JANJI - Reezumiku

Wednesday, October 7, 2015

JANJI

(sumber: Internet)

Dek Miya masih menatap layar laptopnya.
Sejak tadi pagi usai menyiapkan sarapan lalu mengantarku ke luar untuk berangkat kerja, aku tahu kalau dia akan langsung kembali ke kamar dan menyalakan monitornya. Hingga aku pulang, dek Miya masih sedia menyambutku. Ia melepaskan jaket berlogo perusahaanku seperti biasa, kemudian mangkat ke dapur untuk menghangatkan sayur dan lauk pauknya. Tak perlu kutebak, usai membereskan meja makan ia pasti akan kembali ke persembunyiannya. Ah, inilah hidupku, dan rumah tangga yang sudah setahun kurakit dengannya.
Dek Miya, aku memanggilnya begitu agar aku bisa mendengarnya membisikkan Mas Rio ditelingaku. Alih-alih mendesis halus untuk memanggilku mas, sepatah kata sayang saja belum pernah terucap darinya. Berkali-kali rayuan mesra kulontarkan namun hanya respon yang sama berbalik kepadaku. Dek Miya akan tersenyum tipis-sangat tipis selama satu detik- hingga yang kurasa bukanlah senyuman, tapi cibiran.
Aku tak pernah memaksanya. Toh ia juga tak pernah menolak saat aku mencumbunya. Tapi pernikahan yang besok masuk ke 366 hari itu di bangun dengan batas dinding tinggi.  Sebuah dinding yang menghalangi hatiku dan hatinya. Kami seolah tak hidup bersama. Entah siapa yang membangun dinding itu. Dek Miya yang ingin membentengi dirinya, ataukah sikapku yang menjadikan ragu dihatinya.
Terakhir yang kuingat, sebaris senyum pernah mampir dibibirnya yang merah merekah pada resepsi pernikahan. Ia tersenyum ramah kepada setiap kerabat yang datang memberikan doa dan ucapan selamat. Akupun tak tau, senyum yang dipaksakan atau memang senyum kebahagiaan yang ia suguhkan. Yang kupahami saat itu, aku telah terbius oleh pesonanya, gadisku yang akhirnya menjadi istriku.
Namun doa-doa yang mengucur ketika itu, kini ku tahu tak manjur untuk memayungi rumah tangga kami. Senyum itu tak lagi ada, ramah itu tak pernah benar-benar menyapa. Hanya aku dan dek Miya yang hidup berbatas dinding semu.
Apa yang salah denganku?
Berkali-kali aku introspeksi diri. Ketika ia tak mau kuajak bulan madu ke Bali dan lebih memilih dirumah saja. Aku berlapang hati menuruti pintanya. Meski begitu, ia juga tak pernah menentang inginku yang pernah mengajaknya pulang ke Malang untuk sekedar bernostalgia dengan masa kecil. Dek Miya, sungguh ia tak pernah sekalipun membuatku marah. Aku sudah terlalu larut mencintainya.
Tapi dinding itu. Lagi-lagi dinding itu. Dinding yang kini semakin kokoh menghalangi  niat suciku ketika meminangnya setahun lalu. Dinding macam apa itu, yang memisahkan perasaanku terhadap istriku? Dinding yang menghalangi senyumnya, dan juga dinding yang terus mengurung hidupnya.
Malam ini tepat ketiga jarum jam melewati angka dua belas, aku mengendap-endap dalam temaram sorot rembulan yang menembus jendela kaca. Kulirik dek Miya yang masih terbaring manis di balik selimut. Beberapa kali dia memutar tubuhnya kesamping atau menyibak rambut panjangnya yang menutupi hidung. Lalu ia kembali pulas.
Telah kusiapkan kue kukus berbentuk hati di atas meja. Kusematkan pula ucapan Happy 1st Anniversary. Lalu, mataku mengarah pada laptop yang lampunya nyala padam dalam aliran baterai. Tanpa dipinta, tanganku langsung meraihnya. Aku pernah sekali melihat dek Miya membuka internet. Jemariku kemudian menelisuri riwayat google yang pernah dibukanya.
Aku menemukan sebuah blog bertuliskan  Armiya-nama kecil istriku. Betapa terguncang batinku ketika membaca baris demi baris tulisan yang diketiknya setiap hari. Curahan hatinya yang selama ini hanya tertumpah dalam dunia maya. Aku merasa tak berguna.
Dek Miya mengulang-ulang kata maaf. Maaf belum bisa mencintaimu, mas. Dalam tulisan yang betanggal hari ini, ia menulis betapa sesungguhnya ia ingin menghancurkan dinding itu. Dinding yang ia sebut penghalang bahtera kami. Namun hatinya telah bertaut dengan janji.
Mataku menjelajah, lalu kutemukan pula kisahnya dimasa lalu. Sebuah janji yang ia junjung tinggi pada seorang kekasih, Janjinya untuk tetap mencintai sampai mati. Ada nama Satria disana. Apakah yang dia maksud Satria teman SMA kami? Satria yang telah berpulang karena sakit kankernya? Aku tahu mereka cukup dekat dulu. Aku bertanya-tanya…
Jadi, inikah dinding besar itu? Sebuah janji yang terus ia tepati untuk mencintai Satria. Dan juga sebuah janji untuk tetap berbakti kepadaku-suaminya. Sebesar itukah ia berusaha menjaga janji-janjinya?
Aku berjanji, akan kuhancurkan dinding ini!!!

Pertama kali. semoga nggak banyak typo.  
Tantangan #NulisBarengAlumni #KampusFiksi bertema Dinding
~Reezumi~

5 comments:

  1. Menarik... tapi preposisi dan pengunaan pun masih salah. hehe.

    ReplyDelete
  2. Setuju sama Deasy.. Menarik, Mbak, ceritanya. Dinding yang semacam itu bahaya banget ya sebenarnya dalam pernikahan. Duh.

    Masih ada beberapa preposisi yang memang belum tepat peletakannya. Juga penggunaan 'pun' seperti yang Deasy bilang di atas. Semoga ke depan lebih baik. Hehe :D

    ReplyDelete
  3. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  4. Wah terimakasih buat kalian berdua...

    ReplyDelete
  5. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete

Local Business Directory, Search Engine Submission SEO Tools