Tentang
Persahabatan
Tentang
Cinta
Tentang
Melupakan
Tentang
Perpisahan
Tentang
Hujan
Semua imaji yang ada dikepala saya ketika
membaca cover belakang Hujan ini
sirna seketika saat membaca
halaman pertama. Bukan sekedar keromantisan biasa, namun Tere Liye langsung
menyeret saya ke tahun 2042 hingga 2050an dengan kisah “romantis” yang tak
mudah ditebak.
Mungkin terlalu
naif bila saya mengatakan “romantis” yang
biasanya berhubungan dengan cinta, rindu, dan kasih antar dua manusia. Namun,
kisah Lail dan Esok menyimpan misteri romantisme antimaenstream yang terus meningkat disetiap bab sehingga membuat
pembaca semakin penasaran. Cerita yang berlatar waktu puluhan tahun mendatang dengan segala
macam teknologi sekaligus awal kehancuran.
Alur Flashback yang rapi. Bermula dari sebuah
ruangan berukuran 4x4 m2, dengan dinding dan langit-langit berwarna putih,
lantai pualam, dan belalai robot yang melakukan tugasnya dengan tepat akurat,
Lail memutuskan untuk menghapus memori menyakitkan dalam hidupnya. Memori tentang hujan.
Elijah, seorang paramedis membantunya, menjadi perantara Lail dengan sebuah
alat super canggih yang mampu menyembuhkan depresi manusia.
Di sebuah era
ketika komunikasi begitu mudah, hanya dengan menggoyangkan peranti model terbaru yang tertanam
di lengan, ibu Lail mampu melakukan panggilan telepon, mengakses pembayaran
kereta kapsul super cepat di bawah tanah. Saat itu Lail berusia 13 tahun.
Sebuah gunung purba meletus dengan skala 8 VEI, menyemburkan material vulkanik
setinggi 80 kilometer, menghancurkan kota, merusak lapisan bumi,
menghantam pesisir benua dengan tsunami 20-40 meter, merenggut ibu yang ketika
itu sedang mengantarnya sekolah, juga ayah yang sedang bekerja di pesisir.
Di saat yang sama
pula, Esok kehilangan empat kakaknya, reruntuhan bangunan membuat ibunya cacat, merobohkan toko kue ibunya,
dan meluluhlantakkan semua kota.
Awal kepunahan manusia itulah yang mempertemukan Lail dan Esok, yang
kemudian membawa mereka melewati hari-hari mengerikan bersama di pengungsian.
Namun ternyata banyak kenangan indah yang tercipta berdua, terutama saat hujan.
Cerita ini lebih banyak menceritakan tentang Lail, kehidupannya, pertemuannya
dengan seorang sahabat bernama Maryam, perasaannya, dan rindunya terhadap Esok
yang lebih dari sekedar rindu kepada orang yang telah menyelamatkan hidupnya.
Semua keromantisan itu dikemas dalam kepelikan politik dan ilmu
pengetahuan dunia. Tere liye sungguh mahir mengurai kata-kata rumit kedokteran,
teknologi dan politik menjadi lebih sederhana dan mudah dipahami pembaca awam
seperti saya.
Hingga menjelang akhir cerita, Lail yang diliput rasa cemburu kepada
Claudia, adik tiri Esok, semakin tak tahan dengan rasa sakitnya, rindu yang
semakin menusuk, dan rasa kecewa atas pilihan Esok meninggalkan bumi mengajak
Claudia. Ia tetap memutuskan untuk menghapus benang berwarna merah di pusat
terapi saraf, kemajuan teknologi kedokteran dalam memetakan memori manusia, meski Elijah berkali-kali menanyakan keputusannya.
Bukan
berapa lama umat manusia bisa bertahan hidup sebagai ukuran kebahagiaan, tapi
seberapa besar kemampuan mereka memeluk erat-erat semua hal menyakitkan yang
mereka alami. –Maryam “Hujan”
Bukan
melupakan yang jadi masalahnya. Tapi menerima. –Elijah “Hujan”
Akhirnya Lail memeluk erat semua kenangan menyakitkan itu, Seluruh benang
merah berubah menjadi benang biru sebelum memori itu benar-benar terhapus. Ending yang masih tak bisa saya terka. Meski
setelahnya saya bilang “ah…” Jujur ada sedikit yang mengganjal di akhir cerita
yang tidak dapat memuaskan saya.
Terlepas dari segala kesalahan teknis,
it’s a very good story. Cukup mengharukan untuk membalas sebuah rindu yang
tak pernah tersampaikan.
HUJAN
Penulis :
Tere Liye
Penerbit :
Gramedia Pustaka Utama
Tebal :
320 halaman
ISBN :
978-602-03-2478-4
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete