GORESAN
HITAM PERSAHABATAN
11 mei 2013
Di dalam ruang
sempit inilah biasanya aku menghabiskan waktu. Menggambar, mendengarkan musik
atau menulis seperti yang kulakukan saat ini.
Dear Diary, Tak pernah
kubayangkan hidupku berubah seperti ini.
Terimakasih, Tlah Kau
kirimkan sahabat yang selalu setia
menemani.
Selalu bersama untuk
melukis mimpi
Dan inilah anugrah
terindah yang pernah kumiliki.
Tiba-tiba
seseorang mengetuk lembut daun jendela kamarku yang berada di samping bagian
rumah. Ada sebuah celah sempit sekitar setengah meter yang memisahkan rumahku
dengan rumah tetangga. Jadi seseorang bisa saja menggedor cendela melewati
celah itu. Namun hanya ada satu orang yang biasa melakukannya.
“An...Ana...
buka jendelanya”
Seseorang
memanggilku dengan suara rendah. Akupun sedikit merangkak untuk mencapai
jendela kaca itu. Kusibak tirai yang menghalanginya.
“Kristi! ada
apa?” tanyaku pelan.
“Buka jendelanya!”
sambil menunjuk gagang
jendela agar dibuka.
Kugeser pengunci
pintu itu ke kanan hingga tak ada penghalang antara kami. “Ada apa?” masih
dengan nada berbisik.
“Ayo ikut aku.”
“Kemana?”
“Ke kali 1.”
“Hah! Sore-sore
begini? Ngapain?”
“Udah, Cepetan.
Bawa buku gambar dan krayonmu. Bilang aja ke ibumu kalau mau ke rumahku. Pasti
di bolehin.”
“Yaudah. Tunggu
ya.” Jawabku sambil menutup jendela.
Kristi pindah ke
desa ini 7 tahun lalu, tepatnya saat kelas 5 SD. Dialah satu-satunya teman
baikku. Sahabat setia yang sangat kukagumi atas perbedaan yang kami miliki. Aku
yang pendiam dan menutup diri lebih suka berdiam di kamar mungil ini. Sementara
Kristi adalah anak yang ceria, bersemangat, mudah bergaul dan punya banyak
teman. Dialah yang mengenalkanku pada dunia yang sesungguhnya. Dunia penuh
warna yang mendatangkan banyak inspirasi. “Untuk apa mengurung diri kalau kamu
bisa berada di banyak tempat yang indah” itulah perkataannya yang mengubah
hidupku.
Meski berbeda, Aku dan Kristi
sama-sama menyukai seni lukis. Mimpi masa kecil kami adalah menjadi pelukis
terkenal yang bisa menjual karya kami seharga jutaan rupiah. Awalnya aku juga
merasa bingung, bagaimana bisa selembar kertas bersolek pensil atau cat bisa bernilai
banyak uang. Namun ternyata harga itu bahkan tak layak menandingi sebuah karya
seni yang terlahir dari tangan seniman. Potret buatan manusia yang penuh rasa
estetis.
***
“Lihat!” Kristi
menunjuk pelangi yang menghiasi sungai.
Warna-warna yang melengkung itu muncul dari
permukaan air. Menarik garis setengah lingkaran ke arah gunung dan samar-samar
ujungnya menghilang di sana. Meskipun jauh, pelangi itu bercermin di air yang
tenang dan menghasilkan cahaya semu yang memesona. Mentari yang mulai merapat
ke peraduannya menambah semarak dengan sinar orangenya.
“An, cepetan
sini! pelangi itu akan segera menghilang.” Panggil Kristi yang sudah duduk di batu
besar tepian sungai dengan krayon kesayangannya.
“Okey,” jawabku
sambil mencari tempat nyaman di sebelah Kristi.
Tujuh menit
berlalu, pelangi itu pergi. Kami kini hanya mengandalkan ingatan yang kadang
mampu menghadirkan subjeknyan jauh lebih baik
“Lihat punyamu,
sudah selesai?”
“Ini. Lihatlah!”
sambil kutunjukkan gambar di tanganku.
“Wahhh..... Bagus.
Ech tapi ini apa?” tanya Kristi penasaran “Seperti gambar orang,” tambahnya
lagi.
Aku memang
menambahkan bayangan kami berdua di sudut bawah kertas gambar A3 itu. Bagiku,
persahabatan kami sama indahnya dengan pelangi sore itu. Gambar yang mampu bercerita
pada setiap pasang mata yang melihatnya. Sementara gaya impresionisme melekat
pada gambar Kristi. Seorang bapak tua sedang mengguyang kebo2 yang terlihat tepat di bawah pelangi
itu menjadi penekanannya
***
Esok hari kami
berangkat ke sekolah bersama. Kami juga selalu satu meja sejak dia masuk SD
yang sama, SMP hingga kelas 3 SMA saat ini.
“Selamat pagi
anak-anak.”
Bu Eni tiba-tiba
masuk di kelas, padahal ini bukan waktunya ia mengajar.
“Ibu minta
waktunya sebentar. Ada kabar baik yang akan ibu sampaikan. Jadi sekolah kita akan
mengikuti lomba melukis. Sebelumnya harus melawan siswa-siswa lain dari seluruh
SMA di kabupaten. Hanya tiga orang yang akan melaju ke propinsi. Dan kabar
baiknya siswa terpilih itu berasal dari kelas ini.” Jelas bu Eni dengan detail.
Jantungku
berdebar kencang, begitu pula dengan Kristi. Ia meraih tanganku ke dalam
genggamannya. Kami saling menatap penuh harap.
“Dan siswa itu
adalah..... Kristi.”
Kristi
merangkulku penuh kebahagiaan. Namun sekejab tubuhku terasa kaku. Kenapa aku
malah merasa sakit. Bahkan untuk tersenyum tipis pun mulut ini tak mampu.
Nafasku lemah dan tubuhku lunglai. teman-teman mengucapkan selamat untuknya.
Aku pun kembali merangkulnya.
“Semoga mimpimu
segera teraih kawan.” Di ujung mataku telah siap ratusan bulir air mata yang
siap mengalir deras.
***
Dear Diary, Kenapa
seperti ini lagi. Kenapa selalu Kristi. Dia sudah mengambil Rudi, satu-satunya
orang yang kusukai. Padahal dia sendiri tau aku mencintainya. Namun Dia tak
ragu untuk menghancurkan hatiku. Dan dia juga memiliki ayah baik dan
menyayanginya yang tak pernah ku miliki. Kini kenapa mimpiku juga di
renggutnya? Kenapa dia? Kenapa harus sahabatku? Mungkin jika bukan dia, aku tak
kan sesakit ini.
Entah apa yang
merasuki diriku. Semakin lama, benci itu semakin meruncing hingga mengubah
jalan fikiranku. Segala cara ku lalui agar Ia tak bisa mengikuti kompetisi itu.
Kusibukkan dia dengan berbagai tugas bersama agar ia tak punya waktu untuk
membasahi cat minyaknya. Bahkan menambahkan goresan-goresan di lukisannya tak
segan ku lakukan agar tampak buruk di hadapan bu Eni yang membimbingnya.
“Kristi, lukisan
kamu kian hari semakin tak beraturan. Sekolah tidak bisa membiarkan ini. Dengan
terpaksa ibu harus menggantimu dengan siswa lain.”
Kristi masih
berdiri di depan kelas dengan menundukkan wajah sedihnya.
“Ana. Ibu lihat
lukisan-lukisanmu juga bagus, jadi ibu minta kamu gantikan Kristi untuk
mengikuti lomba itu.”
“Yes” ucapku
dalam hati.
Sangat jelas Ia
menampakkan rasa kecewanya atau mungkin dia juga merasa iri karena akhirnya
akulah yang pergi meraih mimpi itu.
Tidak buruk, aku
menjadi juara dua di kabupaten dan kini harus bersiap untuk melawan para
pemenang dari kota-kota lain. Hubunganku dengan Kristi pun merenggang. Bahkan
kami bertengkar hebat secara terang-terangan.
“Apa maumu?”
ucapku dengan nada menantang.
“Akan ku
tunjukkan siapa yang pantas jadi pemenang.” Sahut Kristi penuh emosi. “Kamu
bukan apa-apa tanpa ku. Mungkin kamu masih berada di kamar gelapmu itu kalau
bukan aku yang membantumu. Menjadi orang culun dan tak pernah punya teman
selamanya,” tambahnya menyombongkan diri.
Kalimat yang tak
pernah ku sangka akan keluar dari mulutnya. Kemarahanku semakin memuncak. Kini
aku tak pernah menyesal telah mencurangi orang sepertinya. Aku sadar aku juga
bersalah. Tapi ia lebih buruk dan sama sekali tak pantas di sebut sahabat.
Tanpa ku ketahui
dia mengikuti berbagai perlombaan melukis. Dia selalu berada selangkah di depanku
lalu memamerkan keberhasilan itu pada semua orang.
“Lihatkan! Siapa
yang lebih baik” bisik Kristi pada telinga kananku ketika kami berjumpa pada
suatu pameran terkenal di Jakarta setelah kami lulus SMA.
Hatiku semakin
risau. Berbagai macam usaha kulakukan
untuk menyainginya. Hingga Rudi, orang
yang pernah menjadi pacarnya kini adalah kekasihku. Namun itu tak membuatku
tenang.
“Sebaiknya kamu
menghentikan semua ini” Ucap Rudi meredam emosiku.
“Entahlah, aku
tak tau harus berbuat apa lagi.”
“Jangan biarkan
setan yang membawa dengki itu bersenang-senang di dalam hatimu. Aku tau kamu
tak seperti Kristi. Berhenti dan mulailah hal baru yang lebih indah.”
Ku lirik wajah
Rudi yang sedang menatap taman di sekitar
kami. Benarkah aku telah memupuk iri dalam hatiku hingga akhirnya tumbuh
semakin besar dan akan menumbangkan diriku sendiri nantinya.
“Menurutmu aku
harus bagaimana?” tanyaku lirih.
“Berhentilah
menyiksa dirimu sendiri. Aku tak masalah kamu mengejar mimpimu atau ingin
memberi pelajaran padanya yang sudah menghianatimu. Agar Kristi juga sadar akan
keangkuhan dirinya. Kemunafikannya itulah yang membuatku meninggalkannya.” Rudi
menggenggam jemariku dan aku menyandarkan kepalaku ke bahunya.
“Lalu?”
“Bagaimana kalau
kamu cari kesibukan atau hobi lain. Yang tak bisa di lakukan oleh Kristi. Aku
yakin tanganmu ini tak hanya bisa menggambar saja.” Sambil memasukkan
jari-jariku di sela jemarinya.
***
“Apa tips anda
hingga bisa mendapatkan inspirasi untuk novel-novel anda?” Seorang wartawan
mengajukan pertanyaan.
“Bukalah hatimu
untuk menerima hal-hal baru. Karena ada banyak hal lain yang lebih baik yang
bisa kamu lakukan daripada hanya berfikir di satu titik. Kepekaan terhadap
lingkungan akan membuat peristiwa sederhana menjadi penghayatan sejati. Hal
yang bagi kebanyakan orang tidak menarik tapi mengalirkan banyak cerita bagi
seorang penulis” Jelasku dengan ramah.
Kini aku
bukanlah Ana si pelukis. Tapi seorang novelis best seller yang telah membawa
sebagian karyaku ke layar kaca. Aku bahagia dengan pilihan ini. Hidup bersama
cinta pertama yang selalu menjadi sandaran keluh kesah dan bahagiaku. Tanpa ada
rasa iri ataupun benci yang meracuni. Sedangkan Kristi telah memiliki galeri
lukis yang menampilkan setiap karyanya. Biarlah dia hebat di bidangnya dan aku
akan lebih hebat di bidang baru ku ini. Itu lebih baik untuk persahabatan kami
yang berakhir di batas mimpi.
***
MY DREAMS COME TRUE |
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete