Sahabat [Cerpen] - Reezumiku

Friday, November 4, 2016

Sahabat [Cerpen]

Sahabat sejati itu saling mengerti sampai ke hati
#Teenlit #Friendship

Aku berhenti sejenak untuk melihatnya, gadis berkulit putih  yang mengenakan seragam merah pekat. Warna serasi dengan topi kecil yang lebih berfungsi sebagai penghias kepala itu.  Ia keluar dari rumah dengan langkah kaki yang anggun. Rambut pendeknya terjepit rapi kebelakang. Ia melirikku sebentar.
“Selamat sore kak Lea.”
“Sore,” jawabnya singkat sambil mengenakan pantofel hitam di ujung teras. “Jean, masuk saja, Rena ada kok di dalam,” tambahnya lalu membetulkan letak tas yang hampir terjatuh karena terlalu membungkuk.
“Kak Lea mau berangkat ya?”
“Iya Je.” Senyumnya tipis berbalut lipstik merah muda. “Ren, kakak berangkat dulu ya. Ini Jean sudah datang, suruh masuk dulu,” teriaknya agak keras pada Rena, adiknya.
“Iya Kak,” jawab Rena dari dalam.
Aku mengalihkan pandangan dari kak Lea yang sudah menghilang dengan taksi birunya. Rena muncul mengenakan rok a-line sambil menenteng dua buku tebal dan sekotak alat tulis di atasnya. Kusodorkan kantong plastik berisikan susu kedelai hangat buatan ibuku pada Rena. Kami kemudian duduk di lantai seperti biasa dan mulai belajar.
***
Hari ini hari terakhir ujian akhir nasional. Otakku sedikit tersendat merangkum semuanya, terutama pelajaran kelas satu yang sebagian besar sudah terhapus dari memori. Rasanya organ kecil di kepalaku tak mampu menampung seluruh materi yang dua minggu terakhir kulahap habis bersama Rena. Rena mungkin bisa melakukannya lebih baik, ia selalu dapat nilai bagus di kelas. Tapi efek susu kedelai yang ia bilang bisa meningkatkan daya ingat otak itu sepertinya tak mempan padaku.
Tapi aku tak bisa menyerah sekarang. Aku tak mau menyesal karena mengabaikan ujian akhir ini. Kutarik kerudungku kebelakang. Aku raut lagi pensil yang sudah tumpul agar bisa membuat lingkaran sempurna di lembar jawaban.
Tiga puluh menit berlalu, bel tanda waktu selesainya ujian berbunyi. Semua merapikan lembar soal dan jawaban di atas meja. Aku mengemas alat tulis dengan lega meskipun rasa gugupku atas soal-soal tadi masih belum sepenuhnya hilang.
“Ren. Tunggu!” Aku setengah berlari menghampiri Rena.
“Gimana tadi?” todongnya dengan pertanyaan.
“Beberapa aku nggak paham, tapi yah,” decakku sebal. “kujawab sebisannya.”
Hay!!!” Rehan tiba-tiba muncul dan menepuk pundakku.
“Ih, apa-apaan sih, jangan pegang-pegang,” sentakku yang merasa risih dengan kelakuan jahilnya.
“Ah, cuma gitu aja marah, nggak akan dosa kok. Masih dibatesin sama baju kamu itu tuh. Nggak nyentuh kulit kan?”
“Sok tau aja tentang dosa, emang tadi udah solat subuh?” sergahku berbalik memojokkannya. Rehan menggaruk kepala plontosnya yang tidak gatal.
“Eh, tau nggak aku tadi hampir kehilangan dua poin berharga. Aku ingat itu pelajaran kelas dua, tapi aku…ah, untung saja dipenghujung menit aku bisa mengingatnya.”
“Ce’ileee…dipenghujung menit? sok dramatis deh,” sahut Rehan.
“Ye…beneran tahu! Setiap soal itu berharga, apalagi ujian nasional seperti gini. Kalau dapat nilai bagus kan bisa jadi pramugari dengan mudah, bukankah begitu, Je?”
Yups, betul, bu guru yang satu ini pinter banget sih…termasuk pinter dan hebat urusan berbohong,” sahutku.
Rena berjanji memberiku formulir pendaftaran JR Airline School yang dibawakan kak Lea, kakaknya yang dulu juga pernah sekolah pramugari di sana. Aku ingin menjadi seperti dia, sosok wanita karir yang mandiri dengan perkerjaan yang bisa membawanya keliling Indonesia, bahkan dunia. Meski hanya pendatang di Jakarta, tapi mereka menunjukkan bahwa kualitas mereka tak kalah dari banyaknya orang yang sama-sama mengadu nasib di ibukota.
“Bohong apa?” Rena pura-pura lupa.
“Tuh kan, kamu mah sengaja lupa,” jawabku sebal.
“Lupa? Maksudmu ini?” Rena mengeluarkan sebuah map merah dari dalam tas lalu mengiming-imingkannya di depan mukaku.
Perlahan kulepas wajah masamku dan menggantinya dengan senyum. Aku menoleh dan mencoba merampasnya dari tangan Rena. Ia malah mempermainkanku dengan menyembunyikan map itu di belakang tubuhnya. Aku berdiri tegak sambil  meletakkan tanganku yang mengepal ke pinggang, kubesarkan mata dan menatapnya dalam hingga ia mengangkat tangan.
“Oke…oke aku menyerah. Ini!”
“Apaan sih itu?” sela Rehan yang tanpa sadar teracuhkan.
“Mau tau saja,” jawabku singkat setelah memasukkan map itu ke ransel. “Oh iya, setelah lulus kamu ngelanjutin kemana Han?” alihku pada Rehan.
“Kemana ya?! Hm…kehatimu boleh nggak?”
“Yeee…ni anak malah bercanda.” Rena memecahkan angan-angan Rehan dengan memukul pelan kepalanya, aku hanya tersenyum menanggapi.
“Leganya sudah melewati masa SMA. Tiga tahun yang sangat menyenangkan. Aku pasti akan sangat merindukan kalian setelah lulus nanti,” ucapku.
“Jangan begitu, kita kan masih bisa satu tempat sekolah lagi setelah ini.”
“Aku pasti kesepian tanda bidadari-bidadari seperti kalian,” sahut Rehan.
“Bidadari kepalamu gundul.” Rena memukul kepala Rehan sekali lagi. “Ujian kamu aja belum tentu lulus. Kalau kita kan sudah pasti lulusnya.”
“Aw…,” rintih lelaki sok keren yang sudah menjadi sahabatku sejak SMP itu. Ia mengelus kepalanya yang kali ini terasa pening.
***
Beberapa minggu berlalu, cuaca masih panas seperti biasa. Ini lebih baik daripada ketika musim hujan. Walau tak sampai selutut, tapi aku benci ketika banjir kiriman dari Bogor meluap dan memaksaku menenteng sepatu. Meski begitu, musim hujan atau panas, ibukota tetap sesak. Sebagian besar jalanan dikuasai makhluk bermesin.
Pagi ini, aku dan Rena memilih busway agar tak perlu bersaing dengan kendaraan lain. Meski sering kali dibuat marah karena jadwal yang molor, tak ada pilihan yang lebih baik. Naik taksi juga tak pernah. Kami lebih memilih menyisihkan uang itu untuk biaya masuk sekolah pramugari yang memang tak sedikit. Untuk jalan kaki atau naik sepeda seperti yang dilakukan warga Jepang nampaknya juga tak efektif diterapkan di sini.
Rena juga pernah trauma ketika mencoba naik bus umum. Ia hampir terjatuh waktu itu. Belum sampai badannya masuk ke bibir pintu bus, si sopir sudah melajukan bus-nya. Untung saja dibantu kernet yang selalu stay di dekat pintu.
Kulihat ratusan calon murid baru antusias memasuki gerbang besi ber-cat merah tua ini, begitu pula aku dan Rena yang baru saja sampai. Hatiku berdebar kencang menelusuri setiap deret nomor yang terpajang di papan pengumuman. Aku memulai dari nomor terakhir dan Rena sebaliknya. Bukan pengumuman kelulusan, kami sudah dipastikan lulus beberapa minggu lalu. Rena menjadi lima besar terbaik di sekolah.
484… 484… 484… 484… ucapku dalam hati.
Tiba-tiba senyumku mengembang, Diantara desakkan orang-orang yang bahagia dan lebih banyak yang kecewa, nomer pesertaku tertulis disana, aku lolos. Yes!!! Aku lolos!!! Kutahan bahagiaku dan segera menggeser telunjukku mencari nama Rena Maulida. Tidak kutemukan hingga ujung jariku bersentuhan dengan telunjuknya.
“Bagaimana?”
Aku menggeleng, aku bingung. Bagaimana mungkin ini terjadi? Bagaimana bisa aku lolos sementara Rena tidak? Hatiku gundah penuh tanda tanya. Rena tak percaya dengan jawabanku lalu ia melanjutkan ke angka berikutnya yang sudah aku telusuri. Aku mematung dan hanya bisa menatapnya sedih. Ia pun tampak kecewa ketika tangannya berhenti di nomor terakhir.
Rena keluar dari kerumunan beberapa detik kemudian, tubuhnya lemas. Peluhnya mengilau tertimpa sinar mentari yang mulai meninggi. Aku menghampiri dan memeluknya, kurasakan sakit itu menjalar dalam tubuhku. Air mataku yang terbendung di ujung kelopak akhirnya tumpah. Kubasahi seragam putihnya yang masih wangi.
Selama ini kami sudah berjuang bersama agar bisa masuk tempat ini. Menjadi pramugari adalah cita-cita Rena sejak kecil, juga cita-citaku. Kami selalu berandai bila suatu hari nanti kita akan pergi ke banyak tempat di Indonesia, keluar dari Jakarta yang tak pernah hening ini. Terbang. Merasakan keindahan dari langit.
“Lepaskan!” Rena mendorongku.
Aku terlempar setengah meter ke belakang.
“Ini nggak mungkin…nggak…nggak mungkin.” Rena tampak bingung. “Bagaimana mungkin?!” peluhnya mengalir lebih deras.
“Ren,” kuraih kedua tangannya.
“Lepas!!!” bentaknya lagi. “Bagaimana bisa?! Kamu?! gadis sok alim sepertimu bisa lolos sementara aku tidak! Nggak mungkin!! Ini pasti salah, Ini salah!!! Nilaiku yang lebih bagus kenapa malah kamu yang diterima?!” sambil memasukkan jemarinya ke rambut lalu meremas kepalanya dengan kuat.
“Apa maksudmu Ren?”
“Orang-orang juga tau kalau kamu nggak pantas jadi pramugari. Tinggimu minimal, kamu juga nggak pintar, dan…dan bahasa Inggrismu juga nggak lebih baik dariku. Kamu juga…”
Aku menampar pipinya.
Aku tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Spontan telapak tanganku mengarah padanya begitu saja. Sahabat yang selama ini kupercaya, dimana kami menerbangkan impian bersama, tak pernah kusangka ia bisa mengeluarkan kata-kata menyakitkan itu.
Aku tak pernah peduli dengan ejekkan orang lain yang mematahkan semangatku untuk menjadi pramugari. Hampir semua teman-temanku bilang aku terlalu pendek untuk menjadi pramugari, apalagi aku memakai kerudung. Tidak mungkin aku bisa menjadi pramugari, kata mereka. Tapi aku mengacuhkan semua itu.
Namun ketika semua cacian itu keluar dari mulut sahabatku, yang selama ini menjadi satu-satunya orang yang mendukungku, aku marah. Aku kecewa padanya.  Sejenak aku kaku, air mataku berhenti namun hatiku terasa lebih basah. Ia membuang gelang persahabatan kami ke tanah lalu beranjak pergi begitu saja.
Dengan cepat aku menjadi lemas dan segera mencari pegangan pada pohon yang tumbuh tak jauh dariku. Apakah salah aku diterima di sekolah ini? Apakah aku tak pantas? Kupandang tanganku yang sudah menamparya, bergetar dan memerah. Tapi sakit di pipinya mungkin tak akan sesakit perasaan yang aku rasakan ini. Air mataku kembali mengalir. Kupungut gelang biru cokelat itu dan menggenggamnya erat.
Semenjak hari itu aku tak pernah bertemu lagi dengan Rena. Aku juga tak berniat mengunjungi rumahnya yang kini tampak sepi. Aku sadar aku egois, namun sampai detik ini aku belum mampu menyingkirkan egoku. Seringkali aku menangis mengingatnya. Persahabatan yang kuawali dari rasa kepedulian dianggap rendah olehnya. Tak ada artinya lagi semua kenangan yang telah terukir sekian lama.
***
Hampir dua tahun berlalu, aku telah lulus dari sekolah pramugari dengan predikat baik. Namun hubunganku dengan Rena belum juga membaik. Selama itu juga aku tak pernah bertatap muka dengannya lagi. Kudengar ia sudah pindah dari rumah yang dikontrak bersama kakaknya itu.
“Rena,” spontan kupanggil namanya dengan sedikit tanya.
Ia berbalik setelah menyerahkan amplop yang sama dengan milikku. Matanya melebar dan napasnya tertahan beberapa detik. “Jean?!!”
Kami terdiam lama. Jantungku berdegup kencang dan bertanya-tanya, untuk apa dia di perusahaan maskapai penerbangan internasional ini? Apakah dia juga melamar kerja di sini?
“Kenapa?” Rena mendekat, menatapku nanar. “Kamu kaget aku bisa ada di sini? Kamu pikir aku sudah menyerah?!”
 “Aku nggak bermaksud begitu Ren, aku…”
“Alaaah…” remehnya sambil membuang muka lalu kembali menatapku, lama, tanpa berkedip. “Kamu lupa siapa kak Lea? bukan hanya tempat itu satu-satunya sekolah pramugari. Kalau saja waktu itu tidak ada dokumenku yang tertinggal, pasti namaku yang masuk di daftar pengumuman.”
Aku termenung, sejenak rasa sakit yang mulai melumer itu muncul kembali, Rena belum melupakan kejadian itu. Haruskah aku yang meminta maaf? Tapi dia yang memulai pertengkaran itu. dia yang harus minta maaf. Pikiranku saling beradu, aku bingung. Rena benar-benar telah berubah. Aku hampir tak mengenalnya lagi, ia tak sama dengan sahabat yang aku kenal dulu.
***
Tanpa kuminta kakiku melangkah ke halte busway. Sudah lama tak menginjak tempat ini setelah lulus SMA. Aku lebih sering naik taksi sekarang. Pikiranku menjelajah waktu ke masa lalu ketika masih bersama Rena, naik busway untuk sekolah.
Tatapan matanya tadi…dia masih membenciku meski sudah sekian lama. Apakah dia tak merasa bersalah atau setidaknya pura-pura bersikap baik padaku.
Angkutan khas Jakarta itu tiba, aku mencari celah diantara orang-orang yang berdesakkan mencari bangku kosong. Busway semakin ramai diminati penumpang. Seorang ibu bertubuh besar menyerobot lorong bangku hingga aku terdorong. Aku hampir jatuh namun seseorang memegangi dan menahan tubuhku yang sudah condong ke samping.
“Kamu nggak apa-apa?”
Suara itu terdengar dekat di belakang telinga. Aku berdiri tegak sambil mencari pegangan dan segera melepaskan tangan itu dariku. “Terimakasih,” ucapku sambil menunduk.
“Jean?”
Kuangkat wajah, seorang lelaki berambut hitam rapi tersisir ke belakang mengenakan baju koko putih sedang berdiri di dekatku. Dia mengenal namaku, namun pikiranku yang kacau tak mampu mengingat wajahnya. Kemudian lelaki itu memperlihatkan sebuah gelang tali yang melingkar dipergelangannya.
Aku tersadar dan segera duduk di bangku kosong dekat jendela, lelaki itu juga mengikuti dan menyandarkan tubuhnya di kursi sebelahku.
“A-apa apa yang terjadi padamu, Je?”
“Rehan? Kamu Rehan?”
“Yaiyalah…masak kamu lupa sama aku.”
Kamu berubah. Aku hampir nggak kenal lagi dengan penampilanmu seperti ini. Dimana kepala plontosmu yang dicukur habis sama Pak Wakasek dulu?”
Rehan tersenyum sambil mengelus rambutnya. “Maksud kamu beda, sekarang aku semakin ganteng dan keren gitu?”
“Ih…kamu ini nggak pernah berubah deh.”
“Loh, gimana sih, Tadi katanya berubah, sekarang nggak berubah? Nggak konsisten banget sih.”
“Maksudku, penampilanmu yang berubah, kalau sifat dan kelakuanmu itu masih sama saja.”
Setelah lulus SMA Rehan menghilang tanpa kabar. Dia melanjutkan kuliah di Jawa Timur atas permintaan neneknya di sana dan sekarang pulang untuk liburan semesternya. Aku sempat tak percaya dengan pengakuannya yang mengejutkan. Anak menyebalkan yang selalu membuat masalah dan sering di hukum ini bisa bertahan di perguruan tinggi islam yang mendalami agama. Padahal dulu dia sering melewatkan sholat subuh dengan alasan ketiduran.
***
Aku bersemangat pagi ini, gundahku sedikit terobati setelah berbagi cerita dengan Rehan. Nasehatnya mengena dihatiku. Apakah aku harus meminta maaf pada Rena? Aku memang belum bisa melupakan semua masalah ini, tapi aku juga lelah dengan perasaanku yang sudah melebar kemana-mana. Aku sangat merindukan sahabatku, rindu saat-saat mengukir harapan bersamanya.
Dengan keraguan di hati, aku berjalan dengan tenang. Hari ini adalah tes wawancara untuk bisa di terima salah satu maskapai penerbangan besar di Indonesia itu.
“Je, Aku minta maaf.”
“Rena??!” Aku kaget tiba-tiba ia muncul dihadapanku.
“Aku sadar, aku bodoh telah menodai persahabatan kita. Sungguh aku minta maaf.”
Aku masih kaget dengan kehadirannya yang mengejutkan.
“Aku rindu saat-saat kita tertawa bersama, belajar bersama sambil menikmati susu kedelai hangat. Kamu yang selalu buatku tertawa, mengingatkanku untuk sholat. Maafkan aku Je. Aku salah. Waktu itu aku hanya sedang emosi, aku…aku putus asa, aku kecewa. Aku kalut menghadapi kenyataan bahwa aku gagal. Aku…”
“Aku minta maaf,” selaku memotong ucapannya. “Harusnya waktu itu aku datang padamu dan meluruskan semuanya. Tapi aku terlalu egois dan…”
“Tidak. Aku yang bersalah. Aku menyesal tak ada disampingmu saat kamu butuh seseorang. Maaf aku tak bisa menepuk pundakmu atau memelukmu. Maaf aku hanya bisa melihatmu dari jauh ketika kamu menangis. Maaf aku sudah menjadi orang yang jahat.”
Aku memeluknya erat, ia membalas seraya meneteskan air matanya yang semakin deras. Kulepaskan salah satu gelang dari tanganku, gelang yang pernah dilemparnya, lalu kukaitkan ke tangannya kembali.
“Kamu masih ingat ini impian kita kan? Pramugari!”
Aku tertawa kecil sambil menghapus air mataku yang masih basah di pipi. “Ya, Pramugari!!!” Tegasku menegarkan diri sendiri.
Rena mengangkat tangannya yang memakai gelang itu, aku juga. Lalu kami tersenyum. “Apapun rintangannya, jangan pernah takut. Aku yakin kamu akan bisa. Kamu pasti bisa meraih mimpi.”
Rena meyakinkanku lalu menghapus air mataku dengan tangannya. Ini seperti dahulu, ketika kami melihat lebih dekat tentang sebuah mimpi. Meskipun sekarang keadaannya jauh berbeda.
Seorang petugas memanggil namaku dan saatnya aku masuk ke dalam ruang tes wawancara. Aku meninggalkan Rena yang masih menunggu gilirannya.
Sekian pertanyaan kujawab dengan mudah. Tentu saja aku sudah mempersiapkan hari ini jauh sebelum semuanya dimulai. Ini impianku dan aku sangat bersemangat untuk meraihnya. Namun, dari awal aku juga tau kalau akan sulit, dan aku tetap melawan arusnya. Bukan hanya kerudung yang kupakai, tapi juga kejadian dua bulan lalu.
“Maaf, kami tidak bisa menerima anda.” Salah seorang dari mereka mengatakannya. Aku gagal.
***
Good evening miss stewardess.[1]
Good evening miss secretary. How are you?[2]
“Alhamdulillah.”
“Hahaha…”
Kami tertawa lepas seperti saat masih SMA meskipun masa itu telah berlalu hampir tujuh tahun. Rena telah menjadi pramugari yang sudah pergi ke beberapa wilayah di Indonesia dalam tugasnya.
Aku memang gagal saat itu. Akan lucu juga bila seorang pramugari hanya memiliki satu kaki besi sepertiku. Sebuah kecelakaan memaksaku untuk mengamputasi kaki kiriku. Dan atas alasan itu pula aku kehilangan mimpiku. Namun, kini aku hidup lebih baik.
Sekarang aku adalah istri seorang Rehan sekaligus sekretaris pribadinya di perusahan keluarga dalam bidang travel haji dan umrah. Semua terasa indah pada tempatnya. Aku bersyukur, hubunganku dengan Rena kembali baik. Kami bersahabat hingga kini, meskipun aku tak menjadi pramugari seperti dia.





[1] selamat sore nona pramugari
[2] selamat ore nona sekretaris, apa kabar?

1 comment:

Local Business Directory, Search Engine Submission SEO Tools