingin rok supaya nggak belibet. Akhirnya,
saya lemparlah sendal yang licin ke udara sambil nyuruh mereka naik duluan.
Enakkan juga melangkah pelan-pelan sambil menikmati setiap embusan napas. *Alibi
Tepat ketika adzan ashar berkumandang, saya
sampai di salah satu bidang rata tempat biasanya para pendaki beristirahat.
Terlihat bekas kayu bakar yang masih tersisa. Saya menyerah dan menikmati
pemandangan dari sana, sementara mereka bertiga masih lanjut naik hingga puncak
tertinggi.
Hamparan pemandangan dari ketinggian memang
mengaggumkan. Beda dengan hanya melihat video atau foto orang-orang. Merasakan
sendiri jauh lebih indah meski hanya di ketinggian yang beberapa puluh meter
ini. Apalagi mendengar muadzin melantunkan shalawat dan puji-pujian terhadap
Allah SWT, menggema di setiap penjuru dengan panorama mentari yang mulai mengarah
ke singgasananya. Semua itu mengingatkan saya akan kuasa Sang Ilahi yang tiada
tandinganya. Indah... Semoga akan ada kesempatan lain untuk menikmati
pemandangan dari ketinggian seperti ini, meski saya juga nggak benar-benar
yakin dapat mencapainya.
Apalagi saya mba, ngos-ngosan banget kalau diajak hiking. Padahal pemandangannya sungguh menakjubkan.
ReplyDeleteIya mba. Sama... Pemandangannya keren, tp butuh perjuangan buat mencapainya.
DeleteThis comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDeleteJalur mendakinya lewat mana ya
ReplyDelete